Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Magda Abbas kaget bukan kepalang ketika mendengar Pengadilan Kota Minya, Mesir, menjatuhkan hukuman mati kepada 529 terdakwa pembunuh perwira polisi Mustafa al-Attar. Dalam persidangan pada Senin pekan lalu itu, hakim Saeed Youssef Elgazar menyatakan para terdakwa, yang mayoritas anggota Al-Ikhwan al-Muslimun, terbukti bersalah atas kematian Wakil Kepala Kepolisian Kota Matay di Provinsi Minya itu.
Berbicara kepada sebuah stasiun televisi, Magda Abbas, yang tak lain istri Al-Attar, mengatakan hanya dua orang yang bertanggung jawab atas kematian suaminya. "Orang yang membunuh Mustafa tidak ada di tahanan. Mereka masih buron," ujarnya seperti dikutip The Guardian pada Selasa pekan lalu. Sebagian terdakwa memang diadili secara in absentia karena belum tertangkap.
Al-Attar terluka dalam aksi unjuk rasa di kantor polisi Matay, kota yang berjarak 245 kilometer di selatan Kairo, pada 14 Agustus 2013. Insiden itu terjadi beberapa hari setelah pasukan keamanan Mesir menyerang dua kamp pendukung Presiden Muhammad Mursi di Kairo, yang menewaskan lebih dari 600 orang. Al-Attar sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong.
Perkara itu melibatkan 545 terdakwa. Selain didakwa terlibat pembunuhan Al-Attar, mereka dituduh berupaya membunuh dua petugas keamanan, berpartisipasi dalam unjuk rasa ilegal, serta merusak properti publik dan perseorangan. Jaksa membebaskan 16 terdakwa karena dinilai tak terlibat dalam kasus itu.
Muhammad Zaree, manajer program pada Cairo Institute for Human Rights Studies, mengatakan ini merupakan vonis mati paling massal dalam sejarah peradilan Mesir. "Ini bukan putusan, ini pembunuhan massal," kata Zaree.
Persidangan perkara itu berlangsung serba kilat. Seperti dilansir Foreign Policy, persidangan pertama digelar pada 22 Maret lalu. Kala itu 147 terdakwa dijejalkan ke sebuah kurungan besar yang diletakkan di tengah ruang sidang. Kurungan dirancang khusus untuk menampung banyak orang. Selama sidang, hakim Elgazar kerap berteriak kepada para pengacara terdakwa. Ia menuduh para pengacara mengganggu sidang dan mendiskusikan soal politik di ruang sidang.
"Jangan membicarakan konstitusi, saya tak ingin mendengar hal itu di pengadilan saya," ujar Elgazar, seperti ditirukan salah seorang pengacara terdakwa, Ahmad Shabeeb. Shabeeb mengatakan Elgazar kemudian meminta petugas keamanan bersenjata menjaga tempat duduk hakim.
Shabeeb mengakui tim pembela tak bisa mempersiapkan kasus tepat waktu karena berkas kasusnya ada 4.000 halaman. Pengadilan, kata dia, bahkan tidak memberi tambahan waktu yang mereka minta. "Vonis hakim melanggar seluruh prosedur yang dijamin Konstitusi 2014. Seolah-olah hakim ingin mengatakan dialah dewa paling tinggi," ujarnya.
Persidangan pun berlangsung cuma 45 menit. Saksi dilarang memberikan kesaksian. Hakim kemudian menunda persidangan dan meminta para pengacara mengajukan pembelaan tertulis. "Hakim bahkan tidak melihat bukti-buktinya," kata Shabeeb.
Dalam persidangan kedua pada Senin pekan lalu, hakim tak menghadirkan para terdakwa dan melarang pengacara hadir di persidangan. Hakim langsung membacakan putusannya di ruang sidang yang disesaki anggota kepolisian.
Menurut The Guardian, Elgazar kerap membuat putusan kontroversial. Pada Januari lalu, misalnya, ia membebaskan sejumlah polisi yang dituduh membunuh para pengunjuk rasa selama aksi revolusi 2011.
Sebelumnya, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati secara massal meski jumlahnya tidak sebanyak ini. Pada 26 Februari lalu, Pengadilan Kairo memvonis mati 26 orang yang didakwa membentuk kelompok teroris Terusan Suez pada 2010. Para terdakwa dituduh berencana menyerang kapal-kapal yang akan melintasi Terusan Suez, memproduksi peluru kendali dan bahan peledak, memantau serta merencanakan serangan dengan target pasukan dan fasilitas keamanan, serta kepemilikan senjata. Namun semua terdakwa dibebaskan karena kurang bukti.
Keluarga para terdakwa tak pernah berpikir hakim bakal memberikan hukuman mati. Muhammad Hafez, yang dua saudara laki-lakinya, Hossam, 30 tahun, dan Mustafa, 31 tahun, dijatuhi hukuman mati, mengatakan penyidik sama sekali mengabaikan fakta bahwa kedua saudaranya bukan anggota Al-Ikhwan al-Muslimun—organisasi pendukung Presiden Muhammad Mursi, yang terguling dalam kudeta militer 3 Juli tahun lalu. "Mungkin mereka berusaha menakuti rakyat agar berhenti berunjuk rasa atau melawan rezim," ujar Hafez.
Sejumlah pengacara lokal memprotes putusan itu dengan memboikot persidangan massal berikutnya, yang digelar keesokan harinya, karena persidangan juga dipimpin hakim Elgazar. Persidangan itu melibatkan 683 terdakwa, termasuk Ketua Al-Ikhwan al-Muslimun Muhammadd Badie. Mereka didakwa atas pembunuhan, menghasut tindak kekerasan, dan sabotase. Mereka juga terancam hukuman mati.
Badie, yang ditahan di Kairo, tidak dihadirkan dalam persidangan dengan alasan keamanan. Setelah persidangan berlangsung lima jam, hakim menyatakan akan membacakan putusan pada 28 April nanti. Bila nantinya divonis mati dan vonis itu dikuatkan Mahkamah Kasasi, Badie merupakan tokoh paling senior Al-Ikhwan yang dihukum mati setelah ideolog organisasi itu, Sayed Qutb, dieksekusi pada 1966.
Nathan Brown, pakar politik dari George Washington University, mengatakan kalaupun putusan terhadap 529 terdakwa itu diambil secara independen, peradilan Mesir bukanlah institusi yang netral. "Sebagian dari aparat peradilan adalah bagian dari pemerintah baru yang represif," katanya.
Dunia internasional mengecam putusan itu. Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan vonis itu melanggar hukum internasional. "Pengadilan terhadap 529 orang hanya dalam waktu dua hari itu tidak dibenarkan, bahkan tak memenuhi kebutuhan dasar untuk persidangan yang adil," kata Rupert Colville, juru bicara Hak Asasi Manusia PBB.
Pemerintah Amerika Serikat juga menyatakan terkejut mendengar putusan itu. Wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri, Marie Harf, mengatakan tidak mungkin pengadilan dapat membuat putusan yang sesuai dengan standar internasional hanya dalam waktu dua hari. Apalagi pengadilan melibatkan 529 terdakwa. "Ini seperti menentang logika." Gedung Putih, kata Harf, telah menghubungi pemerintah Mesir untuk memastikan para tahanan mendapat persidangan yang adil dan bebas dari bias politik.
Reaksi di dalam negeri lebih beragam. Selain kelompok pro-Mursi yang menentang, kelompok moderat justru memuji putusan itu. Mereka menuding Al-Ikhwan al-Muslimun sebagai biang kerusuhan di negara itu dan menyatakan para terdakwa layak menerima hukuman. "Mereka semua pembohong, sehingga layak mendapat hukuman apa pun," ujar Ali Delgawy, pengacara asal Minya.
Baik media pemerintah maupun swasta juga mendukung putusan pengadilan. Ahmad Moussa, pembawa acara stasiun televisi satelit Sada al-Balad, memuji kewajaran dan keadilan peradilan Mesir dalam mengadili para terdakwa itu. "Mungkin mereka (yang dihukum mati) jumlahnya 10 ribu, 20 ribu, bukan 500. Kami tidak sedih, kami senang."
Para terdakwa belum tentu berakhir di tiang gantungan—hukuman mati yang lazim di Mesir. Mahkamah kasasi akan menyelidiki apakah proses persidangan sudah sesuai dengan undang-undang. Menurut Karim Ennarah, peneliti hukum pidana pada lembaga Inisiatif Mesir untuk Hak Pribadi, jika ada kesalahan prosedural, putusan pengadilan bisa dianulir. Ia memperkirakan ke-529 terdakwa tak terlibat dalam pembunuhan Al-Attar. "Putusan itu diambil untuk mengintimidasi dan meneror pengunjuk rasa penentang pemerintah."
Sapto Yunus
Terorisme sampai Holiganisme
Mesir merupakan satu di antara 40 negara yang belum menghapus hukuman mati. Lebih dari seribu orang telah dijatuhi hukuman mati di pengadilan sipil Mesir pada 1981-2014.
1982:
Lima anggota gerakan Jihad Islam, termasuk Khaled el-Islamboly, diganjar hukuman mati karena terlibat pembunuhan Presiden Anwar Sadat.
1992-2001:
Tak kurang dari 94 orang divonis mati dalam perkara terorisme, 67 di antaranya dieksekusi.
2010:
Sejumlah 136 orang dijatuhi hukuman mati.
2011:
Satu dari 115 orang yang divonis mati telah dieksekusi.
2012:
Pengadilan mengganjar hukuman mati kepada 91 orang.
Maret 2013:
Pengadilan Port Said menjatuhkan hukuman mati kepada 21 orang dalam perkara kerusuhan di stadion sepak bola yang menewaskan 79 orang. Vonis ini dibatalkan pengadilan banding pada Februari lalu.
26 Februari 2014:
Pengadilan Kairo menghukum mati 26 orang yang didakwa membentuk kelompok teroris Terusan Suez pada 2010. Semua terdakwa dibebaskan karena kurang bukti.
24 Maret 2014:
Pengadilan Minya menjatuhkan hukuman mati kepada 529 terdakwa dalam kasus pembunuhan seorang polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo