Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Perang Israel Hamas menyebabkan sistem kesehatan di Gaza dalam kondisi memprihatinkan. Wilayah kantong ini diblokade oleh Israel sehingga menyulitkan pengiriman bantuan obat-obatan hingga makanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Akibatnya, sejumlah perempuan hamil harus menjalani operasi caesar tanpa obat bius. Selain itu, sulitnya air bersih menyebabkan bayi harus meminum susu formula yang berpotensi terkontaminasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Badan kemanusiaan CARE International melaporkan rata-rata 160 wanita hamil per hari diperkirakan akan melahirkan pada bulan depan di Gaza. Sedangkan wilayah Gaza disebut oleh PBB sedang mengalami krisis kemanusiaan.
CARE International menerima laporan pekan lalu bahwa beberapa perempuan telah menjalani operasi caesar tanpa anestesi. Ini dilakukan sebagai akibat dari kebijakan Israel yang memperketat blokade di Gaza sehingga membuat pasokan medis terhambat.
“Saya hanya bisa membayangkan betapa takutnya para wanita ini, terhadap diri mereka sendiri dan bayi mereka, sambil menderita kesakitan yang tak tertahankan,” kata Direktur CARE di Tepi Barat dan Gaza, Hibba Tibbi.
Laporan mengenai dokter yang harus melakukan operasi tanpa anestesi dan menggunakan cuka untuk membersihkan luka juga telah dikonfirmasi oleh dokter lokal di berbagai rumah sakit, serta Organisasi Kesehatan Dunia. “Ruang operasi (ruang operasi) kami penuh, jadi kami mulai melakukan operasi di lantai, di koridor,” kata ahli bedah Gaza, Dr Mohammed Obeid, kepada Medecins Sans Frontier.
“Wanita yang merupakan seorang ibu ini membawa putrinya yang masih kecil yang berusia sekitar 13 tahun dengan kursi roda. Dan di lantai, saya mengoperasi putra bungsunya, seorang anak berusia sembilan tahun yang kakinya setengah diamputasi.
“Kami kekurangan instrumen dan kami punya banyak kasus, jadi kami hanya diamputasi dengan sedikit obat penenang. Ahli anestesi berusaha menjaga mulut anak itu tetap terbuka agar tak tercekik menahan sakit.
“Kami mengamputasinya di depan ibu dan saudara perempuannya karena tidak ada tempat dan saudara perempuannya sedang menunggu untuk dioperasi selanjutnya," ujar dokter Obeid.
“Anda tidak dapat membayangkannya. Gadis ini, anak berusia 13 tahun yang sedang menunggu operasi, menatap saya saat saya mengamputasi bagian tengah kaki kakaknya.”
Rumah sakit terbesar di Gaza, Rumah Sakit Al Shifa, memiliki kapasitas hingga 700 pasien, namun staf kewalahan dengan lebih dari 5.000 pasien, beberapa di antaranya dirawat di lantai atau di koridor tanpa tempat tidur.
Dr Naser Bulbul mengatakan dia merawat sejumlah bayi baru lahir yatim piatu yang keluarganya belum ditemukan.
“Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan karena kami menghadapi kekurangan pasokan medis, ventilator, dan obat-obatan penting yang bisa menyelamatkan nyawa, terutama yang diberikan kepada bayi prematur dalam dua jam pertama kehidupannya,” katanya kepada UNFPA.
“Kami harus melakukan persalinan prematur terhadap janin dari rahim ibu saat dia sekarat. Semua bayi ini dilahirkan melalui operasi caesar darurat karena ketakutan dan teror.”
Meskipun sejumlah bantuan telah dikirim ke Gaza, lembaga-lembaga kemanusiaan telah memperingatkan bahwa bantuan tersebut tidak cukup untuk mendukung 2,3 juta orang yang tinggal di Jalur Gaza.
7NEWS | DAILY MAIL
Pilihan Editor: Gempa M6,4 Mengguncang Nepal, 137 Orang Tewas Puluhan Terluka