Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN mengenakan jas biru dan dasi kuning, Srettha Thavisin, Perdana Menteri Thailand yang baru, menyampaikan rencana kerja pemerintahannya dalam pidato perdananya di Majelis Nasional, parlemen negeri itu, pada Senin, 11 September lalu. Konglomerat properti yang baru terjun ke dunia politik itu membacakan dokumen setebal 52 halaman yang berfokus pada penanganan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Srettha menggambarkan perekonomian Thailand, yang terpuruk sejak pandemi Covid-19 merebak, sebagai “orang yang sakit”. “Pariwisata dan belanja pulih dengan sangat lambat sehingga ada risiko resesi ekonomi. Maka perlu merangsang perekonomian dan belanja,” ujarnya seperti dikutip Al Jazeera. Dia berjanji memulihkan ekonomi melalui sejumlah program, seperti bantuan sosial sebesar 10 ribu baht atau sekitar Rp 4,3 juta kepada setiap orang dewasa untuk berbelanja barang dan jasa tertentu, memangkas harga bahan bakar, serta menghapus utang petani dan usaha kecil-menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai oposisi, Partai Gerakan Maju (Move Forward Party), mengkritik rencana tersebut, yang dinilai tidak rinci, tanpa tenggat, dan tidak jelas sumber pembiayaannya, yang mencapai 560 miliar baht atau sekitar Rp 245 triliun. “Jika kebijakan ini seperti sistem pemosisi global (GPS), bangsa ini mungkin akan tersesat,” kata Sirikanya Tansakun, wakil ketua partai tersebut, dalam sidang parlemen.
Srettha lahir pada 1963 dan meraih gelar sarjana teknik sipil dari Chulalongkorn University, Bangkok, dan master administrasi bisnis dari Claremont Graduate School, Amerika Serikat. Lelaki jangkung ini penggemar sepak bola dan memulai karier bisnisnya sebagai manajer pembantu di Procter and Gamble atau P&G, produsen produk perawatan tubuh Amerika, cabang Thailand sebelum memimpin Sansiri, perusahaan real estate keluarganya. Srettha menjadi Direktur Utama Sansiri hingga mundur pada April lalu.
Srettha pertama kali terjun ke politik dengan bergabung ke Pheu Thai pada November 2022. Dia pengusaha properti yang sukses tapi tak pernah menunjukkan minat pada politik. “Dia sama sekali tidak dikenal hingga diunggulkan sebagai calon perdana menteri,” ucap Sriprapha Petcharamesree, pengajar di fakultas hukum Chulalongkorn University, pada Rabu, 13 September lalu. “Saya tidak kenal dia sebelumnya, tak banyak orang, bahkan orang-orang yang bersamanya di parlemen, yang mengenalnya.”
Srettha terpilih sebagai perdana menteri melalui pemungutan suara di parlemen pada 22 Agustus lalu. Hasil ini memecah kebuntuan dalam pemilihan pemimpin negeri itu setelah parlemen menolak Pita Limjaroenrat, calon perdana menteri dari Partai Gerakan Maju, partai pemenang dalam pemilihan umum pada Mei lalu.
“Saya yakin masuknya Srettha ke politik bukanlah ambisinya atau dia lakukan sendiri, tapi ia lebih-kurang diundang dan ditunjuk oleh keluarga Shinawatra,” kata Kasit Piromya, Menteri Luar Negeri dalam kabinet Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva pada 2008-2011, Rabu, 13 September lalu. “Saya rasa dia tidak terlalu memegang kendali atas pemerintahan barunya dan tidak akan punya banyak ide politik tentang bagaimana menjalankan pemerintahan di bawah kepemimpinannya,” tutur bekas anggota Partai Demokrat itu.
Beberapa jam sebelum Srettha terpilih, Thaksin Shinawatra, bekas perdana menteri yang kabur ke luar negeri selama 15 tahun setelah menjadi tersangka kasus korupsi, tiba di Bangkok dengan pesawat jet pribadinya. Konglomerat telekomunikasi itu ditahan polisi dan diseret ke meja hijau. Mahkamah Agung menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Thaksin atas kasus konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi selama memimpin negeri itu.
Thaksin mendekam di bui, tapi hanya sehari. Esoknya, ia masuk ke rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Thaksin kemudian mengajukan permohonan ampun kepada kerajaan dan Raja Maha Vijralongkorn, yang lantas mengurangi hukumannya menjadi satu tahun penjara. “Fakta bahwa Thaksin kembali ke Thailand pada hari yang sama dengan Srettha dipilih sebagai perdana menteri, bagi saya, bukanlah kebetulan. Itu direncanakan,” kata Sriprapha.
Srettha diusung koalisi 11 partai pimpinan Pheu Thai, partai pimpinan Paetongtarn Shinawatra, putri Thaksin. Anggota koalisi itu termasuk Partai Prachachat, partai pendukung kerajaan, dan Partai Bangsa Thai Bersatu pimpinan mantan perdana menteri Prayut Chan-o-cha. Prayut adalah jenderal purnawirawan Angkatan Bersenjata yang berkuasa setelah mengkudeta pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, pada 2014.
“Ada pengaturan sebelumnya sebelum kedatangan Thaksin,” ucap Kasit. Anggota Dewan Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) itu menyatakan semua dokumen yang dibutuhkan Thaksin untuk meminta ampunan raja sudah disiapkan dan ditandatangani Prayut sebagai penjabat pemerintahan. “Semuanya sudah diatur untuk membentuk pemerintahan koalisi. Itu sebabnya kita melihat dua bekas musuh politik, yaitu Thaksin dan Prayut, kini bersatu dan berpegangan tangan bagaikan kawin kontrak.”
Menurut Kasit, Thaksin dan Prayut tidak berteman, berbeda akar politik, berbeda ideologi, dan tak pernah menyukai satu sama lain. “Situasi memaksa mereka berjabat tangan, berpelukan, dan bahkan berciuman secara politik,” ujarnya. Sebab, Partai Gerakan Maju yang progresif dan didukung kaum muda berhasil menghimpun 14 juta suara pemilih dalam pemilu lalu dan untuk pertama kalinya menyalip Pheu Thai, partai yang selalu mengumpulkan suara terbanyak dalam beberapa pemilu terakhir. Dalam pemilu lalu, Pheu Thai menduduki posisi kedua dengan 10,9 juta suara, sementara Partai Bangsa Thai Bersatu memperoleh 4,7 juta suara. “Ini mengancam baik Thaksin ataupun Prayut, mengancam seluruh kemapanan politik, kelompok konservatif, dan kepemimpinan otoritarian.”
Arah pemerintahan baru ini akan dipengaruhi Thaksin dan Prayut, yang mewakili kekuatan militer dan masih punya pengaruh besar dalam politik. “Ini seperti tarian, duet antara Thaksin dan Prayut. Mereka harus bersepakat di belakang dan di depan layar tentang bagaimana pemerintahan ini melangkah dalam hal urusan domestik ataupun luar negeri,” kata Kasit. “Dalam makna ini, Srettha harus mendengar tuannya, Thaksin, dan juga mendengar suara, perintah, atau apa pun dari faksi militer pimpinan Prayut di dalam pemerintahan koalisinya.”
Tampaknya tak banyak perubahan yang akan terjadi di bawah kepemimpinan Srettha. Dalam pidatonya di parlemen, Srettha tak menyebutkan soal kebijakan luar negeri, demokrasi, atau isu politik lain. Namun Sriprapha menilai perubahan itu bisa datang dari akademikus, masyarakat sipil, dan partai oposisi. Dia mencontohkan politikus oposisi yang belum lama ini mendesak parlemen membentuk komisi pengungsi dan migran. “Ini pertama kalinya partai oposisi menyerukan hal tersebut dan pemerintah harus menangani isu pengungsi secara patut dengan terbentuknya komisi ini. Jadi ada perubahan, sekurang-kurangnya dorongan dari partai oposisi. Kami harap dorongan ini punya hasil yang baik,” ucapnya.
Sejauh ini, Srettha juga tak menyebutkan soal krisis Myanmar, padahal Thailand berbatasan langsung dengan negeri itu. Sekitar 92 ribu pengungsi Myanmar kini tinggal di Thailand dan para pengungsi akan datang terus selama perang dan kekerasan di Myanmar tidak reda. “Kebijakan luar negeri, khususnya isu Myanmar, mungkin bukan prioritasnya untuk sekurang-kurangnya tiga-enam bulan ke depan, menurut pendapat saya. Tapi kami terus mendorong beberapa perubahan. Dan, kami, masyarakat sipil, terus mendiskusikannya dan terus mengirim rekomendasi kepada pemerintah dan kami sungguh berharap pemerintah tidak hanya mendengar, tapi juga memperhatikan kami,” kata Sriprapha.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Di Bawah Bayang-bayang Dua Tuan"