Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hujan api itu akhirnya selesai pada hari pertama bulan suci Ramadan. Setelah 70 jam digempur peluru kendali, rakyat Irak pada hari Minggu 20 Desember silam, keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka merayakan hari "kebebasan" ini dengan menyumpahi Clinton dan meneriakkan pujian terhadap sang pemimpin Saddam Hussein. Bagi rakyat Irak yang telah terbiasa hidup prihatin, serangan udara minggu lalu memang bukan suatu kejutan. Bahkan beberapa penduduk Bagdad menganggap serangan tersebut adalah "hiburan" dengan taburan kembang api di angkasa. Tak heran bila Saddam Husein memuji rakyatnya sebagai pemberani.
Rakyat Irak menganggap bahwa merekalah yang tampil sebagai pemenang dalam konflik kali ini. Sebuah klaim yang sebetulnya mengenaskan mengingat "kemenangan" yang melibatkan serangan empat gelombang yang telah menewaskan 68 tentara Irak dan mencederai 180 lainnya. Adapun korban di pihak sipil, menurut Deputi PM Irak Tareq Aziz, berjumlah 10 kali lipat daripada korban militer. Selain itu, beberapa bangunan, terutama fasilitas militer dan istana Saddam habis dihajar rudal. Yang menyedihkan, menurut pemerintah Irak, hujan rudal ini juga ikut nyelonong menghajar sebuah rumah sakit. Tentu saja pernyataan yang terakhir ini dibantah pihak AS dengan dalih bahwa rudal yang digunakan adalah "rudal bermata yang cerdas."
Apakah militer Irak betul-betul lumpuh setelah serangan ini, masih sulit untuk diprediksikan. Maklum, Irak terkenal liat dalam perang. Hasil nyata yang diperoleh Amerika adalah panen kecaman dari berbagai penjuru. Rakyat Palestina yang semula memasang bendera AS di pinggir jalan Kota Gaza untuk menyambut Clinton, buru-buru mencabutnya begitu bom pertama jatuh. Di kawasan Timur Tengah lainnya, hampir semua Kedutaan Besar Amerika Serikat diserbu ribuan pengunjuk rasa.
Negara-negara besar seperti Rusia, Cina, dan Prancis ikut menyesalkan terjadinya insiden itu. Mereka menyerukan agar dimulai lagi usaha-usaha diplomatik untuk meredakan pertikaian antara Irak dan Tim PBB. Lebih jauh lagi, tiga negara tersebut meminta agar sanksi ekonomi atas Irak yang telah berjalan delapan tahun dicabut.
Bila benar apa yang dikatakan Menteri Pertahanan Amerika bahwa serangan udara dengan nama "Operasi Rubah Gurun" dengan biaya US$ 500 juta itu tidak dimaksudkan untuk menggulingkan Saddam, kerugian bagi rakyat Irak justru makin berlipat ganda. Mereka terpaksa menjalani hidup di bawah rezim yang otoriter, sekaligus harus bertahan hidup dalam kesulitan ekonomi yang mengimpit.
YAP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo