Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kemenangan Grass, Setelah 40 Tahun

Sastrawan Jerman Gunter Grass menerima hadiah Nobel 1999. Sebuah penghargaan yang nyaris terlambat.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI SEBUAH kedai minum, Gunter Grass dan istrinya, Ute Grunert, menuang anggur kemenangan. "Ini sebuah kegembiraan untuk saya dan seluruh komunitas sastra Jerman," katanya di muka teman-temannya. Uang sebanyak US$ 1,4 juta (lebih dari Rp 10 miliar) agaknya tak penting bagi sastrawan Jerman yang dikenal sederhana itu. Tetapi, mungkin lebih penting baginya bahwa pemikirannya diakui oleh lembaga prestisius seperti Akademi Swedia, yang Kamis pekan silam menobatkannya sebagai peraih hadiah Nobel dalam bidang sastra.

Penghargaan bagi novelis yang namanya melejit berkat Die Blechtrommel (The Tin Drum) itu sesungguhnya bisa dianggap terlambat karena novel yang dianggap karya besar dunia itu sudah terbit sejak 1959. Selama 20 tahun terakhir, namanya tetap saja ada dalam "daftar tunggu" para kandidat penghargaan bergengsi itu. Tapi, secara bergurau, ia mengatakan status "daftar tunggu" itu membuatnya tetap merasa muda dalam usianya yang 72 tahun. Grass lahir di Gdanks, Polandia (dulu bernama Danzig, yang masuk wilayah Jerman), pada 16 Oktober 1927, dari keluarga sederhana. Ayahnya pemilik toko bahan makanan, dan sejak usia dini Grass sudah terpaksa bergabung dengan organisasi pemuda Hitler pada 1930. Pada usia 16 tahun, ia terdaftar sebagai tentara. Ia sempat terluka dalam perang pada 1945, dan pada tahun yang sama meringkuk di dalam penjara di Cheko.

Grass baru dibebaskan setahun kemudian. Ia sempat bekerja serabutan, dari buruh tani, buruh tambang, hingga tukang batu. Pada 1948, Grass menjadi mahasiswa seni rupa untuk belajar melukis dan mematung di Akademi Seni Dusseldorf. Kuliah seni rupa masih diteruskannya di Akademi Seni Rupa di Berlin Barat hingga 1955. Di dua kota itulah Grass mulai menulis puisi. Tapi debut sastranya dimulai ketika ia menetap di Paris sebagai pematung, sembari mulai menulis novelnya yang pertama pada 1956, The Tin Drum. Pada novel pertamanya ini, Grass menciptakan kembali dunia yang hilang dari kehidupan kreatifnya, yakni Danzig, kota kelahirannya, sebagaimana kenangan pada masa kecilnya sebelum terjadi bencana perang. Ia merasa memiliki kewajiban besar untuk melihat kembali sejarah kontemporer dengan mengingatkan pengingkaran terhadap korban, pecundang, dan penipu yang ingin dilupakan masyarakat Jerman.

The Tin Drum adalah sebuah panorama satiris tentang realitas Jerman pada masa rezim Hitler. Tokoh utama novel ini, Oscar Matzerath, memprotes praktek kekejaman dalam sejarah Jerman dan hanya mau berkomunikasi lewat tong mainan. "Tak berlebihan jika kami memperkirakan bahwa The Tin Drum akan menjadi satu dari karya sastra yang abadi pada abad ke-20," demikian ditulis panitia hadiah Nobel dalam pernyataan persnya. Dengan memadukan detail alamiah dengan imaji yang fantastis, Grass menancapkan reputasinya dengan The Tin Drum. Grass kemudian melengkapinya dengan novel Cat and Mouse (1961) dan Dog Year (1963). Dalam novel Cat and Mouse, muncul ketegangan cerita yang memperlihatkan hubungan persahabatan di antara anak lelaki, yang kemudian berubah menjadi bencana ketika permainan perang-perangan bertemu dengan realitas pertempuran. Sementara itu, novel Dog Years adalah teks yang merupakan sebuah arena tempat pertemuan untuk mimpi yang hangat, yang ternyata sama dengan realitas hidup. Dengan novel The Tin Drum, ketiga karyanya ini dikenal sebagai Trilogi Danzig. Novel itu berkisah tentang horor peperangan dan perasaan bersalah yang masih tertinggal dalam pikiran akibat buruk rezim Hitler.

Setelah sukses dengan triloginya, Grass aktif dalam politik praktis. Ia bekerja sebagai penulis (ghost-writer) untuk pemimpin Partai Sosial Demokrat, Willy Brandt, hingga Brandt terpilih menjadi Kanselir Jerman sejak 1969 hingga 1974. Grass bukan hanya seorang pribadi yang hanya mau berurusan dengan pemikiran politik dan sastra. Selain memiliki bakat dalam menulis karya sastra, drama, membuat patung, ia juga meluaskan perhatiannya ke masalah feminisme, seni memasak, gerakan perdamaian dan lingkungan hidup.

Novel The Tin Drum bagi juri Akademi Swedia disimpulkan dalam sebuah kalimat ringkas: "Cenderung merupakan gambaran lembaran hitam dari wajah sejarah yang terlupakan." Ketika Grass menerbitkan The Tin Drum pada 1959, ia dianggap telah memulai awal baru bagi kesusastraan Jerman setelah melewati dekade penghancuran moral dan bahasa selama rezim Nazi. Kombinasi kepiawaian teknik sastra dan intensitas nurani sosial dan politiknya telah membuat Grass menjadi sosok yang luas pengaruhnya pada era pasca-Perang Dunia II.

Meski Grass identik dengan The Tin Drum, yang terbit 40 tahun silam, adalah novelnya yang terbaru, My Century (1999), yang juga diperhitungkan oleh Akademi Swedia untuk kemudian menganugerahkan penghargaan itu kepadanya. "Hanya masalah waktu," ujar Nadine Gordimer, sastrawan Afrika Selatan yang memperoleh hadiah Nobel pada 1991.

Raihul Fadjri (Associated Press, Reuters )

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus