Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sempoyongan sudah Tujuh Pekan

Penguatan ekonomi Amerika Serikat membuat rupiah terperosok. Bank Indonesia berusaha menjaga inflasi dan neraca transaksi berjalan.

18 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK satu per satu investor asing menarik portofolio surat utang, daya tahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akhirnya jebol juga. Akibatnya, dana asing di pasar obligasi mengerut. Padahal, pada 23 Januari lalu, uang segar di pasar surat utang masih Rp 44 triliun. "Sudah sekitar tujuh pekan dana itu keluar," kata Kepala Riset Ekonomi PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Situasi ini dipicu Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat yang mengumumkan penguatan pasar tenaga kerja dari Januari sampai Februari. Tambahan lapangan kerja baru ini mencapai 200 ribu pekerjaan. Jumlah klaim tunjangan pengangguran di Negeri Abang Sam itu juga menurun menjadi 224 ribu atau terendah selama 45 tahun terakhir. Walhasil, tingkat pengangguran tinggal 4,1 persen.

Dari situlah sejumlah pengamat ekonomi global berekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Mereka memprediksi Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan lebih dari tiga kali sepanjang 2018. Satu bulan menjelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan digelar pekan ini, kenaikan imbal hasil surat utang Amerika Serikat meningkat ke 3 persen. "Sejak itu, proses jual bersih surat utang dimulai di Indonesia," ucap Adrian. Akibatnya, "Permintaan dolar meningkat tajam, rupiah melemah."

Tak mengherankan bila hingga 14 Februari kurs rupiah terdepresiasi 2,63 persen. Per akhir Februari, rupiah berada di level 13.707 per dolar Amerika. Kebijakan pembatasan impor baja oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump turut menekan nilai tukar. Level terendah kurs rupiah selama dua bulan ini terjadi pada 9 Maret, yakni 13.794.

Rebalancing yang dilakukan para pelaku pasar, menurut Adrian, tak semuanya menyedot modal di surat berharga. Hal tersebut tampak dari portofolio yang dijual investor rata-rata adalah surat utang bertenor pendek dan bukan surat utang seri acuan. "Masih ada pembelian selektif oleh asing di pasar kita," ucapnya.

Di tengah derasnya aliran dana keluar, Bank Indonesia sempat menggunakan cadangan devisa hingga US$ 3,92 miliar pada Februari lalu. Tujuannya tak lain untuk menjaga stabilitas rupiah dengan membeli surat utang pemerintah. Cadangan devisa ini juga dipakai untuk membayar utang pemerintah yang jatuh tempo dan memenuhi kebutuhan valuta asing untuk impor.

Selain operasi pasar, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Doddy Zulverdi mengatakan rupiah mulai menguat setelah Bank Sentral Amerika Serikat menyatakan tak berambisi menaikkan suku bunga acuan terlalu cepat. Perubahan kabinet Donald Trump-setelah ia memecat Menteri Luar Negeri Rex Tillerson-membuat penguatan dolar terhalang. Doddy berharap pertemuan Trump dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, mampu mengurangi tekanan nilai tukar.

Kendati demikian, menurut Doddy, fluktuasi kurs rupiah akan tetap terjadi hingga pertemuan Federal Open Market Committee selesai pekan ini. "Kami lihat sebagian pasar sudah memperkirakan apa yang diputuskan The Fed Maret ini," ucapnya. The Fed diperkirakan hanya akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali, yakni pada Maret, Juni, dan akhir tahun.

Bank Indonesia menyatakan akan terus menjaga inflasi dan neraca transaksi berjalan agar rupiah tidak terus-menerus tergerus akibat tekanan pasar global. Defisit transaksi berjalan diperkirakan melebar 2-2,5 persen sepanjang tahun ini-lebih besar dibanding pada tahun lalu, 1,7 persen. Pelebaran defisit dibutuhkan untuk mendorong kebutuhan impor bahan baku yang berkaitan dengan investasi dan ekspor. Langkah ini diambil sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 5,5 persen.

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto mengatakan pelemahan rupiah seharusnya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk memberikan insentif ekspor. Apalagi Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor nonmigas terbesar kedua setelah Cina. "Itu bisa membangun kepercayaan bahwa saat dolar Amerika kuat, tak selamanya Indonesia terpuruk."

Putri Adityowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus