Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Teringat taman sultan sulu

Filipina masih belum melepaskan tuntutan atas wilayah sabah, yang dulu termasuk wilayah kerajaan sulu. sedangkan malaysia tak akan melepaskan wilayah tersebut dan rakyat sabah ingin berada dalam malaysia. (ln)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANTAI baratnya dibas?hi oleh Laut Cina Selatan dan pantai timurnya oleh Laut Sulu dan Sulawesi. Inggris menamakan negeri itu North Borneo, yang kemudian menjadi Sabah. Tak banyak penduduknya--hanya stu juta lebih. Tapi dengan kawasan seluas 29.388 mil persegi, Sabah merupakan negara-bagian ke-2 besarnya di Malaysia. Dan Sabah sudah terkaya di Malaysia dengan hasil ekspor kayu dan minyak buminya. "Sabah Maju Jaya," demikian motto benderanya yang melambangkan hasrat penduduknya yang terdiri dari berbagai suku. Dalam benderanya terdapat warna merah (melambangkan semangat), putih (kesucian), emas (kekayaan negeri), biru (keamanan dan kebahagiaan), dan hijau (sumber kekayaan hasil hutan). Dan Gunung Kinibalu jadi simbol persatuan semua suku di Sabah. Tapi betulkah sudah Sabah selayaknya berada dalam Malay ia? Belum tentu, jawab Filipina, yang sampai pekan lalu masih enggan membatalkan tuntutannya atas wilayah itu. Syahdan, sebelum Inggris datang, Sabah berada di bawah kekuasaan Sultan Sulu (abad ke-17) yang berpusat di Mindanao, Filipina Selatan. Hubungan sejarah Sabah dengan Filipina Selatan memang akrab. Karena dilanda kekacauan di dalam negeri, sedang perompak di laut merajalela, Sultan Sulu meminta bantuan Inggris memulihkan ketertiban. Sebagai imbalan, Sultan Sulu menyerahkan sebagian wilayahnya pada Inggris. Tapi sebagian kawasan di bagian utara Kalimantan itu dulu pernah juga diperintah oleh Brunei. Maka tahun 1877 dan 1878, Sultan Brunei dan Sultan Sulu menyerahkan bagian utara dan timur Sabah kepada Baron Overbeck. Padagang Inggris itu kemudian menyerahkan pula semua wilayah itu kepada rekan bisnisnya, Alfred Dent dan adiknya. Dent bersaudara itu membentuk North Borneo Company (1882). Sedang negeri itu mendapat perlindungan Kerajaan Inggris sejak 1888. Akhirnya Kerajaan Inggris, sesudah Perang Dunia 11, yaitu tahun 1946, membeli North Borneo dari perusahaan (company) itu. Dan pemerintahannya dipimpin oleh gubernur dengan bantuan sekelompok penasihat. Kemudian secara berangsur Inggris melepaskan jajahannya. Datang kemerdekaan bagi Malaya, Singapura, Sara-wak dan North Borneo--semua itu sepakat bergabung. Maka Malaysia pun terbentuk (Agustus 1963), tentu saja, dengan restu Inggris. Hanya Singapura kemudian melepaskan diri dari Malaysia. Tidak pernah diragukan, terutama bagi Kualalumpur dan London, bahwa penduduk North Borneo (kini Sabah) memilih bergabung dengan Malaysia waktu itu. Setidaknya, satu komisi Inggris-Malaya pimpinan Lord Cobbold, bekas gubernur Bank of England, punya kesan begitu. Komisi itu sebelumnya pergi meneliti pendapat di North Borneo dan Sarawak bahkan juga Brunei. Sultan Brunei ternyata memilih berada di luar gagasan Malaysia. Mungkin ada yang masih meragukan hasil penelitian komisi itu. Apakah betul rakyat North Borneo memilih masuk Malaysia? Dalam hal ini ada perkembangan tambahan. Satu pemilihan untuk Dewan Negeri berlangsung dalam Juni dan Juli 1963--menjelang lahirnya Malaysia. Semua 18 kursi direbut oleh Partai Perikatan, partai yang pro-Malaysia. Dan negeri itu pun kembali bernama Sabah. Tapi pemilihan umum dalam arti kata sebenarnya baru terjadi tahun 1967 di Sabah. Untuk itu telah hadir para peninjau dari lima negara Asia-Sri Lanka, India, Indonesia, Thailand dan Jepang. Walaupun diundang, utusan Filipina tak mau datang. Hasil pemilu 1967 itu tetap menunjukkan bahwa rakyat Sabah ingin berada dalam Malaysia. TOH Filipina tak mau mengù akui kenyataan itu. Hubungannya dengan Malaysia jadi tegang, meskipun sudah samasama anggota ASEAN. Bahkan Filipina melatih pasukan komando di Corregidor (lihat IsiHatiBekasPemberontak) untuk menyusup ke Sabah. Rencana gerakan subversi Filipina itu yang tercium oleh Malaysia sejak 1968 diketahui belum sempat terlaksana. Tun Datu Mustapha bin Datu Harun, yang pertama memimpin pemerintahan Sabah, rupanya tak tinggal diam. Dia membiarkan Sabah jadi suatu pangkalan bagi gerakan Moro yang memberontak di Mindanao, Filipina Selatan. Rute pelayaran Sabah-Mindanao jadi alur penyelundupan senjata. Ternyata Sabah punya cara tersendiri untuk membalas tuntutan Filipina. Bila berlangsung subversi kontra subversi, diduga Filipina akan lebih terpukul daripada Malaysia dengan adanya keresahan penduduk Muslim di daerah Selatan. Mungkin menyadari hal ini, Presiden Filipina mulai cenderung menahan diri mengenai Sabah. Tentu persatuan ASEAN juga jadi pertimbangan utamanya. Tahun 1977, dalam KTT ASEAN di Kualalumpur, Presiden Marcos berjanji menyelesaikan soal tuntutan atas Sabah di kalangannya sendiri di Filipina. Keterangannya itu suatu kejutan, melegakan Malaysia terutama sekali. Sementara itu pemerintah di Sabah berganti. Tak kelihatan lagi orang Moro bersenjata di kamp pengungsi di Sabah. Berbeda sekali halnya dengan zaman Tun Mustapha. Tapi di Manila, entah kenapa akhir-akhir ini Sabah teringat lagi dengan Marcos. Rasyid bertemu dengan Moamar Khadafy di Tripoli (Mei 1979), dan pemimpin Libya itu memberinya uang US$ 1,5 juta untuk pembangunan rumah sakit itu. "Khadafy percaya kepada saya tapi tidak kepada Marcos," kata Zampaco. Februari nanti, RS Maahad Marawy yang punya peralatan paling modern di seluruh Mindanao itu mulai beroperasi. "Seluruh orang muslim gratis berobat di rumah sakit ini. Begitu permintaan Khadafy," kata Zainpaco. Khadafy konon berjanji menyantuni rumah sakit itu US$ 500.000 setahun. Maka ketika meletakkan batu pertamanya, Moestafa Dreiza, Duta Besar Libya di Manila berkata, "Saya diutus ke sini bukan untuk memberikan meriam dan dinamit. Tapi rumah sakit." Penduduk pun meneriakkan, "Allahu akbar . . . Allahuakbar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus