SINGAPURA adalah si kecil yang teramat gede. Negeri Pulau ini luasnya cuma sebesar DKI Jakarta, tapi pendapatan per kapitanya lebih dari US$ 11.000 per tahun. Indonesia dan Filipina (meskipun punya orang-orang kaya yang dahsyat) masih hidup dengan GNP di bawah US$ 1.000 dolar setahun. Si kecil dengan penduduk cuma 2,7 juta ini juga menerima investasi asing yang melimpah-ruah. Setiap tahun investasi asing yang masuk adalah sebesar US$ 34 miliar. Sebagai perbandingan, Indonesia tahun lalu mendapat investasi US$ 10,3 miliar -- dua setengah kali lebih besar, tapi penduduk Indonesia kan 187 juta, hampir 90 kali lebih besar ketimbang Singapura. Tetapi tidak selamanya posisi Singapura menguntungkan. Ekonomi yang kecil dan terbuka ini amat rawan terhadap perubahan dari luar. Tahun 1985, misalnya, ketika dunia sedang dilanda resesi, perdagangan merosot dan investasi yang masuk Singapura pun rontok menjadi hanya sekitar US$ 1 miliar. Pengalaman pahit ini memberikan pelajaran berharga. Singapura merasa mesti berdiri di atas kaki sendiri, demikianlah tekad para pemimpinnya. Namun, kemungilan ukurannya dan terbatasnya sumber daya -- alam maupun manusia -- membuat Singapura tak punya kaki yang kukuh. Ia tidak bisa leluasa bergerak. Jawabannya: meminjam kekuatan ekonomi tetangga. Maka, muncul ide Growth Triangle, alias segi tiga pertumbuhan yang melibatkan Batam dan Johor, dengan Singapura sebagai motor penggerak. Ide dasarnya sebenarnya adalah untuk memindahkan industri yang padat karya ke luar Singapura. Sedangkan industri jasa dan teknologi tinggi, yang tak butuh banyak orang dan ruang, dirayu supaya masuk. Industri jenis ini punya nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Artinya, upah buat penduduk Singapura bisa menjulang, dan standar hidup bakal menjadi lebih naik. Ini pun dirasa belum cukup. Peminjaman kekuatan ekonomi tetangga mesti diperluas. Setelah Indonesia, Cina menjadi pilihan utama. Maka, dalam kurun waktu satu tahun, 1992, investasi Singapura di Cina melesat tinggi dan meledak seperti kembang api. Sepanjang tahun 1992, investasi Singapura di Cina mencapai sekitar US$ 1 miliar. Sedangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun sebelumnya, 1979-1991, total investasi Singapura di sana hanyalah sekitar US$ 840 juta. Arus dana yang amat deras ini dimotori oleh BUMN Singapura. Maklum, semangat pengusaha Singapura untuk bertualang ke luar tergolong lemah. Ada yang bilang itu karena sistem pendidikan yang membuat orang menjadi kurang kreatif. Ada juga yang mengatakan karena penduduk Singapura sudah terbiasa dimanjakan: hidup nyaman, dan pemerintah sudah terbiasa mengatur segalanya. Maka, pemerintah pula yang mengayunkan langkah ke Cina Daratan. Dengan latar belakang itu, Lee Kuan Yew -- kini berjuluk Menteri Senior, yang di dalam negeri tak banyak bertugas sehari-hari -- menjadi pembela Cina yang aktif. Singapura tentu tak ingin melihat kegagalan reformasi ekonomi Cina yang juga akan mengubur seluruh investasinya. Setelah menyerukan (terutama ke Amerika Serikat) agar Cina tak diperlakukan sebagai ''paria'', yang terisolasi di dunia, Lee pun sibuk menggalang para pengusaha keturunan Cina dalam konferensi di Hong Kong untuk membentuk sebuah jaringan raksasa. Ada yang menilai kampanye Lee itu berlebihan. Di Singapura sendiri juga muncul berbagai kritik, sekalipun cuma bisik-bisik di kalangan terbatas. Dan seperti biasa, pemerintah Singapura muncul dengan pernyataan tegas, ''Hubungan kami dengan Cina itu murni hubungan bisnis, tak ada hubungannya dengan sentimen etnis ataupun keluarga,'' kata Perdana Menteri Goh Chock Tong. Dan rakyat Singapura pun kembali tenang seperti sediakala.YH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini