Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun ini Eddie Chu Hoi-dick punya kebiasaan baik. Ia rajin menyambangi masyarakat di Yuen Long, sebelah barat New Territories Hong Kong. Di kawasan seluas 138 kilometer persegi itu, Chu dan rekan-rekannya mengadvokasi warga setempat tentang pentingnya perumahan bagi publik dan adanya ancaman penyerobotan tanah oleh pemodal besar.
Yuen Long sebenarnya adalah kota pasar yang terintegrasi dengan desa-desa sekitar yang memungkinkan penduduk menjual hasil bumi dan ikan dari pesisir. Tapi semuanya berubah sejak 1990-an. Pasar tradisional dan kawasan di Yuen Long bersalin rupa menjadi pusat belanja modern dan bangunan pencakar langit.
"Kekuatan terburuk di kawasan itu adalah para pemilik tanah yang mengontrol lahan pertanian. Ironisnya, pemilik tanah mengembangkannya untuk kepentingan sesaat, misalnya proyek real estate," ujar pegiat lingkungan dan konservasi lulusan Chinese University of Hong Kong tahun 1999 itu, Selasa pekan lalu.
Yuen Long berbatasan dengan Provinsi Guangdong, Cina, yang merupakan kawasan strategis. Pemerintah Cina mengembangkan proyek kereta cepat yang menghubungkan Guangzhou-Shenzhen-Hong Kong. Untuk mewujudkan proyek mercusuar itu, penduduk di sana dipaksa pindah.
Chu bersama rekan-rekannya kembali mengadvokasi warga seraya membentuk Choi Yuen Tsuen Support Group. Gerakan ini berkembang menjadi protes besar-besaran pada akhir 2009 dan awal 2010. Walhasil, Chu bersama para aktivis lainnya bahu-membahu membantu penduduk desa membangun kembali desa yang dihancurkan dan pindah ke lokasi baru, tak jauh dari desa asal mereka.
Kegiatan Chu mondar-mandir di antara warga berubah sejak Senin pekan lalu. Pria 38 tahun itu bakal berjuang secara politik di parlemen setelah menang dalam pemilihan legislatif dan mendapat kursi di Dewan Legislatif dengan jumlah suara 84.121 suara—perolehan tertinggi hasil penghitungan parlemen.
Menang dalam pemilihan legislatif tak membuat pendiri Land Justice League yang fasih berbahasa Persia itu gembira. Legislator dari jalur independen ini justru tertantang untuk mengungkap kolusi pemerintah di sektor bisnis di perdesaan. Dia pasrah bilamana cara-caranya mengungkap praktek rente akan menyeretnya berhadapan dengan hukum. "Jika ia mundur, masyarakat di kawasan barat New Territories hanya akan hidup di bawah kekerasan politik," katanya.
Aktivis lain yang masuk parlemen adalah Nathan Law Kwun-chung. Mahasiswa 23 tahun ini terkenal dengan perjuangannya, "Umbrella Revolution", bersama rekannya, Joshua Wong dan Alex Chow.
Kisah Law bersama rekan-rekannya bermula dari demonstrasi pada September 2014. Law menentang kebijakan Beijing yang tidak menyetujui usulan hak pilih satu orang satu suara dalam pemilihan Kepala Pemerintahan Hong Kong pada 2017. Setelah lepas dari Inggris pada 1984 melalui deklarasi Sino-Inggris, Hong Kong merupakan kota dengan status daerah administratif khusus di Tiongkok melalui asas satu negara dua sistem. Maksud "satu negara" adalah Hong Kong di bawah Republik Rakyat Cina dengan pemerintah pusatnya di Beijing. Sedangkan "dua sistem" adalah sistem sosialisme dengan kekuasaan terpusat di Cina dan kapitalisme serta demokrasi dalam tingkat berbeda di Hong Kong.
Law dan para mahasiswa lainnya selama 79 hari "menduduki pusat kota" dan berdemo hingga melumpuhkan sebagian jalan di Hong Kong. Buntut dari aksi tersebut, Law, Wong, dan Chow diseret ke meja hijau. Mereka dituntut atas tuduhan memanjat pagar kompleks gedung pemerintah saat berdemonstrasi.
Chow dituduh ambil bagian dalam perkumpulan ilegal. Law dituntut berpartisipasi dalam aksi protes atas kedatangan pejabat tinggi Cina, Zhang Deijing. Adapun Wong dituntut dengan dua tuduhan tersebut. Mereka terancam dipenjara lima tahun. Namun mereka tidak menyesal dan menganggap hukuman tersebut adalah hukuman politik.
Perjuangan Law dan Wong pindah ke jalur politik praktis. Pada April 2016, mereka mendirikan Partai Demosisto. Hasilnya, Law memperoleh 50.818 suara dalam penghitungan hasil pemilihan parlemen. "Hasil ini ajaib dan mengejutkan," ujar Law. Adapun Wong tidak bisa mendaftar karena belum berusia 21 tahun.
Chu dan Law adalah dua di antara sejumlah aktivis prodemokrasi Hong Kong yang masuk jajaran parlemen. Aktivis lain sebut saja Sixtus "Baggio" Leung, 30 tahun, dan Yau Wai-ching, 25 tahun, politikus Partai Youngspiration. Leung dan Wai intens menemui warga di kedai-kedai dan halte bus.
Partai yang didirikan pada 2014 ini memiliki tujuan yang sama dengan Demosisto. Youngspiration memiliki visi-misi "lokal", yakni menantang pro-Hong Kong dengan menekankan kebijakan untuk bersikap independen dan mengurangi ketergantungan pada Beijing. "Jalan menuju kemerdekaan Hong Kong sulit, tapi otonomi lebih menarik," ujar Leung.
Para aktivis mendulang banyak suara dalam pemilihan anggota Dewan Legislatif Hong Kong. Setidaknya, dari penghitungan sementara, 27 aktivis pro-demokrasi mendapat kursi parlemen dari 70 kursi Dewan Legislatif—lebih dari sepertiga kursi parlemen. Sejumlah pengamat menilai kemenangan besar ini diprediksi mengubah peta politik Hong Kong yang selama ini dikendalikan Beijing. "Dengan jumlah 27 kursi itu, mereka bisa memveto perubahan konstitusi."
Sebanyak 3.780.000 penduduk Hong Kong yang terdaftar sebagai pemilih berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara di sejumlah kota di Hong Kong pada Ahad pekan lalu. Optimisme untuk memilih juga dirasakan oleh warga Hong Kong di rantau. Sejumlah tempat pemungutan suara masih dipadati antrean pemilihan meski waktu menunjukkan pukul 22.30, batas akhir pemilihan.
Satu hari berlalu, pemerintah Cina tercengang dengan hasil pemilihan karena sejumlah aktivis prodemokrasi berhasil masuk jajaran legislatif di bekas koloni Inggris ini. Beijing langsung memperingatkan tidak akan menoleransi apa pun dari anggota parlemen yang terpilih nantinya itu berbicara tentang Hong Kong yang semi-otonom dari kontrol Beijing. "Kami menentang aktivitas yang berkaitan dengan kemerdekaan Hong Kong dalam bentuk apa pun. Di dalam ataupun di luar Dewan Legislatif," ujar perwakilan dari kantor Cina di Hong Kong, seperti dilaporkan Associated Press, Selasa pekan lalu.
Elizabeth Quat, anggota dari partai pro-Beijing, menilai upaya mereka yang mendesak kemerdekaan Hong Kong tidak realistis. "Mudah-mudahan itu tidak menjadi tujuan utama mereka."
China Daily, koran di Cina dalam edisi Hong Kong, melaporkan akan adanya "ide separatis" di legislatif Hong Kong setelah kemenangan besar para aktivis di parlemen.
Menanggapi ancaman Beijing, Leung mengatakan kepada RFA Kanton Service, radio berbahasa Kanton, bahwa hal penting yang perlu dibenahi adalah menegakkan Undang-Undang Dasar Hong Kong menurut "prinsip-prinsip yang tegas tanpa garis bawah". "Terutama masalah yang melibatkan hukum yang buruk," kata Leung.
Adapun Law menegaskan tidak pernah menganjurkan pendukungnya meminta Hong Kong merdeka dari pemerintah Cina daratan. "Hong Kong harus menikmati hak untuk menentukan nasib sendiri," ujar Law. Caranya adalah berupaya mendapatkan porsi otonomi yang lebih besar. Sedangkan Chu tidak ambil pusing antara otonomi dan merdeka. Perjuangannya tidak ingin Hong Kong diisi dengan kekerasan politik. "Saya tidak ingin anak saya, generasi kita, tidak mampu berbicara tentang kebenaran."
Sukma Loppies (BBC, South China Morning Post, Hongkong Herald, Hongkongf.Com, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo