Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa hari menjelang ulang tahunnya yang ke-79, wanita perdana menteri pertama Bangladesh, Khaleda Zia, akan mendapatkan hadiah selamat datang: pembebasan dari tahanan rumah setelah protes anti-pemerintah menggulingkan rival bebuyutannya, Sheikh Hasina, dari tampuk kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Mohammed Shahabuddin memerintahkan pembebasan segera Zia, ketua oposisi utama Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), pada Senin malam setelah mendiskusikan pembentukan pemerintahan sementara dengan para politisi dan tentara. Hasina melarikan diri ke India pada hari sebelumnya setelah mengundurkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zia, yang lahir pada 15 Agustus 1945, menderita penyakit hati, diabetes dan masalah jantung, menurut dokternya. Dia telah menjauhi dunia politik selama bertahun-tahun.
Dikenal dengan nama depannya, Khaleda digambarkan sebagai seorang pemalu dan mengabdikan diri untuk membesarkan kedua putranya hingga suaminya, pemimpin militer dan presiden Bangladesh saat itu, Ziaur Rahman, dibunuh dalam sebuah upaya kudeta militer pada 1981.
Terjun ke dunia politik, ia menjadi ketua BNP yang konservatif tiga tahun kemudian, dan bersumpah untuk mewujudkan tujuan suaminya untuk "membebaskan Bangladesh dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi".
Ia bergandengan tangan dengan Hasina, putri pendiri Bangladesh dan ketua partai Liga Awami, untuk memimpin pemberontakan rakyat demi demokrasi yang menggulingkan penguasa militer Hossain Mohammad Ershad dari kekuasaannya pada 1990.
Namun, kerja sama mereka tidak berlangsung lama dan pada tahun berikutnya, Bangladesh mengadakan apa yang disebut-sebut sebagai pemilihan umum bebas pertamanya dengan Khaleda yang secara mengejutkan menang atas Hasina, setelah mendapatkan dukungan dari sekutu-sekutu politik Islam.
Dengan demikian, Khaleda menjadi perempuan PM Bangladesh dan perempuan kedua yang memimpin pemerintahan demokratis di negara berpenduduk mayoritas Muslim setelah Benazir Bhutto dari Pakistan.
Dituduh Korupsi
Khaleda mengganti sistem presidensial dengan bentuk pemerintahan parlementer sehingga kekuasaan berada di tangan perdana menteri, mencabut pembatasan investasi asing dan membuat pendidikan dasar menjadi wajib dan gratis.
Ia kalah dari Hasina pada pemilihan umum tahun 1996 tetapi kembali lagi lima tahun kemudian. Namun, masa jabatan keduanya dirusak oleh kebangkitan militan Islamis dan tuduhan korupsi.
Pada 2004, sebuah demonstrasi yang dihadiri oleh Hasina dihantam oleh granat. Hasina selamat, namun lebih dari 20 orang tewas dan lebih dari 500 orang terluka. Pemerintahan Khaleda dan sekutu-sekutu Islamnya disalahkan secara luas dan bertahun-tahun kemudian putra sulungnya diadili secara in absentia dan dijatuhi hukuman seumur hidup atas serangan tersebut. BNP berpendapat bahwa dakwaan tersebut dibuat-buat.
Meskipun Khaleda kemudian menindak tegas kelompok-kelompok radikal Islamis, masa jabatan keduanya sebagai perdana menteri berakhir pada 2006 ketika pemerintah sementara yang didukung oleh militer mengambil alih kekuasaan di tengah ketidakstabilan politik dan kekerasan di jalanan.
Pemerintah sementara memenjarakan Khaleda dan Hasina atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan selama sekitar satu tahun sebelum keduanya dibebaskan menjelang pemilihan umum pada 2008.
Meskipun BNP memboikot pemilu 2008 dan Khaleda tidak pernah mendapatkan kembali kekuasaannya, perseteruan sengit dengan Hasina yang menyebabkan keduanya dijuluki sebagai "Begum yang bertarung" terus mendominasi politik Bangladesh.
Ketegangan antara kedua partai mereka sering menyebabkan pemogokan, kekerasan, dan kematian, sehingga menghambat pembangunan ekonomi untuk negara yang dilanda kemiskinan dengan hampir 170 juta penduduk yang terletak di dataran rendah dan rentan terhadap banjir yang menghancurkan.
Pada 2018, Khaleda, putra sulungnya, dan para ajudannya dihukum karena mencuri sekitar $250.000 dalam bentuk sumbangan asing yang diterima oleh sebuah yayasan yatim piatu yang didirikan ketika ia masih menjabat sebagai perdana menteri - sebuah tuduhan yang ia katakan merupakan bagian dari rencana untuk menjauhkannya dan keluarganya dari dunia politik.
Dia dipenjara tetapi dibebaskan pada Maret 2020 dengan alasan kemanusiaan karena kesehatannya memburuk. Sejak saat itu, ia tetap menjadi tahanan rumah.
REUTERS
Pilihan Editor: Seorang WNI Meninggal dalam Kerusuhan di Bangladesh