Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENYAMIN Netanyahu seperti sedang memilah kata-kata terwangi untuk sebuah obituari bagi Ariel Sharon. ”Saat itu kami tiga calon perdana menteri masa depan, meski tak pernah tahu ke mana takdir mengalir,” ujarnya membuka sepotong kenangan di tahun 1973. ”Kami mengobrol selama 10 menit. Waktu yang cukup untuk memperoleh kesan dari lelaki ini dan sumbangannya yang berharga bagi tanah Israel dengan segenap perang yang dilaluinya,” sambung Netanyahu, Ketua Partai Likud, di kantornya, Ahad dua pekan silam. Lelaki ketiga yang tak disebut dalam kisah itu adalah Ehud Barak, Perdana Menteri Israel periode 1999–2001.
Ketiga pria yang masing-masing menorehkan nama tersendiri dalam sejarah Yahudi modern itu bertemu di sebuah kendaraan lapis baja kecil (APC) ketika Sharon berencana menyeberangi Terusan Suez dengan APC. ”Tak diragukan lagi, dia adalah salah seorang jenderal besar bagi rakyat Israel di zaman modern.” kata Netanyahu mengenang perjumpaan pertamanya dengan Sharon.
Sharon belum pantas diberikan obituari, setidaknya sampai Jumat malam pekan silam, meski tubuhnya yang extra size—tinggi 170 sentimeter berat 142 kilogram—teronggok lunglai di Rumah Sakit Hadassah Ein Karem, Yerusalem. Tapi sekeranjang puja-puji dari Benyamin Netanyahu juga bukan tanpa maksud. Itu bagian dari strateginya melempangkan jalan untuk kembali menduduki kursi perdana menteri.
Rivalitas Sharon dan Netanyahu yang begitu ketat selama ini—kadang-kadang mereka menjadi seteru yang sesungguhnya—membuat bursa calon PM semakin panas. Sebelum anfal, Sharon pernah menyebut Netanyahu sebagai tokoh yang tak pantas memimpin Israel. ”Dalam keadaan tertekan ia mudah stres, panik, dan kehilangan kendali. Saya telah menyaksikan itu terjadi lebih dari sekali,” ujar Sharon yang pernah menjadi Menteri Infrastruktur Nasional dan Menteri Luar Negeri ketika Netanyahu berkuasa sebagai perdana menteri.
Sebaliknya, Netanyahu sebagai tokoh ultrakonservatif dan religius ortodoks dengan pedas mengkritik perubahan kebijakan politik Sharon yang malah memelopori penarikan mundur pemukim dan pasukan Israel dari Jalur Gaza untuk membuka kembali perdamaian dengan Palestina. ”Sharon telah melupakan cara Likud bertindak dan memilih jalan lain, jalan kaum kiri,” kecamnya pada Agustus 2005, ketika Sharon berkukuh menjalankan rencana yang tak disukai para rabi.
Nyatanya, pemerintah menjamin tak ada penundaan jadwal pemilu. ”Sesuai konstitusi, rakyat Israel akan melangkah ke tempat pemungutan suara pada 28 Maret. Kondisi Perdana Menteri Sharon hanya akan berpengaruh terhadap siapa yang memimpin Kadima, bukan pemilu,” ujar Mark Regev, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, kepada Tempo (lihat Dengan atau tanpa Sharon, Israel Maju Terus). Kadima kini memang menjadi kuda hitam yang diperhitungkan keempat kontestan. Jajak pendapat yang dilakukan sebelum dan sesudah Sharon mengalami koma justru menunjukkan peningkatan dukungan terhadap partai ini.
Jika sebelum Sharon jatuh sakit partainya ini diprediksi akan meraup 40 kursi dari 120 kursi di parlemen Israel (Knesset), maka survei yang dilakukan pada Kamis lalu menunjukkan, jika pemilu dilangsungkan sekarang, maka partai muda itu akan berpesta dengan menggamit 44 kursi. Likud yang kini dipimpin Benyamin Netanyahu diperkirakan hanya meraih 10-11 kursi, melorot dari jajak pendapat akhir tahun yang menghasilkan angka 17 kursi. Hasil ini jauh lebih rendah dari kemungkinan Partai Buruh—kini dipimpin motor serikat pekerja Amir Peretz—yang bisa menyelinap ke posisi kedua dengan mendapat lebih dari 20 kursi.
Yang membuat bursa internal Kadima semakin panas adalah tak adanya jaminan bahwa Ehud Olmert, wakil Sharon di Kadima yang juga bertindak sebagai pejabat perdana menteri, bisa melenggang aman sebagai ketua partai favorit itu. Posisinya masih bisa digoyang Shimon Peres, politikus kawakan yang meninggalkan markasnya di Partai Buruh untuk bergandengan tangan di Kadima.
Sebagai sebuah partai baru yang dirancang dengan dua mata pisau: untuk mengebiri Likud dan membuat kekuatan Buruh porak-poranda, Kadima adalah petromaks politik yang memikat laron-laron dengan tujuan jangka pendek. Sharon menjadikan Kadima sebagai sebuah wilayah eksil bagi politikus veteran yang jenuh atau tak mendapat tempat lagi di dua partai lawan. Namun, The Economist mencatat, Kadima memiliki tiga kelemahan utama yang bisa membuatnya pecah berkeping-keping jika Sharon tak berumur panjang.
Kelemahan pertama, belum adanya platform politik yang jelas, karena Kadima dirancang hanya sebagai kendaraan politik Sharon agar bisa memuluskan rencananya menarik mundur pasukan Israel dari Gaza. Kelemahan kedua adalah tak adanya pemimpin karismatis di Kadima begitu Sharon lunglai. Ehud Olmert yang selalu berjas perlente dengan cerutu Kuba di tangan dinilai kelas pekerja pendukung Likud dan Kadima sudah abai terhadap kebutuhan dasar mereka. Tak mengherankan jika di dalam Kadima sendiri ia ditandingkan dengan Tzipi Livni, Menteri Kehakiman yang populer berkat kejujurannya namun minim pengalaman politik. Kelemahan Kadima yang ketiga adalah berkumpulnya banyak sayap politik dari kiri dan kanan yang membonceng popularitas Sharon, seperti dilakukan Shimon Peres yang kini semakin pudar bintangnya.
Di mata Saeb Erekat, juru runding Palestina, siapa pun yang terpilih sebagai perdana menteri kelak harus menghidupkan kembali proses perdamaian dan kembali ke meja perundingan. ”Jargon-jargon sentimental, seperti Palestina membunuhi rakyat Israel, tak akan menciptakan keamanan dan perdamaian. Kami berharap Perdana Menteri Israel berikutnya harus segera mengakhiri pendudukan,” ujarnya melalui sambungan telepon internasional kepada Faisal Assegaf dari Tempo.
Harapan Erekat tampaknya belum akan terwujud dalam waktu dekat sebab, dalam keadaan koma pun, Sharon mulai meledakkan satu per satu bom waktu yang tak bisa diduga. Keberaniannya melakukan penarikan mundur sepihak yang dikecam kelompok ultranasionalis dan kaum agamawan ortodoks bergaung juga di Amerika Serikat. Evangelis radikal Pat Robertson, yang berencana membangun Pusat Warisan Kristen di Israel, menyebut penyakit Sharon sebagai hukuman dari Tuhan karena tanah-Nya dibagi.
Bagi Netanyahu, lebih mudah baginya untuk menghadapi Olmert dan Peres yang belakangan memperoleh julukan pecundang lantaran selalu kalah dalam berbagai pemilihan. Jika ketiga tokoh kawakan ini gagal merebut hati rakyat, boleh jadi muncul kandidat keempat sebagai kuda hitam, yaitu Amir Peretz, sang Ketua Partai Buruh. Dua bulan sebelum tutup tahun 2005, lelaki kelahiran Maroko ini seakan muncul tiba-tiba dan menjungkalkan Shimon Peres dengan selisih tipis dalam pemilihan ketua.
Akmal Nasery Basral, Kurie Suditomo
Jejak Arik di Politik
27 Februari 1928 Lahir di Kfar Malal, wilayah pertanian di utara Tel Aviv, sebagai Ariel Scheinerman. Kedua orang tuanya, Shmuel dan Vera Scheinerman, menetap di tempat itu setelah melarikan diri dari kekejaman Tentara Merah Rusia. Oleh keluarga dan teman-teman dekatnya, ia dipanggil Arik.
1942 Bergabung dengan milisi Haganah yang bertugas mempertahankan desa-desa Yahudi dari serangan masyarakat Arab.
1947–1949 Setelah PBB melakukan pemungutan suara untuk membelah Palestina menjadi dua wilayah: Arab dan Yahudi, Sharon bergabung dengan militer Israel.
1948 Ikut dalam pertempuran di Latrun untuk merebut Yerusalem dalam perang kemerdekaan. Ia luka parah, salah satu matanya hampir buta.
1953 Pada umur 25 tahun, ia membidani lahirnya Unit Komando 101, unit kontrateroris dalam militer Israel. Pada Oktober tahun yang sama, pasukannya menyerbu lebih dari 40 rumah di Qibya, desa di Tepi Barat wilayah Yordania—69 orang tewas. Dituduh melakukan pembantaian, Sharon berdalih rumah-rumah itu dikiranya kosong.
1956 Brigade 202 di bawah komando Sharon bergabung dengan Inggris dan Prancis di Semenanjung Sinai setelah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser memblokir kapal Israel memasuki Terusan Suez. Peristiwa ini memunculkan Perang Suez.
1967 Mayor Jenderal Ariel Sharon memimpin serangan 5 Juni terhadap Mesir yang memantik munculnya Perang Enam Hari. Serangan mendahului ini menuai hasil gemilang bagi Israel.
1973 Pensiun dari militer, ikut mendirikan Partai Likud dan masuk parlemen (Knesset).
1975–1976 Kepiawaian Sharon di bidang militer dan penguasaannya atas seluk-beluk hukum membuat Perdana Menteri Yitzhak Rabin tertarik menjadikannya penasihat.
1977–1981 Sharon menjadi Menteri Pertanian. Dia memperluas pendudukan Israel ke Tepi Barat.
1981–1983 Menjadi Menteri Pertahanan, melakukan evakuasi pendudukan Israel di Semenanjung Sinai dan dialihkan ke Mesir sebagai bagian perjanjian damai. Sharon memimpin serangan Israel ke Libanon. Pada periode ini terjadi pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila yang merenggut nyawa 3.500 pengungsi. Kendati pelaku pembantaian adalah Milisi Kristen Maronit Phalangis yang dipimpin Elia Hobeika, opini internasional yang berkembang menunjuk Sharon sebagai aktor intelektual tragedi ini.
1983 Bersitegang dengan majalah Time yang mempublikasikan artikel mengenai keterlibatan Sharon dalam konspirasi pascapembunuhan Presiden Libanon Bashir Gemayel. Tiga tahun kemudian, pengadilan Amerika memenangkan Sharon dalam kasus ini.
1984–1990 Ditunjuk PM Yitzhak Shamir sebagai Menteri Perdagangan dan Industri.
1990–1992 Masih di kabinet Shamir, kali ini sebagai Menteri Perumahan dan Konstruksi. Sharon mengakomodasi ribuan imigran Rusia yang baru datang ke dalam komunitas Yahudi.
1996–1998 Menjadi Menteri Infrastruktur Nasional di kabinet Benyamin Netanyahu sebelum dipindahtugaskan sebagai Menteri Luar Negeri (1998–1999).
1999 Menjadi pemimpin Likud.
2000 Kunjungan Sharon ke lokasi Masjid Al-Aqsa mengundang amarah umat Islam dan menggulirkan intifada kedua yang berujung pada pengunduran diri Perdana Menteri Ehud Barak.
2001 Terpilih sebagai Perdana Menteri Israel.
2003 Pemerintahan Sharon membangun dinding tinggi yang membatasi Tepi Barat. Di sisi lain, ia menerima proposal cetak biru perdamaian Israel-Palestina yang dibuat Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan PBB dengan 14 syarat.
14 Agustus–12 September 2005 Sharon menarik mundur penduduk dan tentara Israel dari Gaza dari empat lokasi Tepi Barat. Sebuah pembalikan sikap yang luar biasa dari seorang tokoh yang selalu berpikir bahwa ”bangsa Arab adalah menu utama sarapan paginya”.
Februari 2005 Dalam pertemuan di Sharm-el-Sheik, Sharon dan Presiden Palestina Mahmud Abbas menyatakan gencatan senjata—sebuah sikap politik yang menimbulkan gejolak di dalam Partai Likud yang dipimpin Sharon. Posisinya terancam.
21 November 2005 Sharon meninggalkan Likud dan membangun partai baru Kadima sebagai poros tengah, yang menyerap kekuatan kiri Buruh dan kelebihan kanan Likud. Ratusan politisi dari kedua partai bergabung ke dalam Kadima.
18 Desember 2005 Terkena stroke ringan. Setelah dua hari di rumah sakit, ia kembali bekerja.
4 Januari 2006 Stroke berat, koma, karier politiknya secara teknis dinyatakan selesai.
Para Pengincar Kursi Perdana Menteri
Benyamin Netanyahu, 57 tahun Takhta Likud kembali digenggamnya setelah Sharon pergi dan membentuk Kadima. Netanyahu penganut jalur politik garis keras yang menentang segala konsesi bagi bangsa Palestina. Pamornya bisa naik jika keributan terpantik lagi di wilayah sengketa.
Shimon Peres, 82 tahun Penerima Nobel Perdamaian 1994 ini (bersama Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat), meninggalkan Partai Buruh yang membesarkannya setelah ia dikalahkan dalam pemilihan ketua partai oleh Amir Peretz. Untuk merealisasi niatnya menjadi perdana menteri untuk ketiga kalinya, Peres bergabung dalam Kadima.
Ehud Olmert, 60 tahun Penjabat perdana menteri dan juga tokoh pendiri Kadima ini seorang loyalis Sharon yang sangat ingin menggantikan posisi Sharon kelak. Problemnya, ia tak terlalu populer di mata pemilih. Tapi jika dalam dua bulan sebelum pemilu 28 Maret ini Olmert mampu mempertontonkan sihir politiknya yang selama ini di bawah bayang-bayang Sharon, impiannya bisa menjadi kenyataan.
Amir Peretz, 53 tahun Ketua Partai Buruh kelahiran Maroko ini sukses mendongkel Shimon Peres dari kursinya pada 9 November 2005. Kini dengan dukungan Serikat Buruh Histadrut yang cukup berpengaruh, pemilik nama asli Armand Peretz ini membidik target yang lebih tinggi sebagai perdana menteri. Jam terbang politiknya yang kurang dibandingkan tiga pesaingnya membuat posisi Peretz tak begitu diperhitungkan pengamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo