Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gundah di Komisi Antirasuah

Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi bertentangan. Proses penegakan hukum terhenti.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Laode Muhammad Syarif di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 19 September 2019./TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DRAF surat keputusan pemberhentian tiga penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi telah disiapkan pada Kamis, 17 Oktober lalu. Empat dari lima pemimpin lembaga antikorupsi itu juga sudah meneken dokumen tersebut. Namun pemberhentian dengan hormat ini urung dilanjutkan karena salah satu pemimpin KPK enggan menandatanganinya. “Masalahnya, harus kami berhentikan sekarang atau tidak? Ini kami takut juga, kami ikut pasal yang mana?” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif pada Rabu, 23 Oktober lalu.

Kegamangan para pemimpin komisi antirasuah ini muncul sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini berlaku sejak 17 Oktober lalu.

Dalam undang-undang sebelumnya, -misalnya, pasal 21 hingga pasal 23 mengatur soal penasihat KPK. Namun dalam aturan terbaru tak ada lagi ketentuan me-ngenai penasihat alias dihapus. Walhasil, tiga penasihat KPK tak diperlukan lagi. Namun aturan peralihan dalam undang-undang ini bertentangan dan penjelasannya tidak memadai sehingga muncul berbagai tafsir.

Pertentangan ini ada di pasal 69-D, yang menyebutkan bahwa sebelum ada dewan pengawas, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK berdasarkan ketentuan undang-undang terdahulu. Namun klausul pasal tersebut, menurut Syarif, bertentang-an dengan pasal 70-C. Pasal itu berbunyi, saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Jika mengikuti pasal 69-D, kata -Syarif, tiga penasihat ini tetap ada hingga dewan pengawas sesuai dengan amanat undang-undang baru dipilih presiden. Karena itu, KPK harus tetap mempekerjakan dan menggaji para penasihat. Namun, kalau merujuk pada pasal 70-C, penasihat harus dibubarkan. “Misalnya gaji, temuan Badan Pemeriksa Keuangan harus dikembalikan. Padahal mereka kerja. Kasihan, kan?” ujar Syarif.

Syarif mengatakan status penasihat KPK akan menunggu penjelasan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo. “Menterinya baru dilantik. Kami tunggu dulu,” ucapnya. Ihwal perdebatan posisi tersebut, penasihat KPK, Tsani Annafari, enggan banyak berkomentar. Ia menjelaskan beberapa persoalan tersebut, tapi tak mau dikutip.

Kisruh penafsiran atas undang-undang terbaru KPK tak hanya mengenai posisi penasihat. Skema transisi yang tidak jelas ini juga berimbas di Kedeputian Penindakan. Salah seorang penegak hukum mengatakan tim penyidik sempat ragu saat hendak melakukan penyitaan terkait dengan tindak pidana yang sedang mereka tangani. “Ada tafsir bahwa mulai sekarang harus dilakukan melalui izin pengadilan sesuai dengan mekanisme KUHAP. Sebab, ketentuan sebelumnya dinyatakan tak berlaku,” ujar penegak hukum tersebut.

Penegak hukum KPK lain mengatakan, sejak berlakunya undang-undang terbaru itu, timnya belum melakukan tindakan terkait dengan penyelidikan ataupun penyi-dikan. Ia mengatakan hal ini lantaran adanya perdebatan penafsiran pasal 69-D dan 70-C. “Kami masih menunggu arahan pimpinan,” katanya.

Syarif mengatakan KPK akan mengikuti ketentuan pasal 69-D sehingga penegakan hukum tak terganggu. Namun pernyataan Syarif ini tak sejalan dengan diterbitkannya surat edaran pemimpin KPK per 17 Oktober lalu. Dalam pedoman pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga antikorupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu di antaranya diatur ketentuan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum.

Mengacu pada undang-undang terbaru, penyelidik hanya memiliki kewenangan melakukan penyadapan. Sedangkan sega-la kewenangan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tidak berlaku lagi bagi pe-nyelidik dan penuntut umum. Adapun penyidik tetap memiliki semua kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Surat itu juga menyebutkan, sebelum dewan pengawas terbentuk, penyidik berwenang melakukan penggeledahan dan pe--nyitaan. Setelah dewan pengawas terbentuk, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.

Mekanisme penandatanganan surat ataupun dokumen penyidikan dan penuntutan juga diubah. Mengacu pada undang-undang terdahulu, surat perintah penyidikan dan penuntutan diteken pimpinan. Walhasil, dokumen, surat, dan penetapan dalam proses penyidikan -ditandatangani Deputi Penindakan setelah mendapat persetujuan pimpinan. Begitu juga dokumen surat dan penetapan yang bersifat pene-gakan hukum dalam proses penuntutan ditandatangani Deputi Penindakan setelah mendapat persetujuan pimpinan.

Ketentuan ini juga mengakomodasi -penerbitan surat perintah penghentian penyidikan atas perkara yang tak kunjung rampung selama dua tahun setelah penetapan tersangka. Penyelidik, penyidik, atau penuntut umum yang menghentikan proses penanganan kasusnya harus memusnahkan hasil penyadapan dengan persetujuan pemimpin paling lambat 30 hari kerja setelah diterbitkannya surat penghentian. Padahal dalam undang-undang terbaru juga disebutkan KPK bisa membuka kembali kasus yang dihentikan itu bila memiliki bukti baru. Dalam surat itu disebutkan semua penyadapan yang dilakukan sebelum undang-undang terbaru berlaku tetap harus dimusnahkan.

Surat itu juga menyebutkan dihapusnya kewenangan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang selama ini dapat digunakan dalam proses penyelidikan, kemampuan penyelidik memperoleh bukti permulaan yang cukup menjadi terbatas. Walhasil, penetapan tersangka yang dilakukan di awal penyidikan tidak selalu efektif dilaksanakan. Karena itu, penetap-an tersangka tidak lagi harus dilakukan di awal penyidikan, tapi dapat dilaksanakan setelah lengkap dan terpenuhinya alat bukti yang diperlukan sehingga perlu penyesuaian prosedur penetapan tersangka.

Penyidik dan penuntut umum juga wajib melaporkan kepada pemimpin mengenai perkara yang ditanganinya dalam jangka waktu dua tahun yang belum selesai. Mereka kemudian akan mengadakan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus tersebut harus dilanjutkan atau dihentikan. Penghentian penyidikan atau penuntutan itu sepanjang memenuhi alasan tidak diper-oleh bukti yang cukup; penghentian demi alasan hukum, yaitu meninggal; nebis in idem; dan kedaluwarsa atau lewat waktu kewenangan penuntutan. Jika dewan peng-awas telah terbentuk, penyidik dan penuntut umum wajib melaporkan penghentian kasus kepada dewan pengawas.

Berlakunya undang-undang baru ini juga membuat pegawai KPK resah. Fungsionaris Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi KPK, Budi Santoso, mengatakan keresahan itu terkait dengan ketentuan mengenai pegawai KPK yang harus menjadi aparat sipil negara. Selama ini, kata dia, setiap pekerja di KPK diizinkan memiliki ide, inisiatif, dan eksekusi dalam pemberantasan korupsi. “Kalau kami ASN, otomatis hierarki itu ada,” ujar Budi.

LINDA TRIANITA, HALIDA BUNGA FISANDRA


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal Yang Mengganjal/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus