KUDETA yang dilakukan Mayor Jenderal Mohamad Bohari pada 31 Desember 1983 ternyata tidak mendapat protes mayoritas rakyat Nigeria yang memilih Shehu Shagari sebagai presiden untuk kedua kalinya, empat bulan lalu. "Rakyat menyetujui kudeta," ujar penguasa baru, lewat Radio Lagos, pekan lalu. Berbeda dengan empat kudeta terdahulu, gebrakan Bohari hanya minta satu nyawa. Korban adalah Brigadir Jenderal Ibrahim Bako. Perwira tinggi pendukung Bohari itu terbunuh sewaktu terjadi kontak senjata dengan pengawal Presiden Shagari. "Shagari sendiri selamat. Kini, ia berada dalam penjagaan militer," kata Bohari dalam jumpa pers dengan 100 wartawan di Lagos. Pembantu utama Shagari yang sempat lolos dan sergapan tentara adalah Dr. Umaru Dikko dan Adisa Akinloye. Mereka, sampai awal pekan ini, masih dicari-cari. Kedua tokoh itu, sebelumnya, masing-masing menteri perhubungan dan ketua Komite Pemilihan Umum 1983, serta ketua Partai Nasional yang berkuasa di aman pemerintahan sipil Bohari belum menjelaskan tindakan yang akan dilakukannya terhadap para bekas pejabat pemerintahan Shagari. "Mahkamah militer yakin, mereka tak bersalah sebelum terbukti," katanya. Tapi, menurut Radio Lagos, para pejabat itu akan segera diadili dengan tuduhan "tidak becus dan korupsi". Sejak berada di tangan pemerintah sipil mulai 1979, Nigeria telah berkembang sebagai model negara demokrasi terbaik di Afrika. Liberia, yang dikuasai militer sejak 1980, bahkan telah memonitor secara dekat perkembangan demokrasi di Nigeria untuk persiapan penyerahan tampuk pemerintahan kepada sipil tahun 1985 nanti. Dengan kudeta Bohari, para analis Afrika melihat bahwa tipis kemungkinan militer melakukan kudeta lagi di Nigeria, seperti yang sudah-sudah. Hal itu mengingat bahwa Bohari berasal dari suku terbesar dan berpengaruh di wilayah Nigeria Utara. Sebelumnya, masalah sukuisme ini gampang sekali menyulut sengketa di Nigeria yang terdiri dari 250 puak itu. Kudeta terhadap Shagari, menurut pengamat, bukan lantaran pertentangan suku. Melainkan karena Shagari dalam pemilu Agustus lalu, menurut Bohari, telah melakukan kombinasi kekejaman dan penyuapan politik untuk memenangkan diri. Dan, "demokrasi yang berlaku di Nigeria selama empat tahun terakhir merupakan batu yamg memberatkan pengikat leher negara," tutur Bohari. "Pejabat sipil dan pemimpin politik telah menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan." Pemerintahan sipil mulai mengurus Nigeria, yang berpenduduk 90 juta jiwa, ketika boom minyak masih berlangsung. Tak heran bila mereka royal menganggarkan proyek-proyek raksasa, di antaranya pembangunan ibu kota baru, Abuja. Selama empat tahun terakhir, menurut Bohari, banyak tokoh politik hidup bergaya squander mania (senang foya-foya), sementara gaji ribuan karyawan ada yang tertungggak sampai 12 bulan. Akibat kebobrokan pejabat, dan jatuhnya harga mimyak, Nigeria sampai kesulitan menyediakan kebutuhan pokok rakyat. Antre pangan merupakan pemandangan pada hari-hari belakangan ini. "Keadaan ekonomi yang porak poranda hasil kepemimpinan salah urus ini hendak disembunyikan Shagari dengan alasan menyusutnya pendapatan minyak," tutur Radio Lagos. Kini Nigeria, menurut Bngadir Jenderal Saleh Abacha, telah berubah jadi negara pengemis dan tukang berutang. Kml negara penghasil minyak itu berutang US$ 14 milyar, dan tak bisa membayarnya walau tempo pengembalian sudah jatuh. Dana Moneter Internasional (IMF) hanya bersedia meminjamkan bantuan keuangan jika Nigeria melakukan devaluasi mata uangnya. Pemerintah Shagari sebelumnya tak bersedia melakukan devaluasi, karena tindakan itu akan menyundut inflasi. Namun, Bohari, yang berniat meminjam US$ 2 milyar dari IMF, tampak bersedia menerima ketentuan itu, laju inflasi akan ditekannya dengan tangan besi. Pada hari-hari pertama pemerintahannya, Bohari telah memberikan prioritas penurunan harga-harga, tapi mendapat perlawanan. Dalam aksi "penurunan harga" pekan lalu, tertembak seorang tentara di sebuah pasar di Kota Jos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini