Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ilustrasi lain dari patriotisme

Pangeran makasar daeng mangalle tidak mau tunduk kepada raja narai. dia lebih memilih mati bersama rakyat daripada mengkhianati kepercayaan, suatu bukti mereka bukan betina thai, tapi jantan makasar.

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu keuntungan berkenalan dengan peneliti ialah kita dibolehkan - kadang-kadang, bahkan diminta -- untuk membaca draft kerja ilmiahnya. Begitulah nasib yang pernah menimpa saya. Bahkan seorang teman, Dr. Christian Pelras dari Prancis, membolehkan saya "mencuri" tulisannya yang akan diterbitkan. Saking menariknya tulisan itu, saya pun mencurinya. Begini: Abad ke-17 bagi Ayuthia, kerajaan Siam (Thailand), sebelum Bangkok menjadi ibukota, adalah periode yang penuh kegairahan dagang dan keterbukaan politik. Di bawah Raja Narai, Ayuthia menarik para pedagang dan petualang, militer dan politik, serta penyebar agama dari berbagai penjuru. Banyak di antara mereka yang dipekerjakan raja dalam berbagai dinas kerajaan--mulai dari pengawal istana sampai pada kedudukan "perdana menteri", seperti yang dinikmati oleh Phaulkon, seorang petualang asal Yunani. Phaulkon ini bahkan membujuk raja Prancis untuk mengirim penginjil dan tentara, karena menurut dia, ada kemungkinan raja bisa dikristenkan. Nanti ketahuan juga bahwa perhatiannya yang utama adalah dukungan politik baginya. Phaulkon tahu bahwa para pedagang Aceh telah mencoba mengislamkan raja, tetapi yang paling jadi perhatiannya ialah fakta bahwa banyak para bangsawan Thai tak senang dengan pengaruh besar yang dipunyainya. Kemungkinan para bangsa-, wan ini akan mengadakan coup d'etat di Ayuthia cukup besar, apalagi cukup banyak pendatang Islam, yang bisa dipakai, seperti Melayu, Campa dan Makasar. Hal ini memang terjadi di tahun 1686. Sebuah plot yang melibatkan ketiga golongan Islam ini dengan bangsawan Thai terbongkar. Tetapi dengan bujukan dan ancaman kelompok Melayu dan Campa bersedia tunduk. Kelompok Makasar, yang dipimpin oleh seorang "pangeran", yang konon salah seorang saudara adik Sultan Hasanuddin (tetapi lebih mungkin bangsawan tinggi biasa) menolak untuk menyerah. Segala bujukan mula-mula ditolaknya meskipun ia dulunya adalah salah seorang yang paling dikasihi raja. Ia merasa tak bersalah, dan hanya terbawa-bawa dalam komplotan tanpa keinginannya. Dalam penolakannya ia mengatakan, "Jika Baginda tak lagi menyenangi kami . . . biarlah kami pergi . . ., jika Baginda sudah bertekad untuk menghancurkan kami, biarlah kami menunggu nasib dirumah kami Dan kamiakan memperlihatkan baha kami adalah jantan Makasar, bukan betina Thai" Mungkin karena rasa terima kasih pada raja yang telah melindunginya, akhirnya ia bersedia juga menghadap. Dengan diikuti para pengiringnya yang bersenjata keris dan tombak ia pergi ke istana. Tetapi ia disuruh meninggalkan senua senjata. Ia menolak dengan ucapan, "Saya ibarat sepohon kayu besar . . . yang terancam badai. Jika badai datang akan saya tahan, tetapi jika akhirnya saya rubuh, pohon-pohon kecil di sekitar saya akan turut hancur. " Ia kembali dengan pesan bahwa ia bersedia menunggu raja di rumahnya. Dengan begitu tantangan telah diberikan kepada Raja Narai. Malam itu juga Phaulkon mulai mengumpulkan bala tentara yang besar untuk menyerbu kampung Makasar dari darat dan sungai. Ia sadar bahwa "jantan Makasar" itu bukanlah musul yang bisa dianggap enteng. Bukankah baru beberapa waktu yang lalu usahanya untuk melucuti sebuah kapal dagang Makasar, yang tak tahu apa-apa tentang krisis di Ayuthia, berakhir dengan suatu tragedi? Semua anak kapal berjumlah 53 orang yang enggan berpisah dengan keris mereka, setelah pertetnpuran di sungai dan darat selama beberapa minggu, akhirnya tewas. Tetapi sekitar 400 orang tentara, termasuk opsir Tnggris dan Portugis, dan tak terhitung penduduk sipil, harus ikut hancur. Peristiwa yang terjadi dekat Bangkok ini cukup membekas pada Phaulkon. Maka sekitar 6.000 tentara, yang dipimpin oleh opsir Thai dan asing, dipersiapkan untuk menyerbu kampung Makasar. Menjelang subuh datang, serangan pun dilancarkan dari sungai dan daratan. Pertempuran sengit terjadi dan barulah kira-kira pukul 3 sore berakhir. Tak kurang dari 42 mayat "jantan Makasar" terkapar, termasuk Pangeran Makasar. Dan 55 orang termasuk mereka yang berkubu di masjid, ditangkap. Tanpa kecuali, semua yang ditangkap itu telah luka-luka. Mereka kemudian dibunuh. Sedangkan wanita dan anak-anak dijual sebagai budak. Yang selamat hanyalah dua putra Pangeran Makasar, yang dikirim ke Prancis dan kemudian dididik sebagai bangsawan Prancis. "Pohon-pohon besar" yang berjumlah sekitar 120 orang itu akhirnya tumbang, tetapi bersama mereka tak kurang dari 1.000 tentara Thai, tiga perwira Inggris dan empat Prancis ikut hancur. Jika kisah ini akan "masuk" sejarah, paling-paling ia akan menjadi footnote, yang kadang-kadang dilihat, dan sering tak digubris. Kisah lengkap dari peristiwa ini barulah bisa ditulis setelah penelitian yang cukup teliti dari arsip Prancis dan laporan para perwira Eropa yang terlipat. Kalau begitu untuk apa disebut lagi? Yang jelas kisah ini menarik. Lantas? Mengapa Pangeran Makasar, yang nama aslinya Daeng Mangalle itu, tak mau tunduk saja? Kesalahannya, katanya, ialah bahwa ia tak melaporkan apa yang telah diketahuinya atau apa yang telah dipercayakan orang padanya. Jadi andai pun ia yakin bahwa Phaulkon tidak akan memfitnahnya, penyerahan tanpa syarat. akan menyebabkan ia menyebutkan nama bangsawan-bangsawan Thai yang terlibat. Ini berarti ia akan mengkhianati kepercayaan. Tetapi itulah soalnya. Pengkhianatan baginya adalah suatu pertengkaran harga diri. Demi harga diri, lebih baik ia dan pengikutnya membuktikan bahwa mereka bukan "betina Thai". "Catatan kaki" sejarah ini mungkin tak bicara banyak tetapi ia memberi kesan yang berharga. Ia adalah contoh dari keteguhan hati ketika harga diri dipermasalahkan. Kisah ihi adalah ilustrasi lain dari patriotisme--patriotisme sebagai peneguhan harkat diri. Mungkin telah dirasakan kuno dan cengeng, kisah pengorbanan "demi segala demi" ini. Tetapi di saat "segala demi" itu digaungkan lagi ada faedahnya melihat sekedarnya pada kisah sejarah seperti ini. Dan, bukankah sekali-sekali timbul juga pertanyaan bernada "kalau" dalam hati " . . . Ah, kalau kita tahu dan sadar tentang sqarah lebih baik barangkali berbagai hal bisa dielakkan." Barangkali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus