Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Australia menaikkan anggaran militer untuk meningkatkan pertahanan di Indo-Pasifik.
Jerman mulai menunjukkan perannya di kawasan ini.
Cina memperingatkan negara-negara yang hendak memprovokasi di Laut Cina Selatan.
DENTAM logam bersipongang di galangan Luerssen, pembuat kapal di Perth, Australia. Di sayap kiri, tiga kapal patroli tengah dibangun serentak. Di kapal pertama, seorang pekerja sedang mengelas bagian geladak. Sudah dipulas dengan warna abu, kapal ini tinggal dirampungkan menara kendali dan menara senjatanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal kedua belum dipulas. Buritannya sudah rampung, tapi geladak di atas haluan masih menganga. Kapal ketiga baru kelihatan lambungnya, tapi sudah ditanami mesin. Jika kapal pertama akan selesai 18 bulan lagi, kapal kedua dan ketiga diperkirakan beres dalam tiga-empat tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luerssen menamai ketiga kapal ini Nuship Arafura. “(Itu) diambil dari nama Laut Arafura, yang berada di antara Australia Utara dan Indonesia,” kata Direktur Pelaksana Luerssen Malcolm Taylor kepada Tempo di galangan Luerssen pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Sebenarnya masih ada satu kapal patroli lagi yang akan dibangun di galangan tersebut, tapi pembuatannya belum dimulai. Kelak, kapal-kapal dengan panjang 80 meter dan lebar 13 meter tersebut akan menyusul dua Arafura pertama yang telah melaut. Keenamnya merupakan pesanan Angkatan Laut Australia untuk memburu penangkap ikan ilegal ataupun menangkal imigran haram.
Malcolm bercerita, pada awalnya Angkatan Laut Australia memesan 12 kapal Arafura. Tapi pemesanan tersebut diadendum lantaran Angkatan Laut mengalihkan anggaran untuk membangun armada kapal perang. Perubahan geopolitik di Indo-Pasifik, Malcolm menambahkan, membuat pemerintah Australia mengubah prioritasnya. “Mereka ingin membeli lebih banyak kapal perang dibanding kapal patroli seperti miliki kami,” ujarnya.
Malcom Taylor (tengah), Direktur Pelaksana Luerssen Australia, menunjukkan kapal patroli kelas Arafura yang sedang dibangun di galangan Luerssen di Perth, Australia, 31 Oktober 2024. Dok. Matt Jelonek
Semula nilai kontrak untuk 12 Arafura sebesar A$ 2,64 miliar atau setara dengan Rp 27,2 triliun. Setelah jumlah pesanan dipangkas, Luerssen hanya menerima separuhnya. Di dokumen Strategi Pertahanan Nasional Australia 2024, tahun ini Luerssen akan menerima pembayaran sekitar Rp 6 triliun dari total nilai kontrak. Di dalam dokumen yang sama, tahun ini pemerintah menganggarkan Rp 8,35 triliun dari total kontrak sekitar Rp 469 triliun untuk menebus enam fregat kelas Hunter. Pemerintah juga bakal menggelontorkan Rp 113 triliun selama sepuluh tahun mendatang untuk membangun 11 fregat serbaguna.
Dalam Strategi Pertahanan Nasional disebutkan bahwa anggaran pertahanan Australia tahun ini mencapai A$ 55,7 miliar atau sekitar Rp 572 triliun, naik 6,3 persen dibanding tahun lalu. Pemerintah memproyeksikan anggaran pertahanan naik 100 persen pada sepuluh tahun mendatang.
Pada akhir Oktober 2024, di Canberra, Menteri Industri Pertahanan Australia Pat Conroy mengumumkan bahwa negaranya akan meningkatkan kemampuan misil jarak jauh dan pertahanan atas rudal balistik. Conroy memaparkan, keputusan ini dipicu oleh langkah agresif Cina di Indo-Pasifik—kawasan yang meliputi Samudra Hindia, Samudra Pasifik, laut-laut pedalaman di Indonesia dan Filipina, serta daratan timur Asia, Jepang, hingga Australia. Pada September lalu, Cina unjuk gigi dengan meluncurkan uji coba rudal ke Pasifik Selatan. Rudal dengan daya jangkau 11 ribu kilometer itu jatuh di laut sebelah timur Australia.
“Kami menyatakan keprihatinan mendalam terhadap uji coba rudal balistik tersebut, terutama masuknya rudal ke Pasifik Selatan, mengingat Perjanjian Rarotonga yang menyatakan bahwa Pasifik seharusnya menjadi zona bebas senjata nuklir,” ucap Conroy, seperti dikutip Reuters.
Karena itu, Australia berencana menambah jumlah rudal balistik, baik lewat pembelian maupun produksi dalam negeri. Awal Oktober lalu, misalnya, Australia mengumumkan pembelian rudal SM-2 IIIC dan SM-6 dari Amerika Serikat senilai Rp 72 triliun. Kedua jenis rudal yang diklaim paling canggih saat ini tersebut akan ditanam di kapal perusak kelas Hobart milik Angkatan Laut, melengkapi ratusan rudal jelajah Tomahawk yang juga dibopong kapal-kapal kelas Hobart.
Di dalam negeri, Australia bekerja sama dengan perusahaan Amerika, Lockheed Martin; perusahaan Prancis, Thales; dan perusahaan Norwegia, Kongsberg Defence, untuk memproduksi roket, amunisi artileri, dan rudal jarak jauh di bawah inisiatif Peluru Kendali dan Bahan Peledak (GWEO) Australia, yang diluncurkan oleh Conroy pada 30 Oktober 2024. Selama sepuluh tahun ke depan, Australia akan membelanjakan Rp 770 triliun untuk menambah jumlah rudal jarak jauhnya. Separuh dari jumlah tersebut dipakai untuk mendanai program GWEO.
“Kami harus menunjukkan kepada musuh potensial bahwa permusuhan terhadap Australia tidak akan berhasil,” tutur Conroy di Canberra. “Australia tidak hanya perlu mengakuisisi lebih banyak rudal, tapi juga memproduksi lebih banyak rudal di sini.” Conroy juga mengatakan bahwa Indo-Pasifik memasuki “era misil” baru dengan rudal sebagai “alat pemaksa”.
Menteri Perindustrian Pertahanan Australia, Pat Conroy, di Jakarta, 16 November 2023. Reuters/Willy Kurniawan
•••
EKSPANSI Cina di Indo-Pasifik tak hanya membuat Australia waswas. Sekutunya di Eropa, Jerman, yang melihat Cina mengancam kawasan ini, mengirimkan sinyal bahwa mereka berseberangan dengan Beijing.
Berbicara di konferensi keamanan yang diselenggarakan Konrad-Adenauer Stiftung (KAS), lembaga Jerman yang giat mempromosikan perdamaian dan kebebasan melalui pendidikan politik, di Canberra pada akhir Oktober 2024, anggota parlemen Jerman, Nicolas Zippelius, mengatakan bahwa negaranya memang tengah meningkatkan perannya di Indo-Pasifik. “Jerman telah meningkatkan interaksi keamanan dan pertahanan di kawasan ini,” kata Nicolas.
Nicolas menuturkan, Jerman ingin menjadi mitra yang lebih aktif di kawasan ini. Salah satu alasannya, menurut politikus Partai Persatuan Demokratik Kristen itu, Indo-Pasifik merupakan perekonomian paling aktif di dunia. Karena itu, penting bagi Jerman untuk menjalin hubungan dengan negara di wilayah ini demi tatanan internasional yang berbasis aturan.
Tilman Kuban, anggota parlemen Jerman dan rekan satu partai Nicolas yang juga hadir di konferensi, menjelaskan, kehadiran dua kapal perang Jerman di Selat Taiwan dan Filipina pada pertengahan September 2024 merupakan bentuk dukungan terhadap negara yang berkonflik dengan Cina. “Ini menunjukkan bahwa kami hadir di sana. Kami melihat ancaman Cina di Selat Taiwan dan kami berdiri di sisi Taiwan,” ujar Kuban.
Dua kapal Jerman, fregat Baden-Wuerttemberg dan kapal pasokan Frankfurt am Main, berlayar dari Jerman melalui Samudra Hindia dan menampakkan diri di Selat Taiwan selama dua hari pada pertengahan September 2024. Kedua kapal itu lalu berlayar ke Filipina dan membuang sauh selama empat hari. Ini kehadiran pertama kapal Jerman dalam 20 tahun terakhir di titik api konflik Indo-Pasifik. Selain bersitegang dengan Taiwan lantaran menganggap Pulau Formosa sebagai wilayahnya, Cina juga berselisih dengan Filipina ihwal batas maritim.
Menurut Nicolas Zippelius, kehadiran Jerman di Indo-Pasifik tak akan jarang. Saat ini Jerman dan Filipina sedang membicarakan kesepakatan militer menyangkut pelatihan tentara hingga kerja sama pertahanan udara dan laut. “Kami ingin bekerja sama dengan negara di kawasan ini yang berpegang pada tatanan berbasis aturan. Jadi kerja sama ini sangat penting bagi kami,” ucapnya.
Kapal fregat Jerman Baden-Württemberg dan kapal pasokan Frankfurt am Main berlayar di Selat Taiwan. Bundeswehr/Nico Theska
Bukan hanya unjuk kekuatan militer, Cina menanamkan pengaruhnya di Samudra Pasifik dengan menginjeksikan yuan. Di Vanuatu, kepulauan di timur Australia, Cina mendanai Istana Kepresidenan Vanuatu. Di Kepulauan Solomon yang terletak di timur Papua Nugini, Beijing menggelontorkan sekitar Rp 30 triliun untuk menopang anggaran negara tersebut. Untuk menangkal dominasi Cina, Amerika membuka kedutaan besarnya di Vanuatu pada tahun ini.
Ini juga yang dilakukan Jepang di kepulauan Pasifik. Menurut Duta Besar Jepang untuk Australia, Suzuki Kazuhiro, negaranya menyediakan alternatif bagi negara-negara di Pasifik dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dengan membangun sejumlah proyek infrastruktur, seperti terminal baru Bandar Udara Internasional Palau di Palau, negara kepulauan di timur Filipina. “Hubungan yang hanya bergantung pada satu negara akan menimbulkan kerentanan politik,” tutur Suzuki dalam konferensi keamanan KAS di Canberra.
Berbagai inisiatif Jepang tersebut dikemas dalam proposal Indo-Pasifik yang Bebas dan Aktif (FOIP). Diperkenalkan oleh Perdana Menteri Jepang saat itu, Abe Shinzo, pada 2016, FOIP terdiri atas empat pilar, yang pada intinya mendorong perdamaian, kedaulatan, dan kemakmuran di Indo-Pasifik. Karena itu pula Jepang menyambut keterlibatan Barat di Indo-Pasifik, seperti kehadiran Jerman beberapa waktu lalu. “Upaya tersebut merupakan kunci untuk meningkatkan kerja sama guna mengamankan tatanan internasional yang bebas dan terbuka berdasarkan aturan hukum,” kata Suzuki.
Menteri Industri Pertahanan Australia Pat Conroy mengatakan persaingan Cina dengan Amerika berdampak pada situasi di Indo-Pasifik. Sebagai sekutu Amerika, Australia secara terang-terangan lebih condong ke Washington, meskipun tetap menjaga hubungan dagang dengan Beijing. Menurut Conroy, Australia akan bekerja sama dengan Jepang, Korea Selatan, dan Amerika untuk menciptakan stabilitas di kawasan ini.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian, memperingatkan pihak-pihak yang hendak memprovokasi negerinya. “Kami menghormati hak negara-negara untuk berlayar di perairan yang sesuai dengan hukum Cina dan hukum internasional. Namun kami dengan tegas menentang tindakan provokasi apa pun dengan dalih kebebasan navigasi yang merugikan kedaulatan dan keamanan Cina,” tuturnya dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu, 13 November 2024, mengenai kehadiran kapal Jerman di Selat Taiwan. Dalam kesempatan berbeda, Lin Jian menyampaikan bahwa Amerika dan sekutunya mencoba mengucilkan dan membendung negaranya di Indo-Pasifik dengan menjajakan narasi “ancaman Cina”.
Kate O’Shaughnessy, Direktur Riset Perth USAnesia Center, lembaga pemerhati kawasan Indo-Pasifik, menilai pendekatan Australia dalam menghadapi Cina sudah cukup baik. “Bukan berarti ingin berkonflik terbuka, tapi bersiap jika Cina melangkah lebih jauh lagi,” ucap mantan Duta Besar Australia untuk Madagaskar dan Komoro itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Samudra Membendung Cina".