SALAH satu keuntungan berkenalan dengan peneliti ialah kita
dibolehkan - kadang-kadang, bahkan diminta -- untuk membaca
draft kerja ilmiahnya. Begitulah nasib yang pernah menimpa saya.
Bahkan seorang teman, Dr. Christian Pelras dari Prancis,
membolehkan saya "mencuri" tulisannya yang akan diterbitkan.
Saking menariknya tulisan itu, saya pun mencurinya. Begini:
Abad ke-17 bagi Ayuthia, kerajaan Siam (Thailand), sebelum
Bangkok menjadi ibukota, adalah periode yang penuh kegairahan
dagang dan keterbukaan politik. Di bawah Raja Narai, Ayuthia
menarik para pedagang dan petualang, militer dan politik, serta
penyebar agama dari berbagai penjuru.
Banyak di antara mereka yang dipekerjakan raja dalam berbagai
dinas kerajaan--mulai dari pengawal istana sampai pada kedudukan
"perdana menteri", seperti yang dinikmati oleh Phaulkon, seorang
petualang asal Yunani. Phaulkon ini bahkan membujuk raja Prancis
untuk mengirim penginjil dan tentara, karena menurut dia, ada
kemungkinan raja bisa dikristenkan. Nanti ketahuan juga bahwa
perhatiannya yang utama adalah dukungan politik baginya.
Phaulkon tahu bahwa para pedagang Aceh telah mencoba
mengislamkan raja, tetapi yang paling jadi perhatiannya ialah
fakta bahwa banyak para bangsawan Thai tak senang dengan
pengaruh besar yang dipunyainya. Kemungkinan para bangsa-, wan
ini akan mengadakan coup d'etat di Ayuthia cukup besar, apalagi
cukup banyak pendatang Islam, yang bisa dipakai, seperti Melayu,
Campa dan Makasar.
Hal ini memang terjadi di tahun 1686. Sebuah plot yang
melibatkan ketiga golongan Islam ini dengan bangsawan Thai
terbongkar. Tetapi dengan bujukan dan ancaman kelompok Melayu
dan Campa bersedia tunduk.
Kelompok Makasar, yang dipimpin oleh seorang "pangeran", yang
konon salah seorang saudara adik Sultan Hasanuddin (tetapi lebih
mungkin bangsawan tinggi biasa) menolak untuk menyerah. Segala
bujukan mula-mula ditolaknya meskipun ia dulunya adalah salah
seorang yang paling dikasihi raja. Ia merasa tak bersalah, dan
hanya terbawa-bawa dalam komplotan tanpa keinginannya.
Dalam penolakannya ia mengatakan, "Jika Baginda tak lagi
menyenangi kami . . . biarlah kami pergi . . ., jika Baginda
sudah bertekad untuk menghancurkan kami, biarlah kami menunggu
nasib dirumah kami Dan kamiakan memperlihatkan baha kami adalah
jantan Makasar, bukan betina Thai"
Mungkin karena rasa terima kasih pada raja yang telah
melindunginya, akhirnya ia bersedia juga menghadap. Dengan
diikuti para pengiringnya yang bersenjata keris dan tombak ia
pergi ke istana. Tetapi ia disuruh meninggalkan senua senjata.
Ia menolak dengan ucapan, "Saya ibarat sepohon kayu besar . . .
yang terancam badai. Jika badai datang akan saya tahan, tetapi
jika akhirnya saya rubuh, pohon-pohon kecil di sekitar saya akan
turut hancur. "
Ia kembali dengan pesan bahwa ia bersedia menunggu raja di
rumahnya. Dengan begitu tantangan telah diberikan kepada Raja
Narai.
Malam itu juga Phaulkon mulai mengumpulkan bala tentara yang
besar untuk menyerbu kampung Makasar dari darat dan sungai.
Ia sadar bahwa "jantan Makasar" itu bukanlah musul yang bisa
dianggap enteng. Bukankah baru beberapa waktu yang lalu usahanya
untuk melucuti sebuah kapal dagang Makasar, yang tak tahu
apa-apa tentang krisis di Ayuthia, berakhir dengan suatu
tragedi? Semua anak kapal berjumlah 53 orang yang enggan
berpisah dengan keris mereka, setelah pertetnpuran di sungai dan
darat selama beberapa minggu, akhirnya tewas. Tetapi sekitar 400
orang tentara, termasuk opsir Tnggris dan Portugis, dan tak
terhitung penduduk sipil, harus ikut hancur. Peristiwa yang
terjadi dekat Bangkok ini cukup membekas pada Phaulkon.
Maka sekitar 6.000 tentara, yang dipimpin oleh opsir Thai dan
asing, dipersiapkan untuk menyerbu kampung Makasar. Menjelang
subuh datang, serangan pun dilancarkan dari sungai dan daratan.
Pertempuran sengit terjadi dan barulah kira-kira pukul 3 sore
berakhir.
Tak kurang dari 42 mayat "jantan Makasar" terkapar, termasuk
Pangeran Makasar. Dan 55 orang termasuk mereka yang berkubu di
masjid, ditangkap. Tanpa kecuali, semua yang ditangkap itu telah
luka-luka. Mereka kemudian dibunuh. Sedangkan wanita dan
anak-anak dijual sebagai budak.
Yang selamat hanyalah dua putra Pangeran Makasar, yang dikirim
ke Prancis dan kemudian dididik sebagai bangsawan Prancis.
"Pohon-pohon besar" yang berjumlah sekitar 120 orang itu
akhirnya tumbang, tetapi bersama mereka tak kurang dari 1.000
tentara Thai, tiga perwira Inggris dan empat Prancis ikut
hancur.
Jika kisah ini akan "masuk" sejarah, paling-paling ia akan
menjadi footnote, yang kadang-kadang dilihat, dan sering tak
digubris. Kisah lengkap dari peristiwa ini barulah bisa ditulis
setelah penelitian yang cukup teliti dari arsip Prancis dan
laporan para perwira Eropa yang terlipat.
Kalau begitu untuk apa disebut lagi? Yang jelas kisah ini
menarik. Lantas? Mengapa Pangeran Makasar, yang nama aslinya
Daeng Mangalle itu, tak mau tunduk saja?
Kesalahannya, katanya, ialah bahwa ia tak melaporkan apa yang
telah diketahuinya atau apa yang telah dipercayakan orang
padanya. Jadi andai pun ia yakin bahwa Phaulkon tidak akan
memfitnahnya, penyerahan tanpa syarat. akan menyebabkan ia
menyebutkan nama bangsawan-bangsawan Thai yang terlibat. Ini
berarti ia akan mengkhianati kepercayaan.
Tetapi itulah soalnya. Pengkhianatan baginya adalah suatu
pertengkaran harga diri. Demi harga diri, lebih baik ia dan
pengikutnya membuktikan bahwa mereka bukan "betina Thai".
"Catatan kaki" sejarah ini mungkin tak bicara banyak tetapi ia
memberi kesan yang berharga. Ia adalah contoh dari keteguhan
hati ketika harga diri dipermasalahkan. Kisah ihi adalah
ilustrasi lain dari patriotisme--patriotisme sebagai peneguhan
harkat diri. Mungkin telah dirasakan kuno dan cengeng, kisah
pengorbanan "demi segala demi" ini. Tetapi di saat "segala demi"
itu digaungkan lagi ada faedahnya melihat sekedarnya pada kisah
sejarah seperti ini.
Dan, bukankah sekali-sekali timbul juga pertanyaan bernada
"kalau" dalam hati " . . . Ah, kalau kita tahu dan sadar tentang
sqarah lebih baik barangkali berbagai hal bisa dielakkan."
Barangkali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini