Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Isi hati bekas pemberontak

Profil bekas orang kedua mnlf, abul khayr alonto 1978. kini (37 th) menjabat ketua sangguniang pampook wilayah xii, mindanao tengah. (ln)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABUL Khayr Alonto, nampak gemuk dan muda--tak seperti fotonya semasih bergerilya di gunung yang menghias kulit majalah Tirne, 9 Februari 1976. Ayahnya, Abdul Gafur Madki Alonto adalah bekas Gubernur Lanao dan Sulu di Mindanao, anggota parlemen Filipina yang beragama Islam. Sang anak yang belajar ilmu hukum di University of Philippine dan kemudian studi di Al Azhar, Kairo, sempat lima tahun di hutan sebagai orang kedua MNLF sampai ia menyerahkan diri, Juni 1978. Sekarang Abul Khayr Alonto, 37 tahun, jadi Ketua Sanggunang Pampook (lembaga legislatif daerah otonomi) wilayah (region XII, Mindanao Tengah. Dengan suara lembut simpatik tapi tanpa senyum selama hampir tiga jam, Alonto menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Amran Nasution, suatu malam Desember. Nurhayat, istrinya yang cantik, pengajar di Univer sitas Mindanao, dan lima anaknya sesekali mendampingi. Sementara Mayor Muhamad, pengawalnya, terus berdiri di samping. Gagang pistol membayang dari balik baju barong sang mayor yang tipis. Kejadian ini di suatu ruangan di Philippine Plaza, hotel terkemuka di Manila, dan Alonto berbicara terus terang seperti berikut: Banyak alasan mengapa saya dulu melawan Marcos. Kami muslim yang berjumlah 4 juta dari 46 juta penduduk Filipina sejak lama jadi warganegara kelas dua: tak sampai 2% yang jadi pegawai pemerintah. Kami punya banyak sarjana tamatan luar negeri tapi tak dapat kesempatan. Kami hanya punya seorang senator. Tak ada orang kami di lembaga keuangan. Daerah kami diabaikan. Jalan dibiarkan rusak. Hanya sedikit sekolah dan rumah sakit di daerah kami. Saya belajar di Kairo sampai 1965 Ketika itu Presiden Nasser banyak mengajarkan kebebasan dan revolusi. Setibanya kembali di Filipina, saya tak mendengar suara seperti itu. Orang tua bungkam. Padahal penderitaan di sini sarna seperti yang dirasakan pemuda Palestina. Tapi mereka punya El Fatah. Kenapa kami harus bungkem seperti orang tua? Padahal kami menyaksikan orang Luzon dan Vesayas menyerobot tanah kami di Mindanao, dan mereka dibantu tentara. Ketika itu saya berkenalan dengan Nur Misuari. Kami tidak berasal dari satu daerah. Dia dari Jolo (pulau kecil di selatan Mindanao) dan saya dari Lanao. Misuari mengajar di University of Philippine. Saya dengar dia dekat dengan kaum komunis Filipina. Tapi dialah ketika itu yang berani bersuara. Saya lupakan semua cerita tentang dirinya. Kami terpaksa memilih jalan kekerasan. Kami bukan saja berhadapan dengan orang sipil yang merampas tanah kami, tapi juga dengan tentara. Situasi memuncak ketika (tahun 1970) terjadi Corregidor Massacre. Anda tahu artinya? Sekitar 300 pemuda muslim dari Sulu dapat latihan militer di Corregidor untuk dikirim merebut Sabah. Ketika menolak, mereka semua dibunuh, kecuali dua orang selamat karena berpura-pura mati. No . . . no . . . saya bukan menyerah. Saya memilih berjuang dengan cara lain, berbeda dengan sikap Misuari, bekas guru saya itu. Saya melihat komunis menang di Vietnam. Saya melihat di Filipina sendiri komunis tambah kuat. Kalau kami terus berperang, saya khawatir Marcos akan kalah dan komunis berkuasa. Ketika masih di Malaysia (Sabah), kami berjanji sama berjuang. Tapi nyatanya kemudian Misuari meninggalkan saya begitu lama di gunung, kedinginan tanpa selimut, sementara dia tinggal di kamar hotel yang hangat di Tripoli. Dan sesekali ia mengirim salam kepada kami. Sementara itu saya lihat Marcos mulai mengubah sikap. Dia memberikan kelonggaran kepada Islam dan membangun daerah Selatan. Dia juga membangun masjid. Tahun 1977, Marcos mengadakan plebisit menuju hak otonomi untuk daerah Selatan sesuai dengan Tripoli Agreement. Ketika setahun kemudian Marcos memberikan otonomi itu, saya dan 3000 teman turun gunung. Tapi pemerintah masih lamban dan hak otonomi itu belum tegas. Pembangunan harus benar-benar mencapai daerah muslim yang terkebelakang di Selatan.Cagayan de Oro Highway (jalan raya) memang suatu hadiah besar bagi Mindanao. Tapi anda lihat sendiri, jalan itu hanya melintasi daerah yang berpenduduk mayoritas Katolik. Saya pun belum puas. Saya mengirim petisi pada pemerintah tentang keadaan sekarang. Banyak teman tak sabar. Mereka memilih kembali ke gunung. Saya memaklumi itu. Tapi saya juga tak hanya pandai mengirim petisi. Sekedar ilustrasi, dengarlah cerita ini: Tahun 1972, saya tertangkap oleh tentara dan dipenjarakan di Camp Crame (Manila). Setahun kemudian atas permohonan ulama Islam Filipina, Marcos melepaskan saya. Bahkan Marcos mengangkat saya jadi Wakil Walikota Marawy City . Celakanya, sebagai pejabat saya melihat lebih jelas perlakuan kejam pihak militer terhadap orang Islam. Jip dinas saya selalu mengangkut mayat penduduk Islam yang tak bersalah, korban pembantaian militer. Setahun kemudian saya lari lagi ke gunung .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus