Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sensus Pembuka Kotak Pandora

Sensus penduduk di Myanmar memberi harapan bagi identitas muslim Rohingya. Sekaligus ancaman bagi eksistensi mereka.

31 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eindarit terbaring dengan tubuh berbalut perban di gubuk kayunya. Pria 36 tahun itu kehilangan hampir semua gigi dan terluka di sekujur tubuh akibat upayanya menghalangi puluhan tetangganya, warga etnis Rohingya, melarikan diri dari tanah kelahiran mereka di dekat Kota Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dua pekan lalu.

Eindarit, yang juga dari etnis Rohingya, hanya meminta tetangganya bertahan hingga sensus digelar pada akhir Maret sampai 10 April mendatang. "Ia menerima siksaan hanya karena mencoba membujuk mereka yang hendak pergi tetap mengikuti sensus," kata Hla Mint, tetua desa sekaligus bekas pensiunan polisi, yang mewakili Eindarit, seperti dilansir Mizzima.

Bagi Eindarit dan Hla Mint, pencacahan penduduk pertama di Myanmar selama tiga dekade terakhir itu menjadi harapan besar untuk etnis Rohingya, yang selama ini terpinggirkan. Meski telah diprotes berbagai pihak karena tak memasukkan Rohingya dalam 135 etnis yang diakui Myanmar, Eindarit dan warga Rohingya lainnya masih dapat menuliskan identitas mereka di kotak "Lainnya".

Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar Tahun 1982, Rohingya tidak dimasukkan sebagai bagian dari suku bangsa asli. Artinya, mereka bukanlah warga negara Myanmar. Meski jejak Rohingya dapat ditelusuri hingga beberapa generasi, mayoritas rakyat Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bengal atau Bangladesh. Itu sebabnya rakyat Myanmar memanggil mereka Bengali, bukan Rohingya.

"Selama ini kami selalu disebut Bengali. Dengan sensus ini, kami bisa menulis nama Rohingya untuk menunjukkan bahwa kami sudah menetap di tanah ini sejak dulu. Dan ini sangat penting artinya bagi kami," Hla Mint menegaskan.

Namun asa itu tak mampu meredam kekhawatiran mayoritas warga Rohingya beserta kelompok pembela hak Rohingya. Chris Lewa, Direktur Arakan Project, yang selama ini memperjuangkan hak warga Rohingya, menilai sensus justru menjadi alat teror baru. "Saya yakin sensus justru akan memicu kekerasan lebih besar terhadap warga Rohingya," ujar Lewa kepada Global Post.

Keyakinan Lewa didukung prediksi lembaga International Crisis Group (ICG), yang berbasis di Brussel, Belgia. "Kami memprediksi jumlah warga muslim Myanmar kini mencapai 10 persen dari total populasi," demikian pernyataan resmi ICG pada akhir Februari lalu. Dalam sensus 1983, kelompok Rohingya dan warga muslim Myanmar berjumlah 4 persen dari total populasi Myanmar.

Bila hasil sensus kali ini memastikan prediksi itu, ICG mengingatkan kemungkinan meningkatnya serangan sektarian dari ekstremis Buddha terhadap warga muslim, seperti yang terjadi pada 2012. Sekitar 250 orang tewas dan 140 ribu lainnya terusir—terutama Rohingya—akibat kekerasan sektarian yang terjadi kala itu di Negara Bagian Rakhine.

Kebencian terhadap 800 ribu warga Rohingya di Myanmar memuncak karena provokasi sejumlah pemimpin agama beraliran keras yang menilai Islam sebagai ancaman bagi eksistensi Buddha di Myanmar. Maka salah satu alasan yang digunakan para pejabat di Rakhine untuk menjawab pemicu kekerasan adalah tingginya angka pertumbuhan warga Rohingya.

"Overpopulasi di Rakhine menjadi salah satu penyebab konflik," tutur Win Myaing, juru bicara pemerintah Rakhine, seperti dilansir The Diplomat. "Pertumbuhan penduduk Rohingya muslim sepuluh kali lipat daripada Rakhine (Buddha)."

Potensi masalah lainnya sehubungan dengan sensus itu adalah pertanyaan dalam kuesioner yang diberikan hanya dalam bahasa Burma. Bahasa ini digunakan mayoritas etnis Burma. Permintaan para petugas sensus agar dibantu penerjemah dari masing-masing etnis minoritas, termasuk Rohingya, ditolak pemerintah.

Untuk menghindari kemungkinan buruk, ICG mendesak pemerintah Myanmar dan Badan Dunia untuk Kependudukan (UNFPA), sebagai konsultan sensus, menunda proyek senilai US$ 75 juta atau sekitar Rp 855 miliar itu. "Myanmar tengah berjuang mengakhiri konflik etnis yang telah berlangsung beberapa dekade. Sensus yang dapat memicu ketegangan baru sangat tidak disarankan."

Selama jangka waktu penundaan, ICG meminta pemerintah dan UNFPA menghilangkan identitas ras pada poin 8 dalam 41 poin di kuesioner. "Penundaan oleh pemerintah dan UNFPA menunjukkan mereka sensitif terhadap masalah serius yang ditimbulkan pelaksanaan sensus," ICG menambahkan.

Desakan serupa dilontarkan sejumlah jaringan dan kelompok pegiat hak asasi di Myanmar. Apalagi dua pekan menjelang proses pencacahan, ketegangan serta ancaman dari kelompok antimuslim meningkat. Kelompok ekstremis Buddha yang dipimpin Biksu Ashin Wirathu menggelar unjuk rasa selama beberapa hari di Sittwe, ibu kota Rakhine, untuk memaksa pemerintah memastikan warga Rohingya menuliskan nama ras mereka "Bengali" dalam sensus.

"Tidak ada nama Rohingya di negara kami," ucap biksu yang dengan bangga menyebut dirinya Bin Ladin Myanmar itu, seperti dilansir Burma News International.

Ancaman bahkan datang dari Zaw Aye Maung, menteri yang mewakili Rakhine Yangon. Menurut dia, Rohingya bukanlah kelompok etnis. "Jika mereka menulis identitas mereka sebagai Rohingya," katanya, "itu adalah bentuk penipuan."

Nada membujuk datang dari juru bicara Presiden Thein Sein, Ye Htut. Ia menjamin tak seorang pun akan dideportasi karena mengisi kuesioner sensus. "Rakyat, terutama warga Bengali, khawatir mengenai informasi dalam sensus. Kami berjanji data ini akan tetap menjadi rahasia," ujarnya.

Dari kubu berlawanan, Kyaw Min, pendiri Partai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, mendesak pemerintah melindungi semua etnis minoritas, termasuk Rohingya seperti dirinya, untuk dapat menuliskan identitas rasnya dalam sensus. "Saya akan menulis Rohingya sebagai etnis saya. Jika petugas menolak, saya tidak mau ikut sensus," Kyaw Min balik mengancam.

Semua keberatan dan perdebatan tentang pelaksanaan sensus seperti dianggap angin lalu. Pemerintah dan UNFPA berdalih Myanmar sangat membutuhkan pencacahan sebagai dasar mengambil kebijakan penting pada masa mendatang. Menteri Imigrasi Khin Yi pun berjanji mengajak bicara semua pemuka etnis di Myanmar.

Dalam wawancara dengan DVB, Janet Jackson, Kepala Perwakilan UNPF Myanmar, menyatakan pencacahan ini akan menghasilkan data untuk membuat kebijakan pembangunan yang lebih inklusif dan bermanfaat bagi semua pihak. "Bila ditunda, akan terjadi penundaan perolehan data hingga beberapa tahun mendatang," kata Jackson.

UNFPA bekerja sama dengan Kementerian Imigrasi bekerja selama 18 bulan terakhir untuk membuat format sensus hingga mempersiapkan detail teknis. Salah satunya melatih ratusan ribu guru menjadi petugas sensus. Mereka juga menggandeng penasihat dan pengawas dari seluruh dunia. Rasa percaya diri Jackson semakin tebal setelah hasil uji coba sensus di sejumlah wilayah Myanmar pada April 2013 berlangsung sukses. "Kami tidak menerima keluhan berarti dari seluruh kelompok etnis," katanya.

Hal berbeda diungkapkan sejumlah aktivis hak asasi Myanmar. Salah satunya Cheery Zahau dari etnis Chin, suku minoritas di negara itu. Ia mengeluhkan singkatnya waktu sosialisasi sensus terhadap kelompok etnisnya. "Jika kami sudah diberi tahu setahun sebelumnya, lebih mudah untuk mengedukasi warga Chin di wilayah pedalaman," ujar Zahau kepada WSJ.

Selain itu, perihal pembagian etnis menjadi masalah lain. Ia justru memprotes mengapa nama klannya, Zahau, terdaftar dalam kuesioner. Di Myanmar, kelompok etnis memperoleh jatah kursi di parlemen berdasarkan proporsi mereka. Bila suatu kelompok semakin terpecah, jelas jatah mereka di parlemen akan berkurang. "Melihat kondisi ini, saya yakin sensus mendatang hanya akan membawa kekacauan."

Toh, sensus tetap berjalan. Sekitar 150 ribu guru sekolah dasar dan menengah akan digerakkan selama sepuluh hari ke seluruh penjuru negeri, dari kawasan pegunungan terpencil hingga lokasi pengungsian. Hampir semua petugas sensus berasal dari etnis Burma, yang meliputi 60 persen dari total penduduk. Senjata mereka hanyalah setumpuk kertas kuesioner dan beberapa batang pensil 2B. Senjata yang sangat minim jika dibandingkan dengan masalah besar yang akan menghadang mereka.

Sita Planasari Aquadini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus