Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mata Malaikat

Bagi Wim Wenders, melihat adalah suatu tindakan yang bermakna.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM dan bergerak itu sangat berbeda, antara lain itulah perbedaan hakiki antara foto dan film. Namun, dalam hal Wim Wenders, keduanya sama-sama mewakili suatu pandangan, baik visual maupun kultural—tentu saja dari Wenders sendiri. Hal ini tampak dari pendapatnya bahwa foto ataupun film harus berusaha menangkap kenyataan sebagaimana adanya. Menangkap apa yang disebut "sebagaimana adanya" ini ternyata tidak bisa sekadar dengan cara apa adanya. Seperti bisa diikuti dari catatannya atas foto-foto tentang pandangan Australia, ia menggunakan lensa khusus yang mampu menangkap keluasan cakrawala. "…hanya negatif berukuran 6x17 itulah yang tampaknya dapat mengambil gambar horizon luas dan lurus memanjang dan pandangan mata yang mengembara ke kejauhan," begitu ditulis Wenders. Maka, ketika kamera Horizon Rusia-nya hilang dicuri orang, ia menggantinya dengan Art Panorama dari Jepang, supaya dapat tetap menangkap cakrawala itu. Konsekuensinya, dalam semprotan matahari, kamera besar itu nyaris melelehkan tangannya. Toh, ia menentengnya ke mana-mana. Orang Aborijin sampai menyebutnya foto jarra, si gila dengan kameranya. Dalam dunia film, Wim Wenders sangat mengagumi sutradara Jepang Yausjiro Ozu. Kalau kita memperhatikan apa yang diliput Wenders dalam film dokumenter Tokyo-Ga (1965), kita melihat kembali kecenderungannya. Seperti diketahui, Ozu dianggap sebagai sutradara yang mampu memperlihatkan Jepang seperti apa adanya. Berbeda dengan Akira Kurosawa, yang dikagumi dalam superioritasnya terhadap dunia film Barat dengan penggambaran sinematografis yang serba spektakuler, Ozu besar dalam kesederhanaannya: kameranya hanya statis, tidak pernah bergerak, dan selalu dalam sudut pandang orang bersimpuh, yang terkenal dengan sebutan tatami shot. Wenders menemukan bahwa untuk itu Ozu harus menciptakan tripod (penyangga kamera) khusus, dan juru kameranya hampir selalu bertiarap. Beberapa peralatan khusus harus dibuat sendiri oleh Ozu dalam semangat menangkap kenyataan seperti apa adanya. Dengan begitu, rupanya sebuah pendekatan visual memang mewakili suatu pandangan kultural. Dalam Silver City Revisited (1988), boleh dibilang Wim Wenders memperlakukan kamera film seperti kamera foto saja. Kamera itu "dipanteng" (merekam dan distatiskan) sampai habis satu can (segulung) untuk mengambil gambar sudut-sudut kota. Perbedaannya dengan foto dari cara merekam seperti ini hanyalah waktu, tapi konsepnya sama saja: menangkap kenyataan seperti apa adanya. Wenders sendiri mengaku, ia merindukan fungsi kamera kembali seperti zaman Lumeire bersaudara, para inovator film pertama bersama Edison, ketika kereta api direkam untuk melihat gerak kereta api, bukan demi tujuan-tujuan sang pembuat film. Tidak aneh jika dalam pembuatan film cerita, Wenders juga menghindari manipulasi kenyataan yang membuat hidup seperti dongeng. The American Friend (1977) disebut sebagai film detektif. Tapi, tidak seperti para jagoan Hollywood, orang yang diupah untuk membunuh dalam film ini sangat tidak profesional dan gagal melulu. Kita melihat manusia-manusia di sekitar kita yang serba tak sempurna, bukan boneka-boneka yang menjalankan peran dengan patuh. Dalam bahasa Wenders sendiri pada buku The Logic of Images, biasanya, dalam fiksi kriminal, tokoh-tokoh dibentuk oleh plot dan action: mereka adalah produk, bukan produser. Dengan kata lain, Wenders menuntut suatu logika kewajaran yang membuat penonton mengenal tokoh-tokoh di layar dalam dirinya. Mengenai apa yang direkam dan mengapa begitu, semuanya hanya serba personal—atas nama kehendak yang pribadi. Tampaknya Wim Wenders memang tidak peduli penonton, atau sebaliknya, penonton harus dihormati dengan cara tidak mengibulinya, seperti yang selalu dilakukan pendekatan film sebagai produk industri. Kepada penonton film ataupun foto, Wendes memperlihatkan apa yang memang diinginkan untuk disaksikan, betul-betul seperti apa yang dia inginkan. Dalam buku The Act of Seeing, ia menyatakan betapa sebuah film harus mewakili impian di siang hari bolong. Tepatnya, impian yang disadari dan dinyatakan. Untuk jujur terhadap impian-impiannya sendiri, Wenders tak ragu memasukkan ke filmnya hal-hal yang merupakan kesenangan pribadinya, seperti potongan dalam film-film Ozu atau Nicholas Ray, lagu-lagu Bob Dylan, atau juga acara-acara TV kesukaannya. Sepanjang kariernya, Wim Wenders sangat peduli dengan keadaan bahwa imaji-imaji visual di sekitar kita hampir seluruhnya manipulatif: jika tidak untuk kepentingan dagang, tentu untuk kepentingan politik. Wenders beranggapan hal ini mengancam kemanusiaan. Sinema berada pada tahapan yang kritis apakah ia akan larut dalam konsumerisme, ataukah akan mampu membuka ruang dan jalan-jalan baru. Pemahaman ini melahirkan imaji visual khas Wenders: ritme bergerak lamban, kualitas gambar tanpa manipulasi politik, pemandangan alam di luar rumah yang dikembarai tak habis-habis. Perjalanan merupakan tema yang disukai Wenders, bahkan perusahaan yang didirikannya bernama Road Movies Inc. Dalam Alice in the Cities (1974), film Wenders termanis yang sayang sekali tidak diputar dalam pekan film, dikisahkan tentang seorang wartawan yang kejatuhan sial karena terpaksa mengurusi seorang yang ditinggalkan ibunya begitu saja. Dalam proses mencari kakek dan neneknya hanya berdasarkan foto rumahnya, kedua insan ini terpusing-pusing dalam interaksi yang tidak mulus. Selama dalam perjalanan, wartawan ini terus-menerus memotret dengan kamera polaroid. Dan pada ujungnya, anak kecil itu memotret wartawan tersebut. "Supaya engkau mengenal dirimu sendiri," ujarnya. Kini, kita mendapatkan sebuah perumusan yang lebih meyakinkan: foto-foto dan film bagi Wenders merupakan sebuah proses untuk mengenal diri sendiri. Hanya dengan begitu kehadiran orang lain mendapatkan maknanya dalam kebersamaan. Bahwa perjalanan mengenal diri itu sulit, tema film-film Wenders sudah menyatakannya. Namun, yang menarik dari cara penggambaran visual Wenders adalah bahwa ia memungkinkan adanya kemandirian estetik. Foto-foto padang Australia ini dengan jelas memperlihatkan, dari 1977 sampai 1988, ia memotret dengan cara yang sama: berusaha merengkuh cakrawala. Gabungan foto-fotonya dalam pameran menghadirkan sosok Wim Wenders yang begitu yakin dengan apa yang ingin dilakukan dan dikatakannya. Hal ini membuat foto dan film-filmnya mandiri secara estetis: tidak mengacu secuil pun kepada kuasa imaji-imaji visual yang merajalela, kecuali tentu memang tampak bahwa ia banyak belajar dari film-dilm Ozu, yang pernah disebutnya sebagai surga sinema yang hilang. "Semua filmku dimulai dari gambar," ujar Wenders dalam The Logic of Images. Artinya, film bukanlah sekadar visualisasi, melainkan visi, sehingga gambar-gambar sebuah film tidaklah mesti mengabdi kepada sebuah tema, melainkan sudah menjadi visi itu sendiri. Pendekatan kepada sinema sama dengan pendekatan seorang pelukis. Wenders mengaku, semula dirinya seorang pelukis yang sangat tertarik menggambar ruang. Ia menggambar pemandangan kota dan luar kota. "Ketika aku menjadi pembuat film, aku membayangkan diriku sendiri sebagai pelukis ruang yang mencari waktu," katanya. Baru belakangan terpikir oleh Wenders bahwa hal itu dinamakan bercerita. Wim Wenders memang mempertaruhkan segalanya untuk gambar. Dua film Wim Wenders, Wings of Desire (1988) dan Faraway, So Close (1993), adalah cerita bersambung tentang malaikat-malaikat yang bertugas di bumi, dan karena itu mereka sempat merenungkan kehidupan manusia—sampai-sampai banyak di antara mereka memutuskan jadi manusia saja. Dalam kedua film itu, malaikat bisa melihat manusia, sedangkan manusia tidak—kecuali anak kecil. Malaikat ini bahkan bisa membaca pikiran manusia, sehingga kita dengar narasinya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tindakan melihat bagi Wim Wenders, sehingga penglihatan itu bahkan dikonkretkan menjadi foto dan film. "Mata adalah cahaya bagi tubuh," begitu ia mengutip Injil di awal Faraway, So Close. Bagi seorang sineas dan fotografer yang mempertaruhkan hidupnya demi sebuah ekspresi visual, ini tiada lain berarti bahwa apa pun yang bisa dilihat manusia dalam kehidupan ini adalah suatu makna, dan melihat itu sendiri tentu merupakan tindakan bermakna. Ibarat malaikat, foto dan film menembus dimensi fisik, menuju pencapaian transendental. Seno Gumira Ajidarma (Kritikus Film dan Fotografi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus