Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Tarif Impor Trump Bikin Geger, UNIDO Beri Solusi Ini

Penguatan kapabilitas industri menjadi salah satu cara memastikan ekonomi nasional tetap kuat, ini solusi UNIDO untuk hadapi dampak tarif impor Trump

11 April 2025 | 09.00 WIB

Tarif Impor Trump Bikin Geger, UNIDO Beri Solusi Ini
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Penguatan kapabilitas industri menjadi salah satu cara memastikan ekonomi nasional tetap kuat dalam menghadapi ketidakpastian dan dinamika global, demikian menurut Organisasi Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Jika kita memperhatikan kapabilitas produksi lokal dan terus meningkatkan penambahan nilai secara lokal, industri negara akan senantiasa kuat baik dalam jangka menengah hingga jangka panjang,” kata Officer-in-Charge Divisi Riset dan Statistik Kebijakan Industri UNIDO, Nobuya Haraguchi di Jakarta, Kamis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal tersebut disampaikan Nobuya untuk menjawab pertanyaan terkait dampak tarif impor oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap industri global usai memaparkan Laporan Pengembangan Industri (IDR) 2024 yang disusun oleh UNIDO.

Menurut Nobuya, penambahan nilai menjadi penting dalam penguatan kapabilitas produksi karena tarif dapat berubah-ubah dalam beberapa tahun atau bahkan beberapa hari.

Haraguchi menambahkan bahwa kebijakan industri di era modern harus dirancang dengan empat prinsip utama untuk menjawab tantangan global seperti perubahan iklim, digitalisasi, dan ketimpangan pembangunan. 

Ia menyebut Indonesia memiliki keuntungan kompetitif yang sangat besar dalam bentuk sumber daya dan tenaga kerja produktif untuk menguatkan industri nasional.

“Indonesia punya sumber daya dan dapat memanfaatkan sumber daya tersebut untuk mengembangkan industri baru untuk masa depan, baik industri baterai, kendaraan, maupun digital,” kata Nobuya.

Pejabat UNIDO tersebut juga mengingatkan supaya pemerintah Indonesia mengoptimalkan sumber dayanya yang terbatas melalui alokasi yang efektif dan memperluas kerja sama dengan pihak swasta.

Selain menopang ekonomi negara menghadapi ketidakpastian global, Nobuya juga menyatakan bahwa kebijakan industri modern memainkan peran penting dalam memacu terpenuhinya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 di tingkat nasional.

Ia menjelaskan bahwa seluruh kebijakan industri harus mempertimbangkan 17 tujuan SDGs secara holistik, bukan hanya fokus pada satu aspek. 

"Setiap kebijakan bisa memiliki efek positif pada beberapa tujuan SDGs, tetapi mungkin juga berdampak negatif pada tujuan lain. Misalnya, program dekarbonisasi harus dirancang agar tidak mengorbankan pertumbuhan ekonomi atau lapangan kerja," ujarnya.

Pendekatan berbasis misi (mission-oriented approach) disebutkannya sebagai kunci untuk memastikan kebijakan tidak hanya ambisius, tetapi juga terukur.  

Prinsip kedua adalah antisipasi tren masa depan. Haraguchi menyoroti empat megatren yang harus direspons melalui kebijakan industri: dekarbonisasi, transformasi digital, perubahan demografi, dan penyeimbangan kembali rantai produksi global. 

"Negara yang mengabaikan tren ini berisiko tertinggal. Contohnya, kebijakan industri yang tidak memprioritaskan transisi energi bersih akan kesulitan bersaing di pasar global yang semakin menuntut keberlanjutan," katanya.  

Kolaborasi multisektor menjadi prinsip ketiga yang ia tekankan. Haraguchi menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam merumuskan maupun mengimplementasikan kebijakan industri. 

"Keterlibatan sektor swasta, akademisi, komunitas, dan lembaga riset sangat penting sejak tahap perencanaan hingga pemantauan. Tanpa sinergi ini, kebijakan hanya akan menjadi dokumen tanpa eksekusi nyata," paparnya.  

Prinsip terakhir adalah kolaborasi regional, terutama di kawasan Asia Tenggara. Haraguchi mencontohkan proyek pengembangan teknologi hijau atau infrastruktur digital yang membutuhkan sumber daya besar. 

"Indonesia bisa memimpin kolaborasi dengan negara ASEAN lain. Misalnya, menggabungkan kekuatan pendanaan, keahlian riset, dan pasar regional untuk menciptakan solusi industri yang berdampak luas," ujarnya.  

Dalam konteks Indonesia, Haraguchi menyebut program hilirisasi mineral dan pengembangan industri hijau sebagai langkah positif. Namun, ia memperingatkan perlunya integrasi dengan prinsip ekonomi sirkular. 

"Pemanfaatan nikel untuk baterai listrik harus dibarengi dengan strategi daur ulang agar tidak bertentangan dengan target pengurangan limbah dalam SDGs," katanya.  

Agenda ini digelar menjelang peluncuran peta jalan industri hijau Indonesia yang dijadwalkan pada akhir 2025. Pemerintah disebut sedang mengadopsi rekomendasi UNIDO, termasuk memperkuat kerja sama dengan negara-negara ASEAN dalam riset teknologi rendah karbon.

Sebagai ekonomi terbesar di kawasan, Indonesia diharapkan menjadi katalisator kebijakan industri yang tidak hanya mendorong pertumbuhan, tetapi juga menjawab tantangan iklim dan kesenjangan global.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus