Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANGGUNG itu menjelma ruang atau alam yang ganjil. Langit-langit, dinding, dan lantai berwarna putih. Mistis dan sunyi. Sebidang cermin besar memantulkan bayangan panggung dan juga deretan kursi penonton. Lampu kemudian dipadamkan.
Ketika gelap berubah jadi temaram tampak seorang perempuan menari. Gerakannya lamban, berputar. Suara rebab menyayat, mengiringi tariannya. Suasana mistis makin terasa. Cermin besar itu juga memantulkan tubuh dan geraknya, sehingga kita seperti menyaksikan dua perempuan sedang menari di sini: serempak dan simetris.
Adegan tadi membuka lakon Surti dan Tiga Sawunggaling, monolog karya Goenawan Mohamad yang dipentaskan di Teater Salihara, 12-13 November lalu. Ine Febriyanti memerankan Surti, perempuan yang menari tadi.
Setelah musik berhenti, cericit burung terdengar dan Surti mulai bercerita tentang dirinya. Dia menghampiri seperangkat alat membatik di kiri panggung dan berkata bahwa di mori itu dia telah melukis tiga ekor burung. Tiga sawunggaling. Surti pernah mendengar neneknya bertutur tentang sawunggaling. Mereka datang dari sebuah benua yang terbelah.
"Dalam belahan itu ada lahar yang tiap pagi mengeras. Lahar jadi cermin. Burung sawunggaling adalah makhluk cermin. Tiap kali kita memandangnya, wajah, gerak, dan kata-kata kita dipantulkannya kembali," dia mengenang. Artinya, apa yang dikatakan dan disaksikan ketiga burung itu bisa jadi pantulan dari benak Surti sendiri, sang pencipta.
Dan bentangan cermin di dinding panggung itu pun relevan dengan teks. Tiap pukul tiga pagi, saat Surti lelap, ketiga burung itu terbang mengelana dan kembali hinggap dalam kain morinya sebelum matahari terbit. Dia memberi mereka nama: Anjani, Baira, dan Cawir.
Burung-burung tersebut jadi sahabat setianya, mata-mata, dan penolong. Dari Cawir, Surti mengetahui sejumlah rahasia Jen, suaminya yang kelak mati ditembak Belanda. Ternyata Jen memiliki kekasih: perempuan yang lebih muda daripada Surti, sesama aktivis pergerakan. Cawir melihat perempuan itu "meletakkan kepalanya ke lutut Jen dan Jen mengelus-elus rambutnya".
Inilah satu-satunya peristiwa asmara paling nyata di antara mereka, berdasarkan apa yang disaksikan Cawir. Namun Surti meragukan cerita Cawir lebih karena ingin memelihara ingatan baik tentang Jen. Dia memang sempat membaui harum yang ganjil di tubuh Jen ketika suaminya itu pulang ke rumah, tapi memilih tidak bertanya. Surti sudah merasa lega ketika Jen bercerita tentang pengalamannya tidur di makam wali malam itu. Mungkin harum tersebut berasal dari bunga atau minyak wangi para peziarah. Dan Baira, burung yang lain, kelak menyelamatkan Surti dari tabrakan tiga burung mandar di kain mori, yang di alam nyata membuat perempuan ini terhindar dari pembunuhan oleh Belanda.
Surti juga tidak terlibat dalam aktivitas politik Jen. Dia stereotipe ibu rumah tangga, yang semata-mata mengurus rumah, anak, dan membatik. Dulu kehidupan rumah tangga mereka pernah berjalan baik. Tapi, setelah Jepang kalah dan Belanda datang lagi, Jen jarang pulang. Dia ternyata jadi komandan gerilya melawan penjajah.
Dalam monolog ini, dunia Surti merupakan ulang-alik antara dunia nyata dan dunia rekaan. Burung-burung hadir dalam khayalannya. Jen yang sesungguhnya sudah mati dan beberapa tokoh lain hadir dalam kenangannya belaka. Mereka semua hanya hidup dalam imajinasi Surti. Dunia nyata Surti hanyalah dirinya yang tengah mengenang masa lalu sambil duduk di dipan atau mondar-mandir melihat kain batik. Gelisah dan sedih.
Hal yang sangat menarik ketika apa yang dikenang Surti berubah jadi adegan dan tokoh-tokoh di atas panggung dengan berbagai laku serta tutur mereka. Tarian Ine yang menampilkan tingkah burung-burung yang sedang terbang, mengintai, sembunyi, dan hinggap merupakan bagian yang menyegarkan, memukau, dan indah dilihat. Hartati, penata tari untuk lakon ini, telah mencipta gerak-gerik burung dengan tepat.
Tapi memainkan begitu banyak tokoh, yang terdiri atas manusia dan hewan pula, memerlukan kemampuan yang luar biasa. Ine memainkan 10 karakter sekaligus. Dia berpindah-pindah peran dari Surti sebagai narator ke Cawir atau Jen atau kekasih Jen atau lelaki bertopeng atau yang lain. Namun perpindahan ini tidak selalu mulus, baik emosi maupun teknik. Kadang kala nada bicara Surti dan burung-burung tidak bisa dibedakan. Kadang kala nada bicara Surti sendiri kehilangan logat Jawanya, yang nyata di awal cerita.
Sitok Srengenge, sang sutradara, menyadari bahwa naskah ini bukan naskah yang lazim dan mudah, "Dalam naskah drama biasa, semua tokoh hadir di panggung dan membangun peristiwa. Semua tokoh sepenuhnya imajinasi Surti." Dia memilih Ine karena dianggapnya Ine memiliki kemampuan peran di atas rata-rata pemain muda yang ada. Selain itu, Ine mempunyai kesungguhan dan komitmen yang tinggi terhadap lakon ini. Setelah tujuh tahun tidak tampil di dunia teater, apa yang ditampilkan Ine malam itu lebih dari sekadar "kembali" yang biasa.
Di atas panggung tiga kain putih tergantung sejajar. Tiga kain melambangkan tiga sawunggaling. Ketika Surti menyebut Anjani, kain diterpa cahaya merah. Baira bersinar biru, sedangkan Cawir ungu. Tata artistik itu menghasilkan visual panggung yang menawan. Latar belakang panggung berupa cermin dan lantai warna putih itu juga sebuah penanda. "Tentang imajinasi yang tidak terbatas dan tidak berwarna," ujar Sitok.
Di akhir cerita, Surti meneruskan membatik, melengkapi lukisan burung-burungnya. Dia tidak hanya melanjutkan imajinasi, tapi kehidupan yang sebenarnya. Di panggung, di akhir cerita itu, penonton melihat seorang laki-laki, yang mungkin simbolisasi roh Jen, berjalan melintas. Dan tiba-tiba keranda, yang sedari awal dipancang di panggung, bergerak mengikutinya: masa lalu yang benar-benar pergi.
Linda Christanty, penulis cerpen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo