Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memulai kembali serangan udara ke Gaza, Selasa, 18 Maret 2025. Hingga hari ketiga, serangan yang mengakhiri gencatan senjata Gaza telah menewaskan lebih dari 600 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Netanyahu diduga menggunakan agresi di Jalur Gaza ini untuk menyelesaikan krisis internal. Selama gencatan senjata, Netanyahu menghadapi tantangan politik dan yudisial yang mengancam kelanjutan kekuasaannya, namun ia melihat dimulainya kembali perang sebagai kesempatan emas untuk menyatukan kembali sekutu-sekutu politiknya dan menyingkirkan lawan-lawannya tanpa halangan, seperti dilansir Middle East Monitor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan perdana menteri untuk melanjutkan perang dan membombardir daerah kantong Palestina tersebut, dengan 59 sandera – sekitar 24 orang di antaranya diyakini masih hidup – masih ditahan di Gaza telah menambah kemarahan para pengunjuk rasa, yang menuduh pemerintah melanjutkan perang karena alasan-alasan politik.
Puluhan ribu orang berdemonstrasi pada Selasa malam dan lebih banyak lagi aksi protes terjadi pada Rabu. Aksi ini menyusul pengumuman Netanyahu mengumumkan pada akhir pekan bahwa ia telah kehilangan kepercayaan pada Ronen Bar, kepala badan intelijen dalam negeri Shin Bet, dan memutuskan untuk memecatnya.
Koren Offer, seorang pengunjuk rasa di Yerusalem mengatakan bahwa perang ini tidak lagi menyangkut sesuatu yang penting. "Ini adalah tentang kelangsungan hidup pemerintahan ini, kelangsungan hidup Benjamin Netanyahu," ujarnya, seperti dikutip Reuters.
Kelompok-kelompok protes telah berkisar dari Forum Perisai Pertahanan, sebuah kelompok yang mewakili para mantan pejabat pertahanan dan keamanan, dan Gerakan untuk Pemerintahan Berkualitas di Israel, sebuah kelompok antikorupsi yang aktif dalam pertempuran sengit pada tahun 2023 untuk mengekang kekuasaan Mahkamah Agung, bersama dengan para keluarga para sandera di Gaza.
Berikut penjelasan bagaimana Netanyahu mendapatkan keuntungan dari dimulainya kembali perang dalam tiga hal:
1. Memenangkan Kembali Dukungan Kelompok Sayap Kanan
Netanyahu menghadapi krisis dalam meloloskan anggaran 2025 di Knesset karena pemotongan anggaran yang telah memicu protes oposisi, bersama dengan penolakan MK sayap kanan Itamar Ben-Gvir untuk memberikan suara yang mendukung anggaran tersebut.
Ketika koalisi sayap kanannya tetap bersatu, Netanyahu mampu menentang protes dan mencegah seruan untuk mengadakan pemilu baru. Jajak pendapat menunjukkan bahwa ia akan kalah dalam pemilu karena kemarahan publik yang terus berlanjut atas kegagalan yang memungkinkan Hamas menyerang komunitas selatan pada 7 Oktober 2023, dalam bencana keamanan terburuk di Israel.
Tokoh garis keras ekstrem Itamar Ben-Gvir, Selasa, mengumumkan bahwa ia akan bergabung kembali dengan pemerintah, setelah keluar dari kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani pada bulan Januari. Kembalinya sosok ekstremis ini ke dalam cabinet Netanyahu menggarisbawahi dukungan politik yang diperoleh pemerintah dari kubu nasionalis-agama yang dukungannya sangat penting.
Karena Ben-Gvir adalah pendukung setia dimulainya kembali agresi ke Gaza, Netanyahu melihat perang ini sebagai kesempatan untuk menenangkannya dan membawanya kembali ke dalam koalisi. Tindakan Netanyahu tidak hanya terbatas pada perang, ia juga memecat Jaksa Agung Gali Baharav yang sedang melakukan investigasi hukum terhadap Ben-Gvir. Hal ini dipandang sebagai upaya lain untuk merayunya.
2. Menyingkirkan Para Pesaing di Dalam Negara Dalam
Sebelum dimulainya kembali pertempuran, Netanyahu mengeluarkan dua keputusan penting: pemecatan Direktur Shin Bet, Ronen Bar, dan pemecatan Jaksa Agung Gali Baharav.
Keputusan-keputusan ini diperkirakan akan memicu protes besar-besaran oleh pihak oposisi pada Rabu. Namun, dengan pecahnya perang, demonstrasi ditunda, sementara media Israel beralih mendukung pemerintah dengan dalih "persatuan nasional" selama masa perang.
Para pengkritik Netanyahu melihat keputusannya untuk memberhentikan bos Shin Bet dan jaksa agung sebagai pukulan terhadap lembaga kunci negara. Mereka menganggap keputusan itu didasarkan alasan-alasan politis yang terkait dengan keterlibatan Shin Bet dalam penyelidikan atas tuduhan korupsi yang dilakukan oleh para ajudan Netanyahu.
Netanyahu menyebut tuduhan tersebut sebagai serangan bermotif politik terhadap dirinya. Ia mengatakan bahwa keputusan untuk memecat Bar adalah karena ia telah lama kehilangan kepercayaan pada kepala keamanan.
Benny Gantz, ketua partai oposisi sentris terbesar, mengatakan bahwa keputusan untuk memecat Bar merupakan "pelanggaran langsung terhadap keamanan negara dan pembongkaran persatuan politik di Israel karena alasan-alasan politis dan pribadi".
3. Menghindari Kasus Korupsi dan Penyuapan
Selama gencatan senjata, investigasi dan pengadilan terhadap Netanyahu dipercepat, dan ada kekhawatiran bahwa dia akan dicopot dari jabatannya dan diadili setelah perang berakhir sesuai dengan rencana gencatan senjata.
Namun, krisis semakin meningkat ketika laporan Shin Bet mengungkapkan bahwa para pejabat di kantor Netanyahu terlibat dalam menerima suap sebagai imbalan untuk memfasilitasi transfer dana ke faksi-faksi perlawanan Palestina, yang memicu gelombang kemarahan di Israel.
Di tengah skandal ini, tuduhan bahwa Netanyahu bertanggung jawab atas peristiwa 7 Oktober semakin meningkat, sehingga mendorongnya untuk memberhentikan kepala Shin Bet, Ronen Bar, untuk menutupi skandal tersebut dan merombak kartu politiknya.
Netanyahu juga sedang menghadapi persidangan yang sudah berlangsung lama atas tuduhan korupsi, yang dibantahnya. Para kritikus dan lawan-lawan politiknya kerap menuduhnya mengeksploitasi situasi keamanan sebagai jalan keluar dari masalah hukumnya.