Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Inggris Theresa May berada di ujung tanduk setelah proposal kesepakatan Brexit yang diajukannya kembali terganjal di Parlemen. May mengancam akan mengundurkan diri jika upaya terakhirnya tak mendapat dukungan mayoritas anggota majelis rendah, Rabu, 27 Maret lalu.
Dalam surat kepada anggota partainya, Partai Konservatif, yang kebanyakan menolak proposalnya, May menyatakan hasil referendum Brexit harus dijalankan dan Inggris mesti mendapat kesepakatan saat keluar dari Uni Eropa. “Saya siap mundur dari pekerjaan ini lebih awal dari seharusnya,” tulis May seperti dikutip CNN.
Inggris seharusnya keluar dari Uni Eropa pada 29 Maret 2019 dengan atau tanpa kesepakatan. Namun May meminta perpanjangan waktu kepada Dewan Uni Eropa hingga 30 Juni mendatang karena masih mengupayakan kesepakatan di Parlemen. Tekanan kepada May makin besar setelah tiga anggota kabinetnya, Alistair Burt, Steve Brine, dan Richard Harrington, mundur pada 25 Maret lalu.
BRUNEI DARUSSALAM
Hukuman Mati untuk Pelaku Zina
SULTAN Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah mengesahkan undang-undang pidana baru yang akan menghukum mati pelaku zina dan hubungan seks sesama jenis. Mulai 3 April 2019, setiap orang yang dinyatakan bersalah atas pelanggaran itu akan dicambuk atau dirajam sampai mati di depan publik.
Hukum pidana baru ini juga menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri. “Brunei harus menghentikan penerapan hukuman kejam ini,” kata Rachel Chhoa-Howard, peneliti Brunei di Amnesty International, seperti dikutip ABC News, Selasa, 26 Maret lalu.
Undang-undang anyar ini dianggap diskriminatif serta melanggar hak asasi kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Mereka dapat dihukum mati di beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk dengan dilempari batu, seperti di Yaman, Arab Saudi, dan Mauritania.
Brunei menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memperkenalkan hukum syariah pada 2014. Saat itu negara berpenduduk 400 ribu jiwa—67 persen di antaranya muslim—ini mengumumkan tiga tahap perubahan ke hukum pidana Islam, yang mencakup denda atau penjara karena kehamilan di luar nikah atau tidak menunaikan salat Jumat bagi lelaki muslim.
SELANDIA BARU
Koneksi Sayap Kanan Pelaku Teror
PEMERINTAH Austria tengah menyelidiki hubungan antara pelaku serangan teror di Selandia Baru, Brenton Tarrant, dan kelompok sayap kanan Gerakan Identitarian di Austria. Kanselir Austria Sebastian Kurz mengatakan kelompok itu diketahui pernah menerima uang tunai dari Tarrant, yang diadili karena membantai 50 orang di dua masjid di Kota Christchurch pada 15 Maret lalu.
“Kami dapat memastikan bahwa ada dukungan finansial dan hubungan antara penyerang Selandia Baru dan Gerakan Identitarian,” ujar Kurz seperti dikutip Sydney Morning Herald, Rabu, 27 Maret lalu. Pemerintah Selandia Baru belum menanggapi pernyataan Kurz.
Juru bicara jaksa penuntut di Kota Graz menyatakan pemimpin Gerakan Identitarian Austria, Martin Sellner, menerima 1.500 euro (sekitar Rp 24 juta) pada awal 2018 dari seorang donor dengan nama yang sama dengan teroris Christchurch.
Sellner membantah tudingan bahwa dia berhubungan dengan Tarrant. Dia menyebutkan donasi itu telah dia salurkan langsung ke yayasan amal. “Saya bukan anggota organisasi teroris. Saya secara pasif menerima sumbangan darinya,” kata Sellner dalam video yang diunggahnya di YouTube.
Di Austria, Gerakan Identitarian beberapa kali dikaitkan dengan Partai Kebebasan. Penegak hukum mengusut beberapa pandangan antimuslim Tarrant yang digemakan Gerakan Identitarian. Tapi Heinz-Christian Strache, Wakil Kanselir Austria yang juga pentolan Partai Kebebasan, mengatakan tidak akan ada toleransi bagi siapa pun yang berhubungan dengan penyerang Christchurch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo