DARAH kembali mengalir di medan Perang Teluk. Pertempuran Iran-Irak kini memasuki konfrontasi paling gencar sepanjang sejarah perang yang sudah memasuki tahun ketujuh. Kontak senjata menampilkan fase baru. Mengapa? Gempuran Iran dilancarkan untuk mencapai satu target: merebut kemenangan dengan melumpuhkan jantung mesin perang Irak yang terletak di selatan. Rangkaian serbuan yang tampak sangat ambisius itu menunjukkan bahwa Iran diburu waktu. Ada kesan bahwa perang berkepanjangan itu akan segera diselesaikan Iran dalam waktu singkat. Mungkin ketergesaan itu bisa dicari sebabnya dalam berita yang dimuat mingguan Inggris Sunday Express pekan lalu. Di situ disebutkan Imam Khomeini, orang pertama Iran, tergolek dalam krisis. Pemimpin revolusi Iran berusia 86 itu digerogoti kanker menahun dan kini kena komplikasi ginjal. Ia, menurut Sunday Express, sudah berada dalam keadaan lumpuh dan terus-menerus menjalani hemodialisis melalui peralatan pencuci darah. Kesehatannya sudah sangat buruk dan matanya nyaris buta. Rentetan Operasi Karbala, yang dilancarkan sejak Desember lalu, memang bergerak secara aneh dan cepat tapi intensif. Bertepatan dengan Malam Natal Desember lalu, Iran tiba-tiba muncul dengan Operasi Karbala 4, menusuk bagian sempit terusan Teluk Persia di Shat-Al-Arab, selatan Basra, kota kedua terbesar di Irak dengan penduduk 1 juta jiwa. Dalam perang dua minggu, pasukan Iran mendesak ke arah Basra setelah lebih dulu menduduki gugus pulau-pulau, 12 mil di hadapannya. Dalam waktu singkat Pulau Mahi, Toveyla, dan Bovarian, yang menjadi basis divisi infanteri ke-47 dan brigade artileri ke-11 Irak, jatuh ke tangan Iran. Dari posisi itu, 6 Januari lalu pasukan infanteri dan artileri Iran melancarkan Operasi Karbala 5. Targetnya: menduduki jantung mesin perang Irak. Basra gawat meski belum jatuh. Hotel internasional Basra Sheraton, yang menghadap ke Shat-Al-Arab, babak belur dihujani peluru artileri musuh. Menurut laporan wartawan di Basra, penduduk mengungsi ke perkampungan Zubair, markas pasukan angkatan darat Irak. Di tengah gencarnya serbuan ke Basra itu, Iran tiba-tiba membuat gerakan aneh: 13 Januari pekan lalu sebuah pasukan reguler di Oasr-e-Shirin, utara Kota Sumar tak jauh dari Baghdad, ibu kota Irak, membuka Operasi Karbala 6. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Perang Iran-lrak, Iran melancarkan dua serangan sekaligus - menghajar dua medan yang dipisahkan jarak 250 mil. Irak bingung. Presiden Saddam Hussein segera mengumpulkan semua jenderal perangnya dan melangsungkan rapat bersambung selama 10 jam. Sebuah teka-teki harus dipecahkan. Apakah serbuan Iran di Oasr-e-Shirin dimaksudkan sebagai pancingan agar pasukan Irak bergerak ke utara, sementara pasukan Iran dengan leluasa menduduki Basra? Atau, mungkin juga, Baghdad-lah yang menjadi sasaran. Dalam kemelut ini strategi Saddam Hussein diuji: Di titik mana pasukan harus diperkuat pada medan perang sepanjang 700 mil itu? Jawabannya masih dicari, sedangkan gempuran Iran ke Basra terus saja berlangsung. Awal pekan ini, televisi Iran menyajikan pemandangan tragis: Kota Basra lumpuh. Namun, Iran harus kecewa karena Basra yang nyaris jatuh itu ternyata sama sekali bukan pusat kekuatan Irak. Sudah beberapa tahun terakhir ini kegiatan kota itu dipindahkan. Kawasan minyak di bandar Faw sudah tak lagi aktif sejak tahun lalu. Dalam pertempuran tiga minggu lalu Irak mengubah Basra menjadi benteng kota. Pada minggu keempat ini pertempuran memancing ketegangan paling serius. Irak memutuskan serangan langsung: menghujani kota-kota penting Iran dengan peluru kendali darat ke darat. Korban berjatuhan di Tabriz, Isfahan, dan Kota Suci Qum. Iran membalas sama lurusnya dengan peluru kendali yang sama pula. Awal pekan ini peluru kendali Iran yang ke-10 menghunjam Baghdad dan menimbulkan kerusakan yang berat. Peluru kendali juga diarahkan ke perbatasan Irak dan Kuwait. Ketegangan pun meluas karena Kuwait - 50 mil dari medan perang - 26-28 Januari ini menjadi tuan rumah pertemuan Organisasi Konperensi Islam. Perang peluru kendali mengundang pula pernyataan terbuka Uni Soviet yang bunyinya condong membela Irak - diperkuat kesediaan menyuplai senjata. Sikap ini ada hubungannya dengan skandal penjualan senjata Amerika Serikat ke Iran yang terbongkar belum lama ini. Dari transaksi gelap itu Iran mendapat peluru kendali. Jim Supangkat, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini