Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Seusai Insiden Kecil di Kandy

Tewasnya warga Sinhala di Sri Lanka berujung pada kerusuhan berdarah. Bukan konflik horizontal pertama.

18 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK pertama kalinya dalam 35 tahun, pemerintah Sri Lanka kembali memberlakukan keadaan darurat nasional. Sejak Selasa dua pekan lalu, tentara dan polisi dikerahkan di seantero negara pulau di sebelah tenggara India itu untuk mencegah kerusuhan meluas.

Pengerahan personel militer dipusatkan di Kandy, sebuah distrik di tengah Sri Lanka, yang menjadi pusat kericuhan. "Kami ingin memastikan bahwa kekerasan komunal tidak menyebar ke seluruh negeri," kata Dayasiri Jayasekara, juru bicara pemerintah, kepada CNN.

Distrik Kandy diguncang kerusuhan saat orang-orang Sinhala garis keras menyerang komunitas muslim. Pemicunya adalah kematian seorang sopir truk, M.G. Kumarasinghe, pada 23 Februari lalu. Sedikitnya tiga orang tewas akibat bentrokan berdarah itu. Kerusuhan juga mengakibatkan lebih dari 200 toko dan rumah serta 11 masjid rusak berat.

Kerusuhan yang meletus di Kandy ini bermula pada malam sebelumnya, saat Kumarasinghe sedang mengangkut paket susu bubuk untuk perusahaan swasta tempat dia bekerja. Ditemani seorang rekannya, pria 41 tahun itu menyetir truk dari Kolombo ke Teldeniya, sekitar 21 kilometer di sebelah timur Kandy.

Menjelang tengah malam, truk Kumarasinghe terlibat insiden kecil dengan sebuah mobil roda tiga yang ditumpangi empat orang. Sunil, sepupu dan anggota keluarga yang sempat berbincang dengan Kumarasinghe sebelum ia tewas, mengatakan mobil itu menyalip dan hampir menyerempet truk.

Kumarasinghe semula mengira insiden itu berlalu begitu saja. Selepas mengantar paket, ia mengemudikan truk ke stasiun bensin perusahaannya dan memarkirnya. "Dia berencana pulang dengan sepeda motor yang diparkir di sana," ujar Sunil, seperti dikutip Sunday Times.

Di stasiun bensin itu, Kumarasinghe bertemu dengan penumpang mobil roda tiga yang nyaris menyerempet truknya. "Begitu penumpangnya turun dari mobil, seorang dari mereka memukul kepala Kumarasinghe dengan botol bir," ucap Sunil. Sejurus kemudian, tiga orang lain ikut menggebuki Kumarasinghe.

Serangan tersebut berlangsung cepat. Rekan Kumarasinghe dan petugas keamanan stasiun bensin tak sempat membelanya. Setelah menganiaya Kumarasinghe, empat orang itu langsung kabur.

Dalam kondisi terluka, Kumarasinghe menelepon dan meminta Sunil datang. Sunil tiba tak lama sesudahnya. "Saya melihat darah mengucur dari kepalanya," ucap Sunil. Alih-alih menuju rumah sakit terdekat, Kumarasinghe meminta Sunil mengantarnya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi Teldeniya.

Kumarasinghe menderita luka parah. Ia ambruk satu jam setelah melapor ke polisi. Sunil melarikan sepupunya itu ke rumah sakit Teldeniya. Beberapa hari kemudian, Kumarasinghe dipindahkan ke Rumah Sakit Pendidikan Kandy untuk mendapat perawatan lebih baik. Pria asal Desa Posgohuwa, Medamahanuwara, itu tak siuman sampai ia akhirnya meninggal pada 2 Maret.

Kabar kematian Kumarasinghe menyebar cepat. Saat ia masih tergolek di rumah sakit, desas-desus tentang aksi serangan di stasiun bensin telah merebak ke desa-desa sekitarnya. Penangkapan empat pemuda muslim oleh polisi, yang diduga sebagai pelaku penyerangan, makin memicu ketegangan antara komunitas muslim dan Buddha di wilayah itu.

Dua hari kemudian, sekelompok besar umat Buddha berunjuk rasa dengan menggotong sebuah peti mati di Kota Digana, pinggiran timur Kandy. Para demonstran memprotes kematian Kumarasinghe.

Kerusuhan pun meletus. "Pertama, mereka membakar masjid, bahkan ada perempuan di antara para penyerang. Lalu mereka mulai membakar semua toko milik orang-orang muslim," tutur seorang penduduk, Mohamed Shifan, 30 tahun, kepada The Straits Times.

Kericuhan sebenarnya terjadi sejak hari ketika Kumarasinghe dikubur. Selama prosesi pemakaman, orang-orang Sinhala telah melakukan kekerasan di beberapa daerah di Kandy yang didominasi kaum muslim. Mereka merusak toko dan properti.

Sri Lanka telah lama terbelah antara warga mayoritas Sinhala, yang umumnya beragama Buddha, dan minoritas Tamil yang beragama Hindu, serta Islam dan Kristen. Orang-orang Sinhala mengisi 75 persen dari 21 juta penduduk negeri itu, sedangkan Tamil sekitar 13 persen. Komunitas muslim, yang sebagian besar tinggal di timur dan tengah Sri Lanka, tulis Reuters, "mengisi sekitar sembilan persen dari penduduk".

Negara yang merdeka dari Inggris ini masih sangat terluka oleh perang sipil 1983-2009 ketika pemberontak Tamil ingin melepaskan diri. Pemberontakan itu akhirnya bisa dilumpuhkan, tapi kerusuhan berbasis etnis dan agama tak berhenti. Kelompok garis keras Buddha bermunculan, menuduh muslim mencuri dari kuil-kuil Buddha, menodai, dan merusaknya. Ada juga tudingan bahwa mereka memaksa orang Buddha memeluk Islam.

Sebelum pecah di Kandy, kerusuhan lebih dulu meletus di Kota Ampara di pesisir timur, akhir Februari lalu. Saat itu, sekelompok orang Sinhala menyerang sejumlah toko milik kaum muslim dan rumah ibadah. "Tahun lalu, ada lebih dari 20 serangan terhadap komunitas muslim," demikian ditulis Al Jazeera.

Butuh empat hari bagi polisi dan tentara untuk meredam kerusuhan. Polisi menangkap sedikitnya 140 perusuh, tapi hanya menetapkan 10 tersangka. Salah satu tersangka dalam kerusuhan itu Amith Jeewan Weerasinghe.

Weerasinghe, 26 tahun, asal Digana, adalah pemimpin Mahason Balakaya, kelompok radikal Buddha. Ia dianggap sebagai salah seorang otak kerusuhan komunal di Kandy. Weerasinghe dituduh menyebarkan informasi palsu, mengorganisasi massa perusuh, dan menggunakan media sosial untuk menghasut massa.

Weerasinghe kerap mengunggah video bernada rasis dan mengandung ujaran kebencian melalui media sosial. Sehari sebelum kerusuhan di Kandy, misalnya, ia berjalan-jalan melewati pusat kota. "Kami telah membagikan selebaran, dan sekarang sampai di Digana," ucapnya melalui video yang diunggah di Facebook, YouTube, dan Twitter serta dibagikan luas ke ribuan pengikutnya. "Kami, orang-orang Sinhala, selalu disalahkan. Jika ada orang Sinhala di Digana atau sekitarnya, silakan datang."

Bagi pemerintah Sri Lanka, memerangi sentimen terhadap kelompok minoritas di negeri berpenduduk 21,4 juta itu tidaklah mudah. Dengan puluhan ribu pengikut di media sosial, figur-figur garis keras dan biksu dapat dengan mudah menebar pernyataan bernada permusuhan kepada komunitas pemeluk agama lain.

Sanjana Hattotuwa, analis di Center for Policy Alternatives, menyebutkan, "Ujaran kebencian melalui dunia maya, terutama pada generasi muda, berisiko merusak demokrasi Sri Lanka pascaperang."

Mahardika Satria Hadi (colombo Telegraph, Reuters, Al Jazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus