Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
OJK akan mengubah Taksonomi Hijau di tengah ancaman krisis iklim.
Pendanaan dari bank untuk batu bara terus mengalir meski ada risiko besar.
Ada celah untuk transition-washing, menunggangi transisi energi untuk membangun PLTU baru.
DUNIA sedang tak baik-baik saja. Kabar tentang cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi datang dari berbagai tempat. Kejadian ini diperparah anomali iklim seiring dengan tren kenaikan suhu global. Tidak bisa dimungkiri, kita sedang menghadapi krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah kondisi ini, muncul ironi, tatkala bank dan regulator industri keuangan Indonesia masih mendukung bisnis yang tak ramah lingkungan dan menjadi salah satu penyebab krisis iklim. Salah satunya proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan bisnis pertambangan batu bara. Dukungan ini terlihat tatkala Otoritas Jasa Keuangan berniat merevisi Taksonomi Hijau Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taksonomi Hijau Indonesia yang pertama kali dirilis pada 2022 adalah sistem klasifikasi yang menetapkan daftar kegiatan usaha yang ramah lingkungan dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim. Klasifikasi ini penting bagi bank-bank di Indonesia untuk menentukan pendanaan bagi perusahaan berkategori hijau atau ramah lingkungan. Termasuk pendanaan yang mendukung transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
OJK kini berniat mengklasifikasikan pembangunan PLTU batu bara untuk pengolahan mineral kritis seperti aluminium dan nikel dalam kategori hijau. Langkah mundur ini memakai dalih hasil akhir pengolahan mineral akan digunakan untuk kebutuhan transisi energi. Langkah ini sangat disayangkan, sekaligus membingungkan, karena memberi sinyal OJK mendukung pembangunan PLTU batu bara baru sebagai bagian dari transisi energi.
Dengan perubahan label dalam Taksonomi Hijau, akan ada celah besar yang memungkinkan bank-bank di Indonesia terus mengalirkan uang ke perusahaan-perusahaan yang membangun PLTU batu bara baru dengan klaim transisi energi. Ini menjadi langkah mundur bagi upaya mengatasi krisis iklim. Di sisi lain, regulasi ini bakal mendorong praktik greenwashing oleh perbankan Indonesia.
Harus diakui bahwa PLTU batu bara adalah sumber emisi karbon terbesar secara global. Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan tidak boleh ada pembangunan PLTU batu bara baru jika kita ingin menekan pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius untuk menghindari krisis iklim. IEA juga menyatakan Indonesia perlu memastikan reformasi kebijakan yang membuka jalan bagi transisi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Secara global, lembaga jasa keuangan saat ini sangat berhati-hati atas sorotan terhadap praktik greenwashing berikut risikonya pada reputasi mereka. Ada pula langkah progresif negara tertentu untuk mencegah praktik itu. Korea Selatan, misalnya, sedang merancang undang-undang untuk mengatur sanksi bagi perusahaan yang memberi informasi sesat tentang kredensial ramah lingkungan mereka.
Pemerintah Singapura juga bereaksi terhadap tindakan ASEAN Taxonomy Board (ATB) yang menerbitkan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua. Sama seperti yang direncanakan OJK, ATB memasukkan proyek penutupan PLTU batu bara ke kategori pembiayaan hijau. Pemerintah Singapura menolak hal ini dengan menyatakan perlu ada kejelasan aktivitas apa yang dapat dianggap “hijau” atau mendukung proses transisi energi.
Harus ada pemahaman bersama tentang transisi yang kredibel ke ekonomi rendah karbon untuk mencegah bentuk baru greenwashing, yaitu transition-washing. Ini adalah praktik yang menjadikan proyek transisi energi sebagai dalih menutupi pendanaan bagi energi kotor seperti batu bara.
Banyak bank yang tetap mendanai perusahaan-perusahaan batu bara meskipun mereka tidak memiliki rencana transisi yang kredibel ke bisnis yang lebih berkelanjutan dengan dalih mendukung perusahaan beralih dari bisnis batu bara. Alih-alih beralih menuju energi terbarukan, tidak sedikit perusahaan batu bara di Indonesia justru memperluas lahan tambang dan membangun PLTU baru.
Karena itu, OJK harus tetap memberikan label merah pada sektor batu bara. Merah adalah simbol bahaya, dan memang tidak ada yang lebih berbahaya bagi iklim selain batu bara. Jika ingin memiliki kesempatan hidup di masa depan dengan layak, kita harus menghentikan penggunaan batu bara mulai sekarang.
Sudah tujuh tahun 193 negara, termasuk Indonesia, mengadopsi Perjanjian Paris. Dengan berpegang pada konsensus tersebut, kebijakan yang ditetapkan pemerintah, termasuk strategi bisnis bank dan lembaga keuangan, harus searah dengan upaya menekan dampak perubahan iklim. Dengan kata lain, bank yang masih terlibat pembangunan PLTU batu bara baru turut punya andil memperparah krisis iklim.
Bukan hanya kesehatan dan mata pencarian warga Indonesia yang terancam krisis iklim. Bencana ini juga menjadi ancaman serius bagi ekonomi. Bank Indonesia memproyeksikan potensi kerugian ekonomi akibat krisis iklim akan mencapai 40 persen dari produk domestik bruto Indonesia pada 2050. Pemerintah memperkirakan dampak perubahan iklim dan bencana menyebabkan kerugian US$ 37,7 miliar pada 2024.
Indonesia tidak akan mampu menanggung dampak ekonomi dan kesehatan yang disebabkan oleh operasi PLTU batu bara baru. Bank-bank harus bertanggung jawab dan mengambil langkah penghentian pendanaan untuk semua perusahaan yang bergantung pada bisnis batu bara. Melalui reorientasi pendanaan, kita dapat mempercepat transisi dari energi tinggi emisi ke energi bersih.
Upaya tersebut pun tidak mustahil. Berdasarkan hasil riset Carbon Tracker, saat ini investasi energi terbarukan di Indonesia sudah lebih murah dibanding biaya membangun PLTU batu bara baru.
Di sisi lain, lembaga keuangan dunia sudah melihat risiko investasi yang makin meningkat akibat krisis iklim. Karena itu, mereka menghentikan pendanaan untuk proyek PLTU batu bara baru.
Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis, lebih dari 200 bank dan lembaga keuangan global membatasi pendanaan batu bara. Sayangnya, tidak ada satu pun bank dari Indonesia yang masuk daftar tersebut.
Sebaliknya, bank-bank Indonesia baru-baru ini menandatangani kesepakatan untuk mendanai PLTU batu bara skala besar yang baru. Pada Mei lalu, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Central Asia, dan Bank Permata mengucurkan dana untuk pembangunan PLTU batu bara baru berkapasitas 1,1 gigawatt milik anak perusahaan Adaro Energy di Kalimantan Utara.
Bank-bank di Indonesia dan OJK rupanya belum mempertimbangkan risiko krisis iklim terhadap kualitas aset pinjaman perbankan. Padahal risiko transisi kegiatan usaha batu bara tergambar dari komitmen negara-negara tujuan ekspor yang akan mengurangi penggunaan komoditas itu. Artinya, penjualan batu bara ke negara tujuan ekspor akan berkurang sehingga mengganggu kemampuan debitor (perusahaan batu bara) dalam melunasi utangnya.
Begitu juga kegiatan usaha produksi mineral kritis yang digadang-gadang demi transisi energi. Saat ini kebutuhan mineral kritis berasal dari perusahaan global yang sudah berkomitmen mengurangi emisi dari rantai pasok mereka. Artinya, perusahaan akan mencari rantai pasok mineral yang diproduksi dengan energi bersih. Mineral kritis yang diproduksi dengan energi kotor akan sulit diterima pasar. Pada akhirnya, hal ini menjadi risiko bagi bank.
Penurunan kualitas aset pinjaman bank tentunya akan berpengaruh pada profitabilitas bank. Untuk menghindari kerugian finansial, tak ada jalan bagi bank-bank di Indonesia selain menghentikan pendanaan ke sektor batu bara.
Jika aliran dana ini tak segera dihentikan atau dikurangi, industri perbankan dan jasa keuangan Indonesia bakal tertinggal jauh. Penyaluran pembiayaan bank-bank Indonesia ke pembangunan infrastruktur batu bara baru juga tidak selaras dengan upaya Indonesia menghentikan ketergantungan pada penggunaan batu bara melalui Just Energy Transition Partnership.
Mengkategorikan pembangunan PLTU batu bara baru dalam label hijau bisa mengurangi reputasi perbankan Indonesia. Kredibilitas dan komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim juga dipertanyakan.
Pembiayaan memang dibutuhkan untuk mendanai transisi energi dari sektor usaha beremisi tinggi agar mengadopsi teknologi yang lebih bersih. Namun caranya bukan membuka celah pendanaan sektor "merah" seperti batu bara dengan merevisi Taksonomi Hijau Indonesia. OJK harus memastikan kredit bank yang mengalir digunakan untuk rencana transisi yang kredibel, bukan membangun PLTU batu bara baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Taksonomi Hijau dan Risiko Transition-Washing "