Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembali ke nomor satu

K.h. syansury badawi, tak jadi mundur dari daftar calon anggota dpr mewakili ppp. konon ia hanya bersedia menjadi anggota mpr, serta bakal dicopot dari kepemimpinan di pondok pesantren tebuireng. (nas)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PPP tak jadi kehilangan calon andalannya di Jawa Timur. Pekan lalu DPP PPP mengumumkan urungnya K.H. Syamsuri Badawi mundur dari pencalonan anggota DPR. Padahal, seminggu sebelumnya ramai diberitakan - dan tak dibantah oleh yang bersangkutan - pengunduran calon PPP itu. Untuk sementara, teka-teki sekitar pencalonan ulama Pesantren Tebuireng tadi menjadi terang, meski masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal. Misalnya, apa yang sebenarnya terjadi sehingga terkesan Kiai Syamsuri tak berpendirian? Ulama berusia 68 tahun ketika ditemui pekan lalu enggan mengungkapkan secara terinci cerita pembatalan pengunduran dirinya dari daftar calon sementara (DCS). "Bagaimana saya bisa memberikan keterangan begitu dalam. Itu sebenarnya pantangan buat saya," ujarnya. Tampaknya ia menyadari sikapnya itu bisa menimbulkan penafsiran yang salah. "Orang yang tidak paham jelas menuduh saya plintat-plintut," tambahnya. Memang tuduhan plin-plan telah terdengar, paling tidak seperti yang disuarakan Mahbub Djunaidi, Wakil Ketua PB NU. "Sikapnya yang mencla-mencle menyebabkan ia kurang dihargai," katanya seperti dikutip Pikiran Rakyat. Yang menarik adalah embel-embel yang menyertai pernyataan urungnya pengunduran diri Kiai Syamsuri Badawi. Ketua DPC PPP Jombang, Badawi Mahbub, pekan silam menyatakan bahwa kesediaan kembali Kiai Syamsuri untuk dicalonkan "juga mendapat restu K.H. Adlan Aly". Penyebutan restu Kiai Adlan Aly, 90, ulama tertua Ja-Tim yang kini rais am Jam'iyah Ahlith Thariqatil Mu'baratin Nahdliyah (ketua umum perhimpunan ahli tarekat sah NU) ini penting, karena seakan merupakan pembenaran "perubahan sikap" Kiai Syamsuri. Konon, pemberian restu itu dilakukan sewaktu Syamsuri, yang ditemani Imron Rosyadi dan Sulaiman Fadli, Ketua DPW PPP Ja-Tim, mendatangi rumah Kiai Adlan di Cukir, Jombang, 12 Januari lalu. Tapi Kiai Adlan sendiri membantah. "Saya tidak merasa dimintai restu atau memberi restu". Sebuah sumber TEMPO menjelaskan, penandatanganan surat kesediaan kembali Kiai Syamsuri untuk dicalonkan itu memang disaksikan Kiai Adlan, meski itu tidak mesti ditafsirkan sebagai pemberian restu. Jadi, Kiai Syamsuri tetap menjadi calon PPP. Ulama kelahiran Cirebon yang cukup berpengaruh di Ja-Tim itu ini memang layak menjadi rebutan antara PPP dan pengurus Pondok Tebuireng. Berbeda dengan calon PPP lain seperti Imam Sofwan dari Jawa Tengah, Syamsuri sebenarnya kalah terkenal secara nasional. Ia tak punya jabatan apa pun di NU. Menurut Said Budairy, Bendahara PBNU, Kiai Syamsuri bukanlah Mustasyar (penasihat PB NU). "Beliau hanya pernah sekali dipakai Kiai As'ad menjadi ahlul-halli wal 'aqdi (tim ulama pembentuk PB NU)," ujar Said. Jabatan Syamsuri memang lebih berskala lokal. Ia menjabat Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP Cabang Jombang. Hingga kini ia juga tercatat sebagai Ketua Fraksi PPP di DPRD II Jombang. Namun, ia sangat dikenal bila orang menyebut Pesantren Tebuiren, tempat ia telah mengabdi lebih dari 36 tahun. Syamsuri adalah salah seorang murid K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri NU dan Tebuireng. Nama Syamsuri secara nasional mulai mencuat tatkala beberapa kali ia menyatakan tidak setuju bila NU sama sekali meninggalkan PPP. Ia bahkan sempat mengeluarkan fatwa: wajib hukumnya bagi umat Islam untuk memilih PPP dalam pemilu mendatang suatu hal yang sangat bertentangan dengan keputusan Muktamar Situbondo 1984. Buat PPP, yang setinggalkan NU, adanya ulama yang bersikap seperti itu jelas sangat menguntungkan. Apalagi kiai sekelas Syamsuri dengan nama Tebuireng yang kharismatik, dengan tiga ribu santri, puluhan ribu alumm, serta ratusan ribu masyarakat yang menghormatinya. Bisa dimengerti bila buat PPP pencantuman Syamsuri sebagai calon, bagaimanapun juga, harus dipertahankan. Kasus "perebutan" Kiai Syamsuri antara PPP dan Tebuireng ini sebenarnya merupakan kelanjutan pertikaian antara "sayap politik" NU dan kelompok ulama. Pihak ulama bisa disebut menang setelah Muktamar Situbondo 1984 memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926, yang berarti secara organisasi NU meninggalkan afiliasi politiknya. Muktamar Situbondo memutuskan: NU menghargai hak politik setiap warganya, dan tidak melarang mereka aktif di orpol. Yang dilarang cuma perangkapan jabatan di kepengurusan NU dan orpol tingkat pusat dan wilayah. Sejumlah tokoh NU yang sudah lama menggeluti bidang politik rupanya enggan meninggalkan dunia mereka. Beberapa politikus profesional NU, Imam Sofwan misalnya, tak ragu melepas jabatan Ketua NU Ja-Teng. Namun, PB NU tampaknya maju selangkah lagi: pengurus NU, termasuk badan otonom dan lembaga, dilarang menjadi calon DPR. Tampaknya pimpinan Pesantren Tebuireng punya sikap yang sama. Lewat sebuah rapat pengurus Tebuireng 25 September tahun lalu, diambil ketentuan: Semua pengurus Pondok yang dicalonkan kontestan mana pun secara otomatis dinyatakan mengundurkan diri dari jabatannya di Tebuireng. Dengan alasan agar santri tak tercerai-berai dan Pondok tak bubar, kala itu, kabarnya, Kiai Syamsuri memilih jabatannya di Pondok. Sikap ini yang kemudian tersiar sebagai pengunduran ulama itu dari daftar calon. Belakangan surat permohonan pengunduran Syamsuri tersebar luas. Menggunakan kop Pondok Pesantren Tebuireng, surat yang ditujukan kepada Panitia Pemilihan Indonesia dan Panitia Pemilihan Daerah Jombang itu menyebut alasan kesibukannya di Pondok serta menghormati putusan rapat pengurus Pondok 25 September itu, sehingga K.H. Syamsuri Badawi menyatakan mundur dari pencalonan. Tembusan surat tertanggal 6 Januari itu juga disampaikan kepada DPP PPP, DPC PPP Jombang, dan pengasuh Pondok Tebuireng. Munculnya pengunduran itu kemudian diikuti tudingan, terutama dari kalangan PPP bahwa ulama itu dipaksa mundur oleh Jusuf Hasjim. Hal yang dibantah keras oleh Jusuf, yang pekan lalu merasa perlu menjumpai Nuddin Lubis di DPR untuk melaporkan kejadian itu. DPP PPP lalu berusaha menjinakkan Kiai Syamsuri dengan mengutus Imron Rosyadi ke Jombang 12 Januari lalu. Kabarnya, orang kedua Tebuireng itu membatalkan pengunduran dirinya begitu Imron membeberkan kemungkinan ulama itu bisa dituduh subversif lantaran sikapnya tadi. Namun, menurut Jaksa Agung Muda Bidang Intel Nugroho, yang juga anggota Panwaslak (Panitia Pengawasan Pelaksanaan) Pemilu, tuduhan subversif itu tak berdasar. "Mengundurkan diri dari pencalonan itu tak bisa dituduh subversif. Hak mengundurkan diri itu sepenuhnya di tangan Kiai Syamsuri," ujar Nugroho seperti dikutip Jawa Pos. K.H. Syamsuri sendiri mengatakan, sebenarnya ia hanya menginginkan duduk di MPR. "Niat saya yang pertama, kalau itu dikabulkan, adalah anggota MPR. Sebab, dengan menjadi anggota MPR saya masih bisa memikirkan Pondok," katanya pada TEMPO pekan silam. Artinya, bila ia terpilih sebagai anggota DPR, Syamsuri akan melepaskan kedudukan itu. Sulaiman Biyahimo, dari MPW PPP Ja-Tim, mengaku sudah mengetahui niat kiai ini sejak dulu. "Orang yang akan menjadi calon anggota MPR itu prosedurnya 'kan harus masuk calon DPR. Beliau memang minta kalau bisa, untuk cuma menjadi anggota MPR. Meski begitu, belum jelas apakah Syamsuri kelak - bila terpilih - akan hanya duduk di MPR. Karena ia sendiri pernah mengatakan niatnya untuk menjadi anggota DPR karena "DPR memerlukan kepemimpinan spiritual". Yang jadi soal, bagaimana bila Kiai, yang konon mendapat wasiat dari K.H. Asy'ari untuk tetap mengajar di Pondok dalam kondisi apa pun, itu harus meninggalkan Pesantren. Beberapa santri senior tak bisa membayangkan Tebuireng tanpa Syamsuri. "Ruh Pondok ini ada di tangan Kiai Syamsuri," ujar seorang santri senior. Seorang santri senior lain mengatakan, secara teknis, bila Kiai Syamsuri jadi anggota DPR, jelas ia tak bisa aktif lagi d Pesantren. Bisakah Kiai Syamsuri menjadi anggota MPR sekaligus mengasuh Tebuireng? Tampaknya sulit. Pimpinan Tebuireng, Jusuf Hasjim, Selasa pekan ini menegaskan Syamsuri bakal dicopot dari kepemimpinannya di Tebuireng, sesuai dengan kesepakatan 25 September. "Ini sebenarnya melegakan Pesantren. Sebab, selama ini Kiai Syamsuri selalu dikaitkan dengan Tebuireng. Ini menyulitkan Tebuireng sebagai lembaga netral. Kiai Syamsuri jelas berkiblat ke PPP dan malah mewajibkan umat Islam memilih PPP," ujarnya. A. Luqman, Laporan Choirul Anam (Surabaya) & Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus