Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Impor Garam Berbekal Alokasi

Produsen garam industri aneka pangan diduga melakukan praktik kartel. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menemukan kesepakatan permohonan kuota impor serta pengaturan stok dan distribusi di antara mereka.

30 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak mau kehilangan bukti dari salah satu saksi pentingnya, majelis komisi pemeriksa perkara dugaan kartel garam Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan terbang ke Surabaya, Selasa, 19 Maret lalu. Di Kota Pahlawan, majelis dijadwalkan memeriksa enam saksi dari produsen penyedap rasa dan pengolah garam konsumsi sepanjang 19-21 Maret 2019.

Di antara keenam saksi, dua orang berasal dari PT Ajinomoto Indonesia. Anggota direksi PT Ajinomoto itu meminta sidang digelar di Kantor Perwakilan Daerah KPPU Surabaya, bukan di Jakarta seperti sebelumnya. Investigator Utama KPPU Noor Rofiq memenuhi permintaan ini. Ia meminta direktur PT Ajinomoto memaparkan keterangan seputar pasokan dan harga garam sepanjang 2015-2016. “Maret 2015 dinyatakan tidak ada pasokan, tapi Ajinomoto tetap dapat suplai dengan volume berkurang,” kata Rofiq saat ditemui, Rabu, 27 Maret lalu.

Komisi menggelar sidang perkara dugaan kartel garam sejak Januari lalu. Komisi menduga tujuh produsen pengolahan garam aneka pangan bersepakat mengatur produksi dan pemasaran untuk mempengaruhi harga sepanjang 2015-2016. Tujuh perusahaan itu adalah PT Garindo Sejahtera Abadi , PT Susanti Megah, PT Niaga Garam Cemerlang, PT Unichem Candi Indonesia, PT Cheetam Garam Indonesia, PT Budiono Madura Bangun Perkasa, dan PT Sumatraco Langgeng Makmur. Ketujuhnya juga tercatat sebagai importir garam.

Sidang pada Rabu, 20 Maret lalu, adalah yang kedua. Ajinomoto bersaksi di hadapan majelis komisi pemeriksa. Pada medio Februari lalu, Ajinomoto melalui Department Manager General Personnel Pabrik Mojokerto Mujibur Rokhman memaparkan kebutuhan garam rutin perusahaan yang mencapai 70 ribu ton per tahun. Garam-garam ini dipakai sebagai bahan baku produksi monosodium glutamat (MSG) di pabrik Mojokerto, Jawa Timur; dan Karawang, Jawa Barat.

Selama ini pasokan terbesar Ajinomoto berasal dari Unichem Candi Indonesia. Produsen penyedap rasa dan bumbu masak yang merupakan anak grup usaha Ajinomoto Inc asal Jepang itu juga mengambil garam dari Susanti Megah, Sumatraco, dan Cheetam. Dalam sidang pertama, Mujibur mengungkapkan adanya sejumlah pemasok yang tidak bisa memenuhi kebutuhan Ajinomoto selama beberapa waktu. Ajinomoto lalu menyampaikan soal kelangkaan ini kepada Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia.

Dalam kesaksian selanjutnya, Ajinomoto menyatakan harga garam dari pemasok meningkat pada Januari 2015. Kepada Ajinomoto, pemasok beralasan kenaikan ini dipengaruhi melemahnya kurs rupiah yang mendorong biaya impor garam. Baru pada Maret 2015 pemasok mengumumkan terjadi kelangkaan stok. “Pemasok berargumen belum ada izin impor bulan Maret,” ucap Noor Rofiq.

Namun data Kementerian Perindustrian menunjukkan stok garam pada Mei 2015 masih tersedia. Hanya dua importir yang mulai memasukkan permohonan impor pada Februari 2015. Data ini diperoleh dari Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian pada masa itu. Khayam memberikan kesaksian pada akhir Januari lalu.

Tujuh produsen importir garam lalu menggelar rapat tiga bulan setelah para produsen importir mengklaim terjadi kelangkaan stok pada Maret 2015. Rapat koordinasi dipimpin Tony Tanduk, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI). Hasilnya, pada 8 Juni 2015 AIPGI menerbitkan surat rekomendasi terkait dengan alokasi usul impor garam. “Dari keterangan saksi PT Saltindo Perkasa, mereka seharusnya bersaing untuk mendapatkan alokasi,” tutur Rofiq.

Surat AIPGI Nomor 36/AIPGI/6/2015 menunjukkan Garindo diusulkan mendapat 122.206 ton garam. Sumatraco, Susanti Megah, dan Cheetam diberi alokasi sama, 55 ribu ton. Adapun Unichem dan Niaga Garam akan menerima 27.500 ton. Sedangkan Budiono tidak mendapat alokasi. Totalnya 397.208 ton. Angka ini jauh dari alokasi masing-masing berdasarkan angka serapan.

KPPU menganggap tindakan ini melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 karena semestinya permohonan impor diajukan sendiri-sendiri berdasarkan rencana kebutuhan. Ketujuh perusahaan diduga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Jumlah alokasi yang disusun AIPGI hampir sama dengan kuota impor yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah mematok impor sebanyak 396.740 ton pada Juli 2015. Kemudian, pada November, harga garam kembali naik. Garam dijual Rp 1.800-2.602 per kilogram dari harga pokok produksi Rp 1.050-1.250 per kilogram. Pada awal 2016, terjadi kelangkaan lagi.

Ketua AIPGI Tony Tanduk mengatakan kelangkaan terjadi karena berkurangnya pasokan baik dari petani lokal maupun stok impor. Apalagi, Tony menambahkan, produksi lokal belum mampu memenuhi standar kebutuhan garam industri aneka pangan dengan kadar NaCl minimal 97 persen. Menurut dia, produsen juga menyerap sebagian garam petani untuk menjaga pasokan selama impor belum cair.

Ihwal usul kuota impor AIPGI, Tony mengatakan rapat itu hanya mengakomodasi keluhan para produsen yang kekurangan stok garam impor pada semester pertama 2015. Sebelum mengajukan permintaan impor, Tony mengkaji ulang jumlah serapan dan kebutuhan tiap pengusaha. “Saya mengacu pada angka penyerapan tahun sebelumnya saja,” ucapnya saat ditemui, Jumat, 29 Maret lalu.

Mantan Direktur Industri Kimia Dasar Kementerian Perindustrian itu menilai setiap kuota impor juga mempertimbangkan jumlah kebutuhan dari kontrak purchasing- order produsen dengan penggunanya. Adapun realisasi penjualan tiap produsen pengolahan garam bisa berbeda dengan kuota impornya karena bersumber dari stok garam lokal. Ia membantah ada kesepakatan bersama. “Pengguna pasti ambil harga yang termurah dan pasokannya lancar,” kata Tony.

Selain mendapati masalah kuota, KPPU memang menemukan dugaan pertukaran stok garam industri aneka pangan di antara tujuh pemain itu. Satu pabrik pengolahan garam konsumsi rupanya mengambil garam industri untuk dijual kembali kepada produsen pengolahan garam industri sehingga realisasi penjualannya melebih kuota impor. Garindo, misalnya, tidak merealisasi impor pada 2015. “Enam perusahaan lain mampu menjual di atas realisasi impor sehingga diduga masih terdapat stok yang digunakan untuk memenuhi permintaan Maret 2015,” ucap Noor Rofiq.

Kuasa hukum PT Susanti Megah, Sutrisno, keberatan terhadap tudingan KPPU. “Tidak benar Susanti Megah melakukan kartel impor garam pada 2015-2016, karena tidak pernah menimbun garam impor,” katanya dalam sidang permulaan, 18 Desember 2018.

Ombudsman Republik Indonesia juga menemukan maladministrasi impor yang dilakukan pemerintah pada 2018. Tahun itu, impor garam mencapai 3,7 ton. Impor tersebut dilakukan tanpa disertai rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan. Selain itu, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018, yang mengembalikan rekomendasi impor garam industri kepada Kementerian Pertanian, dalam waktu tiga hari. Izin impor ini pun disalahgunakan PT Mitra Tunggal Swakarsa. “Kami minta perbaiki administrasi dan perhitungan neracanya, jadi impor bisa turun,” ujar anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Siregar.   

PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus