CINA bergelora dengan pesta meriah, Taiwan, si "Malin Kundang" tengah berduka. Wajah porak-poranda Taipeh yang remuk oleh gempa memenuhi media internasional. Gedung-gedung pencakar langit milik perusahaan-perusahaan cip komputer di Taipeh bagai mainan lego yang luluh berantakan diterjang badai.
Menurut data terakhir pemerintah Taiwan, korban yang tewas mencapai lebih dari 2.000 jiwa, belum lagi yang luka dan hilang. Aliran listrik nyaris padam total, persediaan air bersih hampir tak ada, dan kegiatan di pasar modal berhenti total. Negara industri baru yang hanya dipisahkan 100 kilometer dari Cina daratan itu nyaris lumpuh total. Tentu saja Taiwan hancur bukan karena permusuhan abadi dengan Cina. Serangkaian gempa bumi dahsyat (rata-rata 7 skala Richter) yang terjadi pertengahan September lalu itu membuat pemerintah Taiwan harus membangun Taipeh secara fisik dari awal.
Bencana alam yang terjadi menjelang perayaan hari jadi Partai Komunis Cina yang ke-50, 1 Oktober 1999 itu—berarti 50 tahun terusirnya Partai Kuomintang dari Cina daratan—adalah salah satu tragedi dunia. Tetapi, karena Taiwan secara de jure tidak diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai negara berdaulat, negara-negara di dunia merasa terhambat untuk menyampaikan rasa belasungkawa resmi. Untung saja, Taiwan bukan negara miskin sehingga pemerintahnya mampu memperbaiki kerusakan akibat gempa dengan uangnya sendiri.
Yang parah adalah sikap pemerintah Cina. Pemerintah Cina menyebut bahwa musibah gempa di Taiwan itu disebabkan negara kepulauan itu sudah kualat pada "saudara tua". Maklum, bulan Juli lalu, Presiden Taiwan Lee Teng-hui sudah cukup berani meminta Cina untuk memperlakukan hubungan keduanya seperti hubungan antarnegara.
Setelah itu ancaman pemerintah Cina terhadap Taiwan dan pihak-pihak yang dianggap mendukung Taiwan datang bertubi-tubi, misalnya Perdana Menteri Cina Zhu Rongji mengancam AS untuk tidak mendukung Taiwan memperjuangkan kemerdekaannya, dalam sebuah pertemuan tertutup dengan 60 pengusaha multinasional. Menurut Zhu, sikap Taiwan yang ingin merdeka itu sudah keterlaluan. "Tawaran yang terbaik adalah 'satu negara dengan dua sistem', seperti kembalinya Hong Kong dari koloni Inggris pada 1997," tutur Zhu.
Sikap Cina pada Taiwan itu seperti gabungan antara benci dan rindu. Cina selalu menginginkan Taiwan kembali. Sejak Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek lari ke Taiwan—setelah dikalahkan tentara merah pengawal Revolusi Kebudayaan Mao Zedong 50 tahun lalu—Cina tak pernah menganggap Taiwan sebagai negara terpisah. Untuk itu, Cina berusaha memojokkan Taiwan di jalur diplomasi. PBB hanya mengakui "satu Cina".
Sialnya (bagi Cina, tentunya) walaupun disingkirkan, Taiwan justru berjaya menjadi negara industri baru alias salah satu dari empat "Macan Asia" seperti Singapura, Korea Selatan, dan Hong Kong. Dengan cadangan devisa US$ 100 miliar, Taiwan tak membutuhkan basa-basi diplomatik untuk berhubungan dengan negara manapun, termasuk dengan Cina. Bahkan, penduduk Cina adalah pasar terbesar Taiwan. Tidak aneh kalau Taiwan dijuluki sebagai negara yang paling pragmatis di dunia dan hingga saat ini, Taiwan lebih memilih menjadi "anak nakal" yang mandiri, daripada terus-menerus menyusu pada Cina.
BB (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini