LAPANGAN Tiananmen bermandi warna. Lentera-lentera raksasa, balon warna-warni, 100 ribu pelajar berseragam biru, parade militer dengan persenjataan canggih, serta kepakan sayap 50 ribu merpati meramaikan semburat cahaya kembang api yang berlomba menerangi langit Beijing pada musim hujan. Inilah sebuah perayaan besar yang dipimpin oleh Presiden Jiang Zemin untuk memperingati 50 tahun Partai Komunis Cina (PKC) yang lahir pada 1 Oktober.
Ini sungguh ironis, karena 10 tahun silam, lapangan ini bersimbah darah mahasiswa prodemokrasi dan kini warna itu seolah menguap tanpa bekas berubah oleh warna-warni pelangi.
Sewaktu miniatur gedung-gedung pencakar langit Hong Kong yang melambangkan kemakmuran Cina diarak, para petinggi PKC berdiri di podium Gate of Heavenly Peace—tempat berdirinya Mao Zedong saat PKC didirikan pada 1949—melambangkan kukuhnya pemerintah Cina.
"Semua keberhasilan ini adalah berkat PKC yang besar, jaya, dan dijalankan dengan benar. Selamat untuk rakyat Cina yang pekerja keras dan berbakat serta untuk keunggulan sosialisme," kata Perdana Menteri Zhu Rongji pada sambutan perayaan yang menelan biaya US$ 36 juta (lebih dari Rp 300 miliar) itu. Statistik memang seolah menunjukkan Cina mengalami kemajuan dibandingkan dengan 50 tahun lalu: tingkat harapan hidup naik dari 35 tahun menjadi 71 tahun, angka buta huruf menurun dari 70 persen menjadi hanya 12 persen, dan pendapatan per kapita sudah mencapai US$ 750. "Keadaan dulu dan sekarang seperti bumi dan langit," tutur Liu Baoqin, mantan tentara, 70 tahun, yang ikut pada perayaan PKC pada 1949.
Perayaan ulang tahun ini memang penting karena sangat menentukan eksistensi negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa ini dalam memasuki milenium ketiga. Cina, dengan McDonald dan Coca Cola, toh masih dianggap sebagai negara komunis yang bertahan di penghujung milenium kedua.
Bagaimana masa depan bentuk pemerintahan Cina pada abad ke-21? Itu sudah diisyaratkan oleh pimpinan PKC. "Hanya sistem sosialisme yang mampu menyelamatkan Cina," kata Zemin pada sambutan perayaan. Tak lupa Zemin menyatakan bahwa pemerintahannya pasti akan merebut Taiwan kembali ke pangkuan Cina.
Singkat kata, Cina pada tahun 2000 tidak akan berubah dari jargon sosialisme. Walaupun icon kapitalis bertebaran seperti McDonald, Coca Cola, Levi's, diskotik, remaja berambut warna-warni, serta peragawati melenggak-lenggok di catwalk, pimpinan PKC bersikukuh bahwa Cina tetap setia pada ajaran Mao Zedong.
Di pihak lain, pimpinan Cina juga tidak ingin dinilai mundur dan tertutup oleh masyarakat internasional. Pemerintah Cina dengan sekuat tenaga mengesankan bahwa mereka terbuka dan berpihak pada kemajuan, seperti kaligrafi "keterbukaan dan reformasi" yang tertera pada lentera-lentera perayaan. Untuk itu, pemerintah mengerahkan agen-agen propaganda yang mengesankan keberhasilan pembangunan ekonomi Cina. Kisah sukses Guo Fenglian, elite PKC, yang berhasil menggarap tanah pertanian di Desa Dazhai —desa percontohan masa Revolusi Budaya Mao—misalnya, dipakai sebagai contoh keunggulan sosialisme. Juga cerita-cerita sukses di Kawasan Ekonomi Bebas Shenzen, Shanghai, dan Hong Kong, selalu menjadi bahan propaganda pemerintah Cina.
Tapi, benarkah Cina makin terbuka, bebas, dan lebih menghargai hak asasi?
Diakui atau tidak, pimpinan PKC sedang menghadapi krisis nilai. Reformasi ekonomi yang berjalan selama dua dasawarsa telah memberi kekayaan pada sekelompok orang. Mereka sudah memiliki penampilan yang berbeda dari nilai-nilai kesederhanaan sosialisme. Orang kaya baru Cina sudah lupa dengan baju blacu hijau atau abu-abu kebanggaan Kawan Mao. Tidak sedikit elite PKC yang lebih nyaman memakai jas dan dasi dibandingkan dengan pakaian blacu. Pergeseran nilai itu juga sudah terlihat jelas dengan gerakan mahasiswa pada akhir 1980-an yang kemudian berakhir dengan peristiwa Tianamen yang berdarah.
Dengan "keterbukaan" yang didengungkan itu, toh pemerintah Cina membuldoser gerakan mahasiswa yang berbuah tragedi Tiananmen pada 1989. Pemerintah juga membredel gerakan spiritual Falun Gong pada April lalu, hanya gara-gara kelompok tersebut ingin mendapat pengakuan. Menurut laporan sebuah lembaga hak asasi untuk Tibet—negara jajahan Cina—pemerintah Cina akan memotong gaji pegawai di negara Dalai Lama itu bila tidak mengikuti perayaan 50 tahun PKC. Pada hari ulang tahun tersebut, pemerintah juga mengeksekusi ratusan tahanan dan menerapkan aturan darurat militer agar perayaan bebas dari demonstrasi. Kerumitan itu masih ditambah dengan korupsi yang menggurita.
Apa arti semua itu? Menurut beberapa pengamat, pemerintah Cina harus memberikan ruang gerak (jauh) lebih luas pada partisipasi masyarakat. Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, menyatakan kalau pemerintah Cina tidak menyesuaikan diri ke arah yang lebih berlegitimasi, Cina seperti berdiri di atas pasir hisap. "Tapi, kalau penyesuaian itu dilakukan oleh pemerintah Cina negara itu akan menjadi kekuatan ekonomi besar pada 2050," tutur Lee pada diskusi Fortune Global Forum, sebuah forum internasional yang diadakan oleh pemerintah Cina untuk mendapat masukan tentang masa depan Cina.
Implikasinya adalah PKC harus bekerja keras untuk mendapatkan landasan filosofi yang bisa diterapkan di negaranya dan di dunia internasional. "Marxisme sudah berakhir, westernization berarti demokrasi, tapi nasionalisme dan budaya tradisional bisa juga berakibat bagai membuka kotak Pandora," tutur Li Fan, seorang pengamat independen. Cina berada di persimpangan jalan. Masyarakat, mahasiswa, dan kaum intelektual yang sebagian masih di pengasingan, seperti Fang Lizhi dan Wang Dan menginginkan demokrasi, sementara pemerintahnya memiliki agenda sendiri.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini