Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tangan Kanan Sharon

Ehud Olmert menggantikan Ariel Sharon sebagai perdana menteri sementara dan ketua partai Kadima. Apakah ia mampu meraih kemenangan di pemilu nanti?

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harian Haaretz itu menampilkan berita besar. Telah lahir pemimpin baru Israel. Menurut jajak pendapat, popularitas Ehud Olmert melampaui semua politisi Israel yang berpengaruh saat ini. Jajak pendapat itu sekaligus menepis semua keraguan orang tentang Olmert, 60 tahun, yang tiba-tiba ketiban sampur harus menjabat perdana menteri gara-gara dokter memvonis Ariel Sharon tak mampu menjalankan fungsi sebagai perdana menteri. Padahal, nama Olmert baru ramai dibicarakan setelah ia ditunjuk Sharon sebagai Menteri Keuangan tiga tahun lalu.

Nama Olmert selama ini tenggelam dalam perseteruan sengit Ariel Sharon dengan Benjamin Netanyahu. Di antara dua ”gajah” partai kanan Likud itu Olmert berada dalam barisan Sharon. Bahkan ia dikenal sebagai sekutu Sharon yang paling dekat. Olmert mendukung sepenuhnya setiap langkah proses evakuasi Gaza. Dialah anggota pertama Partai Likud yang mengikuti langkah kontroversial Sharon hengkang dari partai sayap kanan itu dan mendirikan partai baru Kadima.

Olmert mulai mengukir karier politiknya sebagai anggota parlemen dari partai Likud sejak ia berusia 28 tahun pada 1973. Ia sempat dua kali menjadi menteri untuk pos yang tidak terlalu penting sebelum menjabat Wali Kota Yerusalem pada 1993. Saat menjadi orang nomor satu di Yerusalem inilah Olmert menunjukkan sosok politisi kanan. Sama halnya Sharon yang dikenal sebagai arsitek kawasan pendudukan, saat menjabat Wali Kota Yerusalem (1993–2003) Olmert berjuang habis-habisan mencaplok tanah Palestina.

Pada masa itu Olmert adalah sosok Yahudi garis keras yang tak kenal kompromi. Ia percaya Israel berhak sepenuhnya atas kota Yerusalem. Olmert ngotot Israel harus menguasai Yerusalem Timur yang dicaplok dari Yordania dalam perang 1967. Bagi ayah empat anak ini, Yerusalem adalah ibu kota negara Yahudi yang tidak boleh dibagi kepada Palestina dan Israel berhak menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Karena itu, Olmert adalah mimpi buruk bagi penduduk Arab Palestina yang menghuni Yerusalem Timur. Dengan dukungan kuat Yahudi Ortodoks, Olmert memerintahkan buldoser bergerak menghancurkan rumah penduduk Palestina untuk meratakan jalan bagi pembangunan perumahan imigran Yahudi. ”Ia melanjutkan pendudukan tanah, penutupan lembaga Palestina, dan menghentikan pelayanan pada penduduk Palestina,” ujar Hanan Ashrawi, bekas anggota parlemen Palestina. Menurut Hanan, kondisi penduduk Palestina semakin buruk dalam semua hal.

Semasa masih menjabat wali kota, Olmert dan Sharon mulai menjalin persahabatan. Keduanya pejuang pemukiman di tanah jajahan Palestina. Sharon pun menarik Olmert ke dalam kabinet pada 2003 sebagai wakil perdana menteri. Pada masa itulah Olmert mengalami pencerahan radikal tentang tanah jajahan Palestina. Pada Desember 2003, ia melempar gagasan lewat artikel pada koran Yediot Aharonot bahwa Israel harus keluar dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. ”Penarikan mundur Israel dari Tepi Barat dan Gaza merupakan satu-satunya jalan bagi Israel agar tetap menjadi negara Yahudi dan demokratis,” tulis Olmert kala itu.

Gagasan kontroversial ini muncul dari kenyataan bahwa tingginya tingkat kelahiran rakyat Palestina mengakibatkan populasi Arab melesat melewati Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Maka, kata Olmert, agar negara Yahudi tetap bertahan, garis perbatasan baru harus dibuat dengan sebanyak mungkin populasi Yahudi. ”Dialah orang pertama dari kubu politik kami yang berbicara perlunya memperoleh kompromi dengan Palestina,” ujar Dan Meridor, bekas menteri dari Likud, kawan lama Olmert.

Saat itu banyak koleganya dari partai yang mewakili pemukim Yahudi menuduh Olmert menyerah pada tekanan terorisme Palestina. Tapi Sharon justru setuju. Ia mengabaikan jalan damai yang diprakarsai kuartet PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Rusia dan secara sepihak menyatakan Israel akan keluar dari sejumlah kantong permukiman Yahudi di Gaza dan Tepi Barat. Keputusan Sharon ini membelah Partai Likud, dan puncaknya: Benjamin Netanyahu hengkang dari kabinet. Sharon tak peduli. Ia justru menghadiahkan kursi yang ditinggalkan Netanyahu, Menteri Keuangan, kepada Olmert pada Agustus 2005.

Terobosan Olmert yang dieksekusi Sharon ternyata didukung sebagian besar rakyat Israel. Sejak itu Olmert dan Sharon secara ideologis bergerak kian ke tengah. Mereka pun semakin gerah dalam barisan partai garis keras Likud. Sharon dan Olmert cabut dari Likud. Sharon memproklamasikan partai tengah, Kadima. Takdir menentukan, Sharon hanya sebagai pembuka pintu bagi Olmert ketika dokter memvonisnya tak mampu menjalankan fungsi sebagai perdana menteri. Olmert maju menggantikannya. ”Olmert memang tangan kanan Sharon,” ujar Meridor.

Raihul Fadjri (BBC, Haaretz, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus