Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, tersebutlah seorang pemuda dari Pasauran, sebuah desa terpencil di Banten. Namanya singkat, Djahidin. Namun, di balik kesederhanaan namanya, pemuda desa itu menyimpan keberanian nan mengagumkan: ia telah menjelajah ke berbagai kota dan negara, dari Batavia, Singapura, Jepang, Papua Nugini, hingga Amerika.
Kisah petualangan pemuda berdarah Sunda itu terbentang dalam De Lotgevallen van Djahidin (Pengalaman Djahidin). Terbit pada 1873, inilah buku fiksi yang menjadi salah satu bacaan primadona di kalangan anak dan remaja Belanda serta indo pada era kolonial.
Buku karya J.A. Uilkens, seorang wartawan surat kabar dagang Surabaya, itu mengalami empat kali cetak ulang. Buku setebal 73 halaman terbitan Kolff, Batavia, itu juga telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa daerah. Alhasil, tak cuma anak-anak Belanda, anak dan remaja pribumi pun bisa menikmati kisah petualangan itu.
Versi bahasa dan aksara Jawa Kuno cerita ini diterbitkan oleh Ogelfi-Batavia pada 1882 dengan judul Tjarita Lalakone Djahidin. Pada tahun yang sama terbit pula edisi bahasa Jawa berhuruf Latin, diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap. Sekitar delapan tahun berselang, muncul juga terjemahan bahasa Melayu dan Sunda, masing-masing bertajuk Bahwa ini Hikajat Djahidin dan Tjarita Djahidin.
Selain aneka permainan, anak-anak dan remaja di zaman Hindia Belanda dibanjiri beragam bacaan. Peneliti dan penulis sastra anak, Murti Bunanta, menyatakan bahwa isinya juga bermacam-macam. Dari puisi, misteri, petualangan, humor, biografi, fiksi sejarah, hingga fiksi realitas kontemporer. Begitu pula bentuknya. ”Ada buku bacaan bergambar (picture book), komik, buku berilustrasi, dan novel,” kata dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.
Dalam penelitiannya, Murti menemukan buku pertama untuk anak indo dan anak Belanda yang tinggal di Hindia Belanda terbit pada 1846. Bentuknya buku syair. Buku karya Johannes van Soest itu berjudul Oost-Indische Bloempjes; Gedichtjes voor de Nederlandsch-Indische Jeugd (Bunga-bunga Kecil Hindia Timur; Syair-syair untuk Remaja Hindia Belanda).
Murti juga mencatat sebuah buku yang mengilhami lomba mengarang bacaan anak-anak Balai Poestaka pada 1920. Bertajuk Indisch Kinderleven (Kehidupan Anak-anak Hindia), buku itu ditulis oleh Nittle de Wolf van Westerrode. Pemenang pertama lomba mengarang itu buku Pemandangan dalam Doenia Kanak-kanak karya Mohammad Kasim, seorang kepala sekolah rakyat di Medan, Sumatera Utara. Dalam perkembangannya, buku itu berganti judul menjadi Si Samin.
Seorang peneliti Belanda, Dorothee Buur, mencatat setidaknya terdapat 1.231 buku bacaan anak yang terbit semasa Hindia Belanda. Buur juga mencatat, selain tema petualangan seperti kisah Djahidin di atas, buku bacaan anak saat itu memiliki kisah unik. Misalnya, tentang perkawinan campur antara orang indo dan pribumi, kisah tentang seorang babu yang melayani tuannya ketika Hari Natal, atau tentang persahabatan dua pemuda Jawa yang retak gara-gara keduanya kemudian memeluk agama berbeda.
Selain terbitan penulis Belanda, bacaan anak di Hindia Belanda juga dibanjiri buku karya pengarang internasional lainnya. Sebut saja buku-buku H.C. Andersen dari Denmark, pelbagai dongeng Grimm dari Jerman, Daniel Defoe dari Inggris, dan Mark Twain dari Amerika. Hanya, semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.
Sedangkan bacaan anak-anak pribumi memang tak sebanyak itu. Hingga awal 1917, Komisi Bacaan Rakyat mencatat setidaknya terbit 72 judul buku dalam lima bahasa: Melayu, Jawa, Sunda, Madura, dan Batak. Yang menarik, seperti halnya anak indo dan Belanda, bacaan anak-anak pribumi juga banyak yang terjemahan.
Satu di antara yang menjadi bacaan primadona adalah Tjerita Seekor Koetjing Jang Tjerdik. Buku terjemahan itu diterbitkan oleh Balai Poestaka di Weltevreden (kini daerah sekitar Gambir, Jakarta) pada 1921. Kitab itu terbit bersamaan dengan edisi bahasa Sunda, Oetjing Diistiwel, dan edisi berhuruf dan berbahasa Jawa, Koetjing Setiwelan. Tak lama berselang muncul edisi bahasa Madura: Koetjeng Asatiwellan.
Aslinya, buku itu disadur dari cerita rakyat Prancis ke dalam bahasa Belanda yang dikumpulkan oleh Charles Perrault: De Gelaarsde Kat. Dalam edisi bahasa Melayu dikisahkan bahwa latar belakang ceritanya terjadi di tanah Hindustan. Kisahnya dituturkan oleh seorang penggembala tua kepada para penggembala muda di sebuah padang rumput di kaki Gunung Talang. Buku itu cukup menarik. Meski saduran, ia diceritakan kembali dengan sangat baik dan lancar.
Cerita terjemahan lain yang cukup masyhur adalah Pinokio. Ini merupakan cerita fiksi karangan C. Collodi, nama samaran dari penulis Italia, Carlo Lorenzini. Buku itu berkisah tentang boneka kayu yang kemudian menjadi anak manusia. Di negara asalnya, buku itu terbit pada 1892. Sedangkan versi terjemahan Melayu dan Sunda diterbitkan Balai Poestaka pada 1931, berjudul masing-masing: Pinokio dan Si Tjongtjorang.
Sekitar setahun berselang, terbit versi bahasa Jawa. Terbit dalam dua jilid berjudul Si Kentoes. Untuk versi Jawa, buku itu diceritakan kembali oleh Moerani dengan ilustrasi Ardi Soma. Ceritanya tak banyak menyimpang dari aslinya. Hanya nama-nama tokohnya diganti dengan nama Indonesia. Yang menarik, sebelum menjadi manusia, tokoh Pinokio tak menjelma menjadi keledai seperti versi aslinya, tapi ia menjadi kerbau. Mungkin karena di Indonesia kerbau memang menjadi perumpamaan tentang orang bodoh.
Sementara itu, buku primadona bacaan anak pribumi yang berdasarkan cerita asli lokal: Serat Kantjil Tanpa Sekar (Cerita Kancil Tanpa Ditembangkan). Buku berbahasa dan beraksara Jawa itu diterbitkan oleh Balai Poestaka pada 1909. Kitab itu merupakan saduran Ki Padmosoesastra untuk bacaan anak dari kitab karya Ki Amongsastra, Serat Kantjil Mawi Sekar – Cerita Kancil yang Ditembangkan.
Dari sebagian kisah buku dongeng itu, mungkin yang masih melekat hingga kini hanya kecerdikan sang kancil dengan aneka tipu dayanya. Ia mengecoh harimau dengan kotoran kerbau yang dikatakannya sebagai kue dodol. Atau memperdaya raksasa, buaya, dan gajah yang ikut masuk sumur lantaran takut langit akan runtuh.
Jika ditelusuri lebih dalam, hampir dua pertiga isi buku itu berkisah tentang pemahaman akan nilai-nilai. Mulai persahabatan, kesetiakawanan, kejujuran, tanggung jawab, hingga kebesaran Tuhan. Nilai persahabatan, misalnya, dapat dijumpai dalam kisah kijang yang menyelamatkan burung branjangan dari bahaya penuai padi. Dan bagaimana burung branjangan berusaha melepaskan kijang yang terjerat oleh Pak Tani karena ulah kedengkian kucing kuwuk.
Yang juga menarik dari buku itu adalah ilustrasinya. Di era itu telah hadir ilustrasi berwarna dengan litografi. Lalu, sang ilustrator, J. Van der Heyden, juga memiliki kepekaan terhadap obyek dan lingkungan. Karakter satwa, alam, hutan tropis sebagai latar, dengan detail-detail yang rumit tapi mengesankan. Misalnya, adegan harimau dan monyet yang lari ketakutan karena tipu daya kambing. Sebagai latar belakang adalah hutan dan reruntuhan Candi Penataran, Jawa Timur.
Yang jelas, menurut Murti Bunanta, bacaan anak di zaman Hindia Belanda, baik anak indo dan Belanda maupun pribumi, memiliki tema sangat beragam. Juga isinya mempunyai kedalaman. ”Itulah yang langka dalam buku bacaan anak-anak sekarang,” katanya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo