Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Pusat Riset Elektronika BRIN mengembangkan panel surya kombinasi silikon kristal dan silikon amorf.
Fabrikasi sel surya silikon amorf lebih murah daripada silikon kristal.
Silikon kristal tak berfungsi efektif pada sore, sementara silikon amorf justru efektif.
SEPOTONG kaca berukuran 10 x 10 sentimeter yang memiliki seutas kabel di kedua sisinya diletakkan Soni Prayogi di atas meja. Ujung-ujung kabel berpenjepit itu lalu ia sambungkan ke kaki-kaki light-emitting diode (LED). "Ini contoh sel surya silikon amorf yang kami buat,” kata pengajar pada Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri Universitas Pertamina, Jakarta, itu. “Tanpa cahaya matahari bisa langsung menghasilkan listrik walau dari cahaya lampu,” tutur Soni sembari menunjuk LED yang menyala di Laboratorium Pengukuran dan Instrumentasi Universitas Pertamina, Senin, 11 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soni, yang juga peneliti di Pusat Riset Elektronika Organisasi Riset Elektronika dan Informatika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), memang berkecimpung dalam penelitian sel surya, khususnya yang berteknologi generasi kedua dan ketiga. “Silikon amorf ini generasi kedua. Teknologi generasi pertama adalah silikon kristal,” ujar peraih doktor fisika material dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, pada 2022 ini. “Yang generasi ketiga contohnya sel surya peka pewarna, sel surya organik, perovskit, dan quantum dot yang bisa mengirimkan data,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panel surya monokristalin
Menurut Soni, riset para peneliti di dunia bertujuan meningkatkan kinerja sel surya dalam mengubah sinar matahari menjadi listrik atau efisiensi konversi. “Efisiensi sel surya silikon kristal itu sudah stagnan. Untuk tipe kristal tunggal (monokristalin), efisiensinya 28 persen, sedangkan efisiensi tipe multikristal (polikristalin) 20-22 persen,” tutur Soni. “Kalau efisiensi silikon amorf lebih rendah, sekitar 14 persen, sedangkan efisiensi perovskit bisa mencapai 40 persen,” ucap peneliti yang juga tergabung dalam tim riset sel surya perovskit di BRIN itu.
Sel surya silikon kristal adalah teknologi yang dominan dipakai saat ini. Menurut Soni, riset mengenai sel surya silikon kristal sudah lama ada, sejak silikon semikonduktor ditemukan. “Selain itu, cadangan unsur silikon di dunia lumayan banyak. Efisiensi sel surya silikon kristal ini juga stabil sehingga diproduksi massal hingga sekarang,” ujarnya. Silikon kristal, Soni menambahkan, dibuat dari padatan silikon yang kemudian dimurnikan dengan cara pengkristalan menggunakan proses Czochralski. “Pembuatan silikon kristal ini dilakukan di negara-negara maju, salah satunya Cina. Setahu saya di Indonesia belum ada.”
Panel surya polikristalin.
Kukuh Apriyanto Yudosusatyo, Presiden Direktur PT Kharisma Ambhara Sakti, yang banyak memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), membenarkan keterangan Soni tentang Cina sebagai produsen utama sel surya generasi pertama. Menurut Kukuh, industri sel surya di dalam negeri belum ada karena permintaan dari pasal lokal masih kecil. “(Kita) masih mengimpor dari Cina. Mau dibangun (pabrik panel surya) di Rempang, yang sekarang ribut itu,” kata Kukuh saat dihubungi pada Selasa, 12 September lalu. Kukuh menilai sel surya impor kualitas premium saat ini masih tergolong murah.
PT Kharisma, Kukuh melanjutkan, kini berfokus mengembangkan potensi PLTS atap di dunia usaha untuk mendukung program pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca. “Namun PT PLN mempersulit swasta yang bergerak di bidang PLTS dengan administrasi yang macam-macam. PLN sepertinya tidak rela pelanggannya memasang PLTS, takut revenue-nya turun," tutur Kukuh, yang mengaku sudah memasang ratusan PLTS atap yang didominasi rumah tangga, tempat bisnis, dan industri.
Soal penggunaan panel surya impor itu pula yang membuat pembangunan PLTS terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, tertunda satu tahun. PLTS terapung terbesar di kawasan Asia Tenggara berkapasitas 145 megawatt peak itu semula dijadwalkan beroperasi pada akhir 2022. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 5 Tahun 2017, minimal tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) barang untuk komponen modul surya harus mencapai 60 persen per 1 Januari 2019. Kenyataannya, TKDN modul surya pada tahun lalu baru 47,5 persen.
Bagi PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi, yang membangun PLTS terapung Cirata, penggunaan sel surya dengan tingkat efisiensi tertinggi menjadi keharusan. Pasalnya, pemakaian panel surya berefisiensi tertinggi itu bertujuan menghemat lahan karena luas area pembangkit tersebut, sesuai dengan syarat peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, tidak boleh lebih dari 5 persen luas waduk. Pembangkit itu menggunakan 340 ribu panel surya monokristalin dengan tingkat efisiensi 21,61 persen di area seluas 250 hektare dari 6.500 hektare luas Waduk Cirata.
Soni Prayogi meneliti cara menyiasati penurunan kinerja sel surya, termasuk tingkat efisiensinya, akibat intensitas cahaya yang tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi menimbulkan kenaikan suhu di permukaan sel surya. Suhu yang meningkat itu mengakibatkan pergerakan atau bergetarnya elektron. Hal Itulah yang memicu ketidakoptimalan kinerja sel. Karena itu, panas harus diredam dengan cara mendinginkan permukaan sel. “Di belakang panel surya diberi pendingin seperti penyejuk udara atau kulkas sehingga temperatur di permukaan sel berada pada suhu kamar,” katanya.
Panel surya silikon amorf.
Soni mengungkapkan, sasaran penelitian berupa pemasangan peredam panas ini adalah menjaga kestabilan. “Kalau untuk meningkatkan efisiensi, risetnya adalah mengganti material sel surya. Itu artinya berganti ke generasi kedua atau ketiga,” tuturnya. Misalnya riset sel surya silikon amorf yang dilakukan Soni ini. Dia menjelaskan, biaya pembuatan sel surya silikon amorf lebih murah ketimbang ongkos produksi sel surya silikon kristal. “Fabrikasi silikon amorf itu dilakukan dengan mencampurkan gas silan (SiH4) dengan hidrogen. Karena menggunakan gas, lebih murah.”
Berbeda dengan silikon kristal yang berupa wafer (substrat) yang statis dan rigid dengan ketebalan antara 160 dan 240 mikrometer, Soni menambahkan, silikon amorf berwujud lembaran film tipis yang fleksibel sehingga bisa ditempatkan pada kain atau polimer. “Target riset sel surya silikon amorf ini salah satunya untuk perangkat elektronik yang memerlukan daya rendah,” ucap Soni. “Yang sedang kami kejar adalah bagaimana sel surya ini tetap bisa berfungsi walaupun cahayanya tidak maksimal mengenai panel surya.”
Karena itu, Soni menginginkan sel surya silikon amorfnya menangkap gelombang inframerah pada sore. “Kami akan mengoptimalkan yang tidak bisa dioptimalkan oleh sel surya silikon kristal. Silikon kristal ini sudah tidak berfungsi efektif pada sore. Kalau silikon amorf, malah efektifnya sore,” ujarnya. “Jadi dari pagi sampai siang memakai sel surya silikon kristal. Sorenya, dari pukul 4 sampai magrib, pakai sel surya silikon amorf. Dalam satu panel, dikombinasikan antara silikon kristal dan silikon amorf.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agar Sel Surya Efektif Seharian"