SETERU diam-diam antara Tunisia dan Libya berakhir di meja
perundingan. "Mari kita kubur semua kecurigaan di masa lalu,"
kata Presiden Muammar Gaddafi. Perjanjian damai ditandatangani
menteri luar negeri kedua negara di Tunis pekan lalu, bersamaan
dengan kunjungan muhibah Gaddafi ke sana.
Awal 1974, Tunisia dan Libya pernah mencapai kata sepakat untuk
bergabung di bawah satu pemerintahan. Bahkan sudah disepakati
bahwa kepala negara gabungan adalah Habib Bourguiba dari
Tunisia. Tapi sebulan kemudian perjanjian itu dibatalkan
Bourguiba. Ia kabarnya khawatir akan perangkap yang dipasang
Gaddafi, yaitu eksistensi Tunisia akan dihilangkan Libya secara
bertahap.
Dugaan itu bukan tak berdasar. Tahun 1976, Tunisia berhasil
menangkap tiga agen Libya yang bertugas menculik, bahkan kalau
perlu membunuh Bourguiba. Sejak itu hubungan kedua negara makin
renggang.
Satu Rumpun
Dalam perjanjian yang diteken Menlu Ali Abdel-Salam Tureiki dari
Libya dan Beji Caid Essebsi dari Tunis masalah penyatuan
pemerintahan tidak lagi disinggung. Tapi kenyataannya tak
berbeda jauh. Yang disepakati adalah hubungan ekonomi dan
kebudayaan, pembukaan kembali perbatasan kedua negara,
penyeragaman kebijaksanaan politik luar negeri, serta
penghapusan visa masuk bagi rakyat Tunisia dan Libya yang ingin
saling berkunjung.
Tunisia dan Libya pada hakekatnya merupakan negara satu rumpun.
Penduduk utama mereka adalah etnik Arab dan Berber--jumlahnya di
kedua negara sekitar 90%. Tak heran, di tahun 1974, timbul
gagasan penyatuan pemerintahan. Perbedaannya ialah Tunisia
cenderung kapitalis, sedang Libya menganut paham sosialis--tentu
saja sejak Gaddafi mulai memegang kendali pemerintahan di tahun
1969.
Sekalipun bertetangga dekat, Tunisia dan Libya telah dibentuk
dan bertumbuh dengan latar belakang berlainan. Tunisia dulu
merupakan daerah jajahan Carthago, sedang Libya suatu koloni
Yunani. Di abad pertengahan, di masa Islam jaya, kedua negara
ini diperintah oleh Dinasti Ottoman dari Turki. Islam memang
menjadi agama negara di Tunisia dan Libya--dianut oleh 97%
penduduk.
Tunisia --mempunyai luas 164.000 kilometer persegi dan kini
dihuni oleh 6 juta penduduk--mendapat kemerdekaan dari Prancis
di tahun 1956 sebagai negara monarki. Satu tahun kemudian
Bourguiba, lahir 1903, memproklamasikan berdirinya Republik
Tunisia. Bourguiba, pemimpin Partai Neo Destour (PND), menjadi
presiden pertama ia berturut-turut memenangkan pemilihan umum di
tahun 1959, 1964, dan 1969. Tanpa saingan. Akhirnya, tahun 1974,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tunisia mengangkat pejuang bawah
tanah di masa penjajahan itu menjadi presiden seumur hidup.
Kini Bourguiba sudah uzur dan terserang penyakit cortison,
tangannya suka gemetaran, tapi rakyat Tunisia tampak masih
mempercayainya. Maklum, hanya empat di antara sepuluh warga
Tunisia yang bisa menulis dan membaca, dan negara itu menganut
sistem satu partai: PND.
Di bidang ekonomi, Tunisia terhitung miskin Lebih separuh
penduduknya menggantungkan nasib di sektor pertanian--zaitun,
anggur, gandum, serta sayur-mayur. Walau Tunisia juga memiliki
minyak, produksinya tidak sebesar Libya. Berbeda dengan Libya,
Tunisia bukan anggota Organization of Petroleum Exporting
Countries (OPEC).
Ketika Raja Mohammad Idris berkuasa di Libya, Bourguiba
menganggap enteng jirannya. Ia bahkan ingin menguasai Libya.
Idris memang kepala negara yang lemah -- fisik maupun tindakan
dalam pemerintahan. Sebaliknya, sekarang dengan Gaddafi.
Libya -- seluas 1,8 juta km2 dan berpenduduk 3 juta--memperoleh
kemerdekaan dari Inggris di tahun 1951 sebagai negara monarki.
Raja pertama adalah Idris -- yang pernah mengguncangkan penjajah
Italia maupun Inggris. Tapi saat naik tahta Idris sudah berusia
lanjut, lebih tua 13 tahun dari Bourguiba.
Pandangan terhadap Libya, dari negara jiran maupun dunia
internasional mulai berubah begitu Gaddafi menggulingkan Idris.
Lebih-lebih setelah Gaddafi, sejak 1969 sampai sekarang
berpangkat kolonel, dikenal banyak maunya. Ia pernah mencoba
membentuk pemerintah gabungan dengan Mesir, Tunisia, maupun
Suriah -- semuanya gagal.
Libya, di bawah pemerintahan Gaddafi, bertumbuh makmur. Sumur
minyak, ditemukan sejak tahun 1959, merupakan penghasil devisa
terbesar di sana. Hingga Gaddafi mampu menandatangani kontrak
pembelian senjata dengan Uni Soviet sebesar US$ 1 milyar. Juga
sanggup Libya membeli pesawat mutakhir dari Prancis maupun
perlengkapan perang lainnya dari Jerman Barat. Semua pembelian
tunai.
Gaddafi ingin menjadikan Libya sebagai negeri sosialis.
Pedomannya, Buku Hijau, berisi pokok-pokok tentang kenegaraan,
diterbitkan dua jilid. Gaddafi, lahir 1941, membantu kaum
oposisi di Timur Tengah--terutama di Mesir. Dengan latar
belakang ini banyak yang menyangsikan kerjasama bilateral
Tunisia dan Libya bakal langgeng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini