PANTAI baratnya dibas?hi oleh Laut Cina Selatan dan pantai
timurnya oleh Laut Sulu dan Sulawesi. Inggris menamakan negeri
itu North Borneo, yang kemudian menjadi Sabah.
Tak banyak penduduknya--hanya stu juta lebih. Tapi dengan
kawasan seluas 29.388 mil persegi, Sabah merupakan negara-bagian
ke-2 besarnya di Malaysia. Dan Sabah sudah terkaya di Malaysia
dengan hasil ekspor kayu dan minyak buminya.
"Sabah Maju Jaya," demikian motto benderanya yang melambangkan
hasrat penduduknya yang terdiri dari berbagai suku. Dalam
benderanya terdapat warna merah (melambangkan semangat), putih
(kesucian), emas (kekayaan negeri), biru (keamanan dan
kebahagiaan), dan hijau (sumber kekayaan hasil hutan). Dan
Gunung Kinibalu jadi simbol persatuan semua suku di Sabah.
Tapi betulkah sudah Sabah selayaknya berada dalam Malay ia?
Belum tentu, jawab Filipina, yang sampai pekan lalu masih enggan
membatalkan tuntutannya atas wilayah itu.
Syahdan, sebelum Inggris datang, Sabah berada di bawah kekuasaan
Sultan Sulu (abad ke-17) yang berpusat di Mindanao, Filipina
Selatan. Hubungan sejarah Sabah dengan Filipina Selatan memang
akrab. Karena dilanda kekacauan di dalam negeri, sedang perompak
di laut merajalela, Sultan Sulu meminta bantuan Inggris
memulihkan ketertiban. Sebagai imbalan, Sultan Sulu menyerahkan
sebagian wilayahnya pada Inggris.
Tapi sebagian kawasan di bagian utara Kalimantan itu dulu pernah
juga diperintah oleh Brunei. Maka tahun 1877 dan 1878, Sultan
Brunei dan Sultan Sulu menyerahkan bagian utara dan timur Sabah
kepada Baron Overbeck. Padagang Inggris itu kemudian menyerahkan
pula semua wilayah itu kepada rekan bisnisnya, Alfred Dent dan
adiknya.
Dent bersaudara itu membentuk North Borneo Company (1882).
Sedang negeri itu mendapat perlindungan Kerajaan Inggris sejak
1888. Akhirnya Kerajaan Inggris, sesudah Perang Dunia 11, yaitu
tahun 1946, membeli North Borneo dari perusahaan (company) itu.
Dan pemerintahannya dipimpin oleh gubernur dengan bantuan
sekelompok penasihat.
Kemudian secara berangsur Inggris melepaskan jajahannya. Datang
kemerdekaan bagi Malaya, Singapura, Sara-wak dan North
Borneo--semua itu sepakat bergabung. Maka Malaysia pun terbentuk
(Agustus 1963), tentu saja, dengan restu Inggris. Hanya
Singapura kemudian melepaskan diri dari Malaysia.
Tidak pernah diragukan, terutama bagi Kualalumpur dan London,
bahwa penduduk North Borneo (kini Sabah) memilih bergabung
dengan Malaysia waktu itu. Setidaknya, satu komisi
Inggris-Malaya pimpinan Lord Cobbold, bekas gubernur Bank of
England, punya kesan begitu. Komisi itu sebelumnya pergi
meneliti pendapat di North Borneo dan Sarawak bahkan juga
Brunei. Sultan Brunei ternyata memilih berada di luar gagasan
Malaysia.
Mungkin ada yang masih meragukan hasil penelitian komisi itu.
Apakah betul rakyat North Borneo memilih masuk Malaysia? Dalam
hal ini ada perkembangan tambahan. Satu pemilihan untuk Dewan
Negeri berlangsung dalam Juni dan Juli 1963--menjelang lahirnya
Malaysia. Semua 18 kursi direbut oleh Partai Perikatan, partai
yang pro-Malaysia. Dan negeri itu pun kembali bernama Sabah.
Tapi pemilihan umum dalam arti kata sebenarnya baru terjadi
tahun 1967 di Sabah. Untuk itu telah hadir para peninjau dari
lima negara Asia-Sri Lanka, India, Indonesia, Thailand dan
Jepang. Walaupun diundang, utusan Filipina tak mau datang. Hasil
pemilu 1967 itu tetap menunjukkan bahwa rakyat Sabah ingin
berada dalam Malaysia.
TOH Filipina tak mau mengù akui kenyataan itu. Hubungannya dengan
Malaysia jadi tegang, meskipun sudah samasama anggota ASEAN.
Bahkan Filipina melatih pasukan komando di Corregidor (lihat
IsiHatiBekasPemberontak) untuk menyusup ke Sabah. Rencana
gerakan subversi Filipina itu yang tercium oleh Malaysia sejak
1968 diketahui belum sempat terlaksana.
Tun Datu Mustapha bin Datu Harun, yang pertama memimpin
pemerintahan Sabah, rupanya tak tinggal diam. Dia membiarkan
Sabah jadi suatu pangkalan bagi gerakan Moro yang memberontak di
Mindanao, Filipina Selatan. Rute pelayaran Sabah-Mindanao jadi
alur penyelundupan senjata. Ternyata Sabah punya cara tersendiri
untuk membalas tuntutan Filipina.
Bila berlangsung subversi kontra subversi, diduga Filipina akan
lebih terpukul daripada Malaysia dengan adanya keresahan
penduduk Muslim di daerah Selatan. Mungkin menyadari hal ini,
Presiden Filipina mulai cenderung menahan diri mengenai Sabah.
Tentu persatuan ASEAN juga jadi pertimbangan utamanya.
Tahun 1977, dalam KTT ASEAN di Kualalumpur, Presiden Marcos
berjanji menyelesaikan soal tuntutan atas Sabah di kalangannya
sendiri di Filipina. Keterangannya itu suatu kejutan, melegakan
Malaysia terutama sekali. Sementara itu pemerintah di Sabah
berganti. Tak kelihatan lagi orang Moro bersenjata di kamp
pengungsi di Sabah. Berbeda sekali halnya dengan zaman Tun
Mustapha.
Tapi di Manila, entah kenapa akhir-akhir ini Sabah teringat lagi
dengan Marcos. Rasyid bertemu dengan Moamar Khadafy di Tripoli
(Mei 1979), dan pemimpin Libya itu memberinya uang US$ 1,5 juta
untuk pembangunan rumah sakit itu. "Khadafy percaya kepada saya
tapi tidak kepada Marcos," kata Zampaco.
Februari nanti, RS Maahad Marawy yang punya peralatan paling
modern di seluruh Mindanao itu mulai beroperasi. "Seluruh orang
muslim gratis berobat di rumah sakit ini. Begitu permintaan
Khadafy," kata Zainpaco. Khadafy konon berjanji menyantuni
rumah sakit itu US$ 500.000 setahun.
Maka ketika meletakkan batu pertamanya, Moestafa Dreiza, Duta
Besar Libya di Manila berkata, "Saya diutus ke sini bukan untuk
memberikan meriam dan dinamit. Tapi rumah sakit." Penduduk pun
meneriakkan, "Allahu akbar . . . Allahuakbar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini