Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari 300 pengunjuk rasa memadati pelataran balai pertemuan Tornino's di Kota Fresno, California, Amerika Serikat. Sambil berseru-seru dan mengacungkan bermacam poster protes, mereka mencemooh Devin Nunes, politikus Partai Republik yang tengah mengunjungi konstituennya di dekat Distrik Central Valley, akhir Maret lalu, tersebut. "Nunes pengecut, keluar kau!" "Kami tidak butuh anjing penjilat," begitu teriakan sebagian demonstran.
Beberapa pengunjuk rasa bahkan memutar lagu kebangsaan Rusiaejekan terhadap Nunes yang "pro"-Rusia. "Nunes bekerja untuk Presiden (Trump), padahal itu bukan tugas dia," kata Betsy Cambareri, salah satu pemrotes. Demonstran lain, Annaliese Herms, 23 tahun, mempertanyakan integritas Nunes, yang memimpin penyelidikan parlemen atas dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden yang dimenangi Donald Trump. "Kita perlu seseorang yang independen," ujarnya.
Bagi Nunes, protes semacam ini sangat langka. Selama tujuh periode menjadi wakil rakyat, baru kali itu Nunes disambut unjuk rasa meriah. Tapi ia memilih tak meladeni aksi para demonstran. Di dalam balai pertemuan, pria 43 tahun itu berbincang dengan para petanikonstituennyatentang kebijakan tata kelola air. "Ini memang tugas sulit. Saya tak yakin ada orang lain bisa menggantikan saya," katanya kepada CBS47-TV, seusai pertemuan.
Dalam tiga pekan terakhir, Nunes menjadi bahan olok-olok di Washington, DC. Di jantung lalu lintas politik Negeri Abang Sam, Nunes, yang menjabat Ketua Komite Intelijen Dewan Perwakilan Rakyat, seperti kehilangan wibawa, termasuk di kalangan politikus Republikan. "Saya tak pernah mendengar hal semacam ini," ucap John McCain, senator dari Arizona. "Ini agak aneh," tutur senator asal South Carolina, Lindsey Graham.
Nunes memang bertingkah ganjil, terlebih selepas peristiwa pada Selasa malam, 21 Maret lalu. Saat itu Nunes sedang menumpang Uber dengan seorang anggota staf senior Komite Intelijen. Di tengah perjalanan, ia mendapat sebuah panggilan telepon. Setelah perbincangan itu, Nunes meminta sopir menghentikan kendaraannya. Ia tiba-tiba turun dari mobil dan berpindah menumpang mobil lain, meninggalkan koleganya tanpa penjelasan.
Keesokan harinya, Nunes membikin heboh seantero Washington, DC. Kepada juru warta, ia mengatakan bahwa Trump dan orang-orang dekatnya masuk radar pengintaian intelijen. Nunes mengklaim mendapat informasi rahasia itu dari beberapa sumber di Gedung Putih, yang ditemuinya pada malam sebelumnya. "Komunitas intelijen kebetulan menghimpun informasi tentang warga Amerika yang terlibat dalam masa transisi Trump," katanya.
Selepas berkoar kepada pers, Nunes meluncur ke Gedung Putih. Kali itu dia menemui Trump. Kepada Trump, Nunes mengabarkan informasi intelijen yang, ia mengklaim, tercantum dalam lusinan dokumen rahasia. "Jika saya presiden, saya akan khawatir. Itu sebabnya saya memberi tahu Presiden," kata bekas anggota tim transisi Trump tersebut.
Nunes enggan mengungkap identitas sang pembocor. Namun The New York Times, mengutip tiga pejabat Komite Intelijen dan seorang bekas pejabat keamanan nasional, melaporkan bahwa pemasok informasi bagi Nunes adalah Ezra Cohen-Watnick dan Michael Ellis. Cohen-Watnick kini direktur intelijen senior di Dewan Keamanan Nasional. "Ia masuk tim transisi Trump dan dibawa oleh Michael Flynn," begitu menurut harian tersebut.
Cohen-Watnick, 30 tahun, tidak hanya akrab dengan Flynn, orang dekat Trump yang belum lama dicopot sebagai Penasihat Keamanan Nasional setelah skandal komunikasinya dengan Duta Besar Rusia Sergey Kislyak terkuak. Cohen-Watnick rupanya juga kenal dekat Stephen Bannon, Kepala Strategis Gedung Putih, serta menantu Trump, Jared Kushner.
"Kedekatan itu membuat Herbert McMaster--pengganti Flynn--batal memecat Cohen-Watnick," demikian diberitakan The New York Times. Adapun Ellis adalah pengacara untuk isu keamanan nasional di Kantor Penasihat Gedung Putih. Sebelum Trump dan Mike Pence dilantik, Ellis pernah menjadi penasihat bagi Komite Intelijen yang dipimpin Nunes.
Di Capitol Hill--gedung parlemen Amerika--banyak anggota Komite Intelijen yang terbengong-bengong melihat polah Nunes. "Kami dibikin tercekat," kata Jim Himes, legislator Demokrat asal Connecticut. Himes mengaku terkejut pada pernyataan Nunes. Apalagi Nunes tak pernah mendiskusikan informasi yang ia peroleh itu dengan kolega dalam panel bipartisan di Komite Intelijen, yang melibatkan Demokrat dan Republikan.
Adam Schiff, politikus kawakan Demokrat di Komite Intelijen, bahkan menganggap ulah Nunes akal-akalan. Menurut dia, Gedung Putih dan Nunes telah berkongkalikong untuk merecoki pengusutan kongres dalam mengungkap intervensi Rusia dalam pemilihan 2016. Campur tangan Moskow diyakini turut berperan memenangkan Trump. "Anda menyelidiki Gedung Putih, Anda seharusnya tidak mengambil informasi ke Gedung Putih," ujarnya.
Tudingan itu bukan tanpa alasan. Menurut Himes, Trump dan Republikan waswas setelah Komite memanggil Direktur Biro Investigasi Federal (FBI) James Comey dan Direktur Badan Keamanan Nasional (NSA) Michael Rogers. Dalam sidang pada 20 Maret lalu itu, Comey mengungkap bahwa FBI tengah mengusut dugaan kolusi orang dekat Trump dengan pejabat Moskow. "Saya yakin Gedung Putih tidak sreg dengan hal itu," katanya.
Ini terbukti sepekan kemudian, saat Komite seharusnya meminta keterangan tiga bekas pejabat tinggi di era Barack Obama. Mereka adalah Sally Yates, eks Wakil Jaksa Agung yang pernah sebentar menjabat sebagai Jaksa Agung sebelum dipecat Trump; John Brennan, mantan Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA); dan James Clapper, bekas Direktur Intelijen Nasional. "Dia (Nunes) tiba-tiba membatalkan jadwal sidang," ujar Himes.
Pemanggilan trio Yates-Brennan-Clapper bisa jadi membikin Trump tersudut. Yates, misalnya, pernah menginformasikan Gedung Putih ihwal komunikasi rahasia antara Flynn dan Sergey Kislyak, Januari lalu. Sementara itu, Brennan terlibat dalam mengawasi laporan pemerintah Barack Obama tentang campur tangan Rusia selama masa kampanye.
Adapun Clapper berkukuh menentang tudingan Trump yang menyebut Obama telah menyadap Trump Tower, kediaman dan kantor Trump di New York. Trump pernah mencuitkan klaim sumir itu lewat akun Twitternya pada 4 Maret lalu. "Tidak pernah ada penyadapan terhadap presiden terpilih saat itu atau ketika masih kandidat selama kampanye," ujarnya.
Wajar bila Trump waswas terhadap penyelidikan di Dewan Perwakilan Rakyat. Comey, misalnya, mengatakan FBI mengusut dugaan campur tangan Rusia sejak Juli 2016. Satu hal yang mendapat sorotan Komite adalah keterangan Roger J. Stone, bekas penasihat Trump selama masa kampanye. Melalui media sosial Twitter, Stone berkoar pernah menjalin komunikasi dengan Guccifer 2.0--akun peretas yang diyakini sebagai kedok agen telik sandi Moskow. Guccifer 2.0 pernah terseret dalam skandal peretasan server Komite Nasional Partai Demokrat.
Stone melengkapi daftar orang dekat Trump yang disorot FBI dan badan intelijen. Sebelumnya, FBI mengincar Paul Manafort, bekas ketua tim kampanye Trump; Carter Page, eks penasihat kebijakan luar negeri Trump; serta Michael Flynn. Belakangan, Jared Kushner juga masuk radar. Suami putri Trump, Ivanka, itu diketahui pernah bertemu dengan kepala eksekutif sebuah bank Rusia, yang masuk daftar sanksi Amerika, pada Desember 2016.
Di parlemen, Nunes akhirnya mundur sebagai ketua tim panel investigasi setelah ia terancam diperiksa Komite Etik DPR atas dugaan pembocoran informasi rahasia, Kamis pekan lalu. Adapun anggota Komite Intelijen sepakat meneruskan penyelidikan.
Mengetahui siasat berkilah lewat Nunes tak mempan, Trump melancarkan manuver baru. Kali ini pria 70 tahun itu menyeret nama Susan Rice, Penasihat Keamanan Nasional di era Obama. Rice dituding telah berbuat kejahatan dengan membocorkan identitas orang-orang dekat Trump yang disebutkan masuk daftar pengawasan badan intelijen.
Rice langsung menangkis tuduhan Trump. Apalagi penerus Obama itu lagi-lagi hanya mengklaim tanpa bukti, seperti cuitannya pada 4 Maret. Namun bukan Trump namanya jika tidak menyulut kontroversi. "Saya pikir ini (skandal Rice) akan menjadi cerita terheboh," kata Trump. "Ini seperti sebuah kisah yang sangat penting bagi negara kita dan dunia."
Mahardika Satria Hadi (NBC News, The Daily Beast, Washington Post, NPR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo