Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Suara 'Tidak' yang Digencet

Tak semua orang di Turki setuju negara menganut sistem presidensial. Tapi kesempatan untuk berhimpun dan mengumpulkan dukungan dipersempit.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam politik Turki, Meral Aksener bukanlah nama yang "nyaris tak terdengar", apalagi menjelang referendum yang dijadwalkan berlangsung pada 16 April. Mantan Menteri Dalam Negeri berusia 60 tahun ini muncul sebagai salah satu figur yang gigih melawan apa yang dia gambarkan sebagai "sesuatu yang mengerikan": menentang perubahan sistem kenegaraan dari parlementer ke presidensial.

Aksener adalah politikus ultrakanan. Semula dia adalah anggota Partai Pergerakan Nasionalis (MHP), organisasi politik terkecil yang ikut duduk di parlemen tapi punya peran tak remeh dalam mendukung ambisi Presiden Recep Tayyip Erdogan. Hanya mendulang 12 persen suara pemilih dalam pemilihan umum terakhir, sokongan MHP membuka jalan bagi Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), untuk mengegolkan referendum perubahan konstitusiyang menghapus jabatan perdana menteri dan memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden.

Dukungan itu menyebabkan MHP retak. Para pemimpin partai umumnya membagul Erdogan yang ikut mengkampanyekan jawaban "Ya". Sementara itu, tak sedikit yang menentang, seraya berkampanye untuk jawaban "Tidak". Suasana partai menjadi panas. Aksener terpental; dia dipecat. Tapi dia masih punya basis kuat di kalangan bawah.

Aksener tak sendirian menghadapi "karier" politik sebagai "orang luar". Ketika Sinan Ogankoleganya di MHP dan parlemensedang berpidato di sebuah universitas di Istanbul, seseorang merobohkan mimbar tempat dia berdiri. Bukan meminta pertanggungjawaban orang itu, partai justru memecat Ogan. Insiden seperti ini, menurut Ogan, terjadi di beberapa tempat.

Lebih memilih sistem parlementer, Aksener beralasan dalam sistem ini masih ada peluang berlakunya checks and balances, setiap kekuatan politik bisa saling mengawasi dan saling mengimbangi. "Di sini (sistem yang berubah), Anda tak punya hal itu," katanya seperti dikutip BBC pada Jumat dua pekan lalu.

Pendirian seperti itu, di tengah-tengah Turki yang seperti sedang dibariskan menuju kondisi antikritik dan antidemokrasi, menyebabkan Aksener tak bisa melenggang berkampanye. Beberapa jadwal pawai yang sudah ada dalam agendanya tiba-tiba dibatalkan atau diganggu, sedangkan izin untuk membikin keramaian baru dipersulit.

Bukan hanya kondisi seperti itu yang dikeluhkan kalangan oposisi. Banyak yang mengaku menghadapi ancaman, kekerasan, penahanan sewenang-wenang, kurangnya siaran televisi, dan bahkan sabotase. Keluhan-keluhan ini menjadi kontras bila dihadapkan pada kecaman Erdogan terhadap negara-negara Eropa karena tak membolehkan menteri-menterinya berkampanye di sana. Erdogan menyebut negara-negara itu "menjalankan praktek Nazi juga".

Selain risau terhadap represi yang memang khusus menyasar kampanye anti-perubahan sistem kenegaraan, kalangan oposisi menuding keadaan darurat yang berlaku sejak Juli lalu sebagai penghalang sulitnya menyampaikan pesan kepada pemilih. "Mereka yang menyarankan suara 'Tidak' berhadapan dengan serangkaian rintangan," kata Utku Cakirozer--mantan wartawan yang kini anggota parlemen dari Partai Rakyat Republik (CHP)--kepada Associated Press.

Menurut hasil jajak pendapat yang dipublikasikan pada akhir Maret lalu, masih banyak pemilih yang belum menentukan sikap. Kepada merekalah oposisi hendak mencari suara. Masalahnya, media, khususnya stasiun-stasiun televisi, condong ke pemerintah atau memilih menjaga jarak dengan tak menyiarkan suara kritis terhadap pemerintah. Media milik negara, yang menurut peraturan wajib netral, pun menghindar dari keharusan menyiarkan pidato Kemal Kilicdaroglu, pemimpin CHP.

Intimidasi yang telak datang justru dari Erdogan. Berbarengan dengan pernyataannya yang mengutuk negara-negara Eropa, dia juga mengkategorikan para penentang perubahan konstitusi sebagai teroris dan pelaku kudeta gagal pada Juli lalu. "Karena itu saya percaya rakyat saya, saudara-saudara saya, akan memilih 'Ya'," katanya.

Diakui atau tidak, kecemasan yang ditimbulkan dari pernyataan semacam itu memang terlalu besar untuk ditaklukkan--dan sangat boleh jadi Aksener benar: mengerikan.

Purwanto Setiadi (BBC, The Guardian, Morning Journal)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus