Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tanpa visa saling berkunjung

Libya dan tunisia rujuk kembali setelah lama bermusuhan. perjanjian damai ditandatangani oleh menteri luar negeri kedua negara tersebut. awal tahun 1974 pernah mencapai sepakat bergabung. (ln)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Tanpa visa saling berkunjung
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETERU diam-diam antara Tunisia dan Libya berakhir di meja perundingan. "Mari kita kubur semua kecurigaan di masa lalu," kata Presiden Muammar Gaddafi. Perjanjian damai ditandatangani menteri luar negeri kedua negara di Tunis pekan lalu, bersamaan dengan kunjungan muhibah Gaddafi ke sana. Awal 1974, Tunisia dan Libya pernah mencapai kata sepakat untuk bergabung di bawah satu pemerintahan. Bahkan sudah disepakati bahwa kepala negara gabungan adalah Habib Bourguiba dari Tunisia. Tapi sebulan kemudian perjanjian itu dibatalkan Bourguiba. Ia kabarnya khawatir akan perangkap yang dipasang Gaddafi, yaitu eksistensi Tunisia akan dihilangkan Libya secara bertahap. Dugaan itu bukan tak berdasar. Tahun 1976, Tunisia berhasil menangkap tiga agen Libya yang bertugas menculik, bahkan kalau perlu membunuh Bourguiba. Sejak itu hubungan kedua negara makin renggang. Satu Rumpun Dalam perjanjian yang diteken Menlu Ali Abdel-Salam Tureiki dari Libya dan Beji Caid Essebsi dari Tunis masalah penyatuan pemerintahan tidak lagi disinggung. Tapi kenyataannya tak berbeda jauh. Yang disepakati adalah hubungan ekonomi dan kebudayaan, pembukaan kembali perbatasan kedua negara, penyeragaman kebijaksanaan politik luar negeri, serta penghapusan visa masuk bagi rakyat Tunisia dan Libya yang ingin saling berkunjung. Tunisia dan Libya pada hakekatnya merupakan negara satu rumpun. Penduduk utama mereka adalah etnik Arab dan Berber--jumlahnya di kedua negara sekitar 90%. Tak heran, di tahun 1974, timbul gagasan penyatuan pemerintahan. Perbedaannya ialah Tunisia cenderung kapitalis, sedang Libya menganut paham sosialis--tentu saja sejak Gaddafi mulai memegang kendali pemerintahan di tahun 1969. Sekalipun bertetangga dekat, Tunisia dan Libya telah dibentuk dan bertumbuh dengan latar belakang berlainan. Tunisia dulu merupakan daerah jajahan Carthago, sedang Libya suatu koloni Yunani. Di abad pertengahan, di masa Islam jaya, kedua negara ini diperintah oleh Dinasti Ottoman dari Turki. Islam memang menjadi agama negara di Tunisia dan Libya--dianut oleh 97% penduduk. Tunisia --mempunyai luas 164.000 kilometer persegi dan kini dihuni oleh 6 juta penduduk--mendapat kemerdekaan dari Prancis di tahun 1956 sebagai negara monarki. Satu tahun kemudian Bourguiba, lahir 1903, memproklamasikan berdirinya Republik Tunisia. Bourguiba, pemimpin Partai Neo Destour (PND), menjadi presiden pertama ia berturut-turut memenangkan pemilihan umum di tahun 1959, 1964, dan 1969. Tanpa saingan. Akhirnya, tahun 1974, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tunisia mengangkat pejuang bawah tanah di masa penjajahan itu menjadi presiden seumur hidup. Kini Bourguiba sudah uzur dan terserang penyakit cortison, tangannya suka gemetaran, tapi rakyat Tunisia tampak masih mempercayainya. Maklum, hanya empat di antara sepuluh warga Tunisia yang bisa menulis dan membaca, dan negara itu menganut sistem satu partai: PND. Di bidang ekonomi, Tunisia terhitung miskin Lebih separuh penduduknya menggantungkan nasib di sektor pertanian--zaitun, anggur, gandum, serta sayur-mayur. Walau Tunisia juga memiliki minyak, produksinya tidak sebesar Libya. Berbeda dengan Libya, Tunisia bukan anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Ketika Raja Mohammad Idris berkuasa di Libya, Bourguiba menganggap enteng jirannya. Ia bahkan ingin menguasai Libya. Idris memang kepala negara yang lemah -- fisik maupun tindakan dalam pemerintahan. Sebaliknya, sekarang dengan Gaddafi. Libya -- seluas 1,8 juta km2 dan berpenduduk 3 juta--memperoleh kemerdekaan dari Inggris di tahun 1951 sebagai negara monarki. Raja pertama adalah Idris -- yang pernah mengguncangkan penjajah Italia maupun Inggris. Tapi saat naik tahta Idris sudah berusia lanjut, lebih tua 13 tahun dari Bourguiba. Pandangan terhadap Libya, dari negara jiran maupun dunia internasional mulai berubah begitu Gaddafi menggulingkan Idris. Lebih-lebih setelah Gaddafi, sejak 1969 sampai sekarang berpangkat kolonel, dikenal banyak maunya. Ia pernah mencoba membentuk pemerintah gabungan dengan Mesir, Tunisia, maupun Suriah -- semuanya gagal. Libya, di bawah pemerintahan Gaddafi, bertumbuh makmur. Sumur minyak, ditemukan sejak tahun 1959, merupakan penghasil devisa terbesar di sana. Hingga Gaddafi mampu menandatangani kontrak pembelian senjata dengan Uni Soviet sebesar US$ 1 milyar. Juga sanggup Libya membeli pesawat mutakhir dari Prancis maupun perlengkapan perang lainnya dari Jerman Barat. Semua pembelian tunai. Gaddafi ingin menjadikan Libya sebagai negeri sosialis. Pedomannya, Buku Hijau, berisi pokok-pokok tentang kenegaraan, diterbitkan dua jilid. Gaddafi, lahir 1941, membantu kaum oposisi di Timur Tengah--terutama di Mesir. Dengan latar belakang ini banyak yang menyangsikan kerjasama bilateral Tunisia dan Libya bakal langgeng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus