Di kawasan pertokoan di jantung Tel Aviv, para pelayan toko mulai memajang mantel-mantel tebal dan kain penghangat leher di balik kaca etalase. Musim dingin memang sudah di ambang pintu. Dan udara di ibu negeri Israel itu serta di kota-kota lain sudah melorot turun, menebarkan hawa yang dingin menggigil. Tapi cobalah mampir ke Knesset—parlemen Israel—pada pekan-pekan ini. Hawa sejuk seolah tertiup keluar oleh panasnya perseteruan di dalam gedung tersebut. Koalisi Partai Likud dan Partai Buruh, yang bahu-membahu mendukung kepemimpinan Ariel Sharon dalam 19 bulan terakhir, pecah. Peristiwa ini terjadi setelah Partai Buruh pimpinan Benyamin Ben Eliezer mencabut dukungan mereka dua pekan silam.
Pencabutan itu adalah malapetaka bagi Perdana Menteri Ariel Sharon: dia hanya memerintah dengan dukungan minoritas—alias 55 suara dari Partai Likud. Maka, tanpa banyak cingcong Sharon bergerak cepat. Pada Selasa pekan lalu, dia mengumumkan percepatan pemilihan umum dalam 90 hari mendatang. Pemilu Israel, yang seharusnya jatuh pada Oktober 2003, diajukan Sharon ke akhir Januari 2003.
Pada hari yang sama, Presiden Israel Moshe Katsav membubarkan parlemen. Ini juga hasil lobi Sharon, karena Partai Likud, yang tadinya mendukungnya dengan bulat selama ini, pecah suara. Mantan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu—belum lama ini sudah kebagian jatah kursi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Sharon—tiba-tiba memutuskan untuk mbalelo. Tokoh Partai Likud itu terang-terangan menantang bosnya untuk memperebutkan kursi perdana menteri dalam pemilu Januari 2003 nanti.
Sharon memang tengah mengadu untung dalam tiga bulan ke depan, karena persaingan di parlemen toh bukan satu-satunya batu sandungan. Beban lain yang tak kalah beratnya adalah kondisi dalam negeri yang tengah amburadul. Ancaman intifadah dari pihak Palestina belum kunjung beres, ekonomi seret dengan tingkat pengangguran 10 persen. Saat ini satu di antara lima penduduk Israel hidup di bawah garis kemiskinan. Nah, kondisi dalam negeri ini masih ditambah dengan ketegangan di Timur Tengah menjelang serangan Amerika Serikat ke Irak.
Jika serangan ke Irak itu sungguh-sungguh terjadi, sial bagi Israel, karena negeri itu tak bisa lagi terlalu menyandarkan diri pada perlindungan sobat lamanya, Amerika. Maklum, setelah AS menghancurleburkan Afganistan—yang mencoreng citra Amerika di hadapan negara-negara Teluk—pemerintahan George W. Bush tampak membatasi "kemesraannya" dan agak bermuka manis kepada Palestina. Artinya? Di tengah kondisi dalam negeri yang babak-belur, Sharon harus pula meyakinkan rakyat Israel agar siap-siap berdikari bila Amerika dan Irak mulai baku hantam.
Alhasil, wajar bila Sharon melakukan tindakan pengamanan untuk kursinya, antara lain dengan percepatan pemilu itu. Harus diakui, ini langkah yang cerdik kendati di lain pihak hal itu sebetulnya sekaligus menunjukkan "kekalahan" Sharon. Selama ini sang Perdana Menteri amat membanggakan dukungan bulat kepada pemerintahannya dari koalisi sayap kanan, tengah, hingga kiri. Dengan kondisi politik Israel terkotak-kotak dalam beragam kelompok, Sharon sebetulnya sudah cukup berprestasi karena pemerintahannya berjalan sampai satu setengah tahun tanpa pergantian perdana menteri. Jangan lupa, Israel pernah mengalami lebih dari setahun tanpa pergantian perdana menteri—itu sudah hal yang luar biasa. Sebab, pernah dalam setahun Israel berganti perdana menteri hingga lima kali, termasuk ada yang dibunuh oleh seorang Israel yang ultra-kanan, yaitu Yitzak Rabin.
Dengan semua perhitungan itu, tidak mengherankan bila Sharon mengakui pemilu yang seharusnya jatuh pada 23 Oktober 2003 membuat problem kian berlarut-larut. Karena itu, perlu dipercepat. "Pemilihan umum akan mencegah terjadinya perpecahan yang lebih jauh," katanya. Perseteruan pihak Likud versus Partai Buruh sesungguhnya cerita lama di Israel. Inti soal adalah perbedaan dalam kebijakan politik: Likud mendukung pendudukan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta menolak tuntutan Palestina merdeka. Adapun Partai Buruh lebih mengutamakan pemerataan ekonomi serta mendukung negosiasi damai dengan Palestina.
Nah, perpecahan kali ini berpangkal pada soal anggaran belanja pemerintah Sharon, yang diajukan ke parlemen pada akhir Oktober lalu. Pihak Buruh tidak menyetujui alokasi dana sebesar US$ 150 juta (sekitar Rp 1,35 triliun) untuk membantu pos-pos permukiman Yahudi (Jewish' settlements) di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Pihak Buruh ingin agar dana sebesar itu dipakai untuk tunjangan pensiun, bantuan bagi keluarga-keluarga yatim, serta daerah miskin. Dan Partai Buruh meminta agar alokasi dana untuk daerah permukiman Yahudi cukup US$ 5 juta saja.
Perdebatan soal ini di Knesset rupanya memanas. Puncaknya, Partai Buruh hengkang dari koalisi sembari menenteng 25 kursi mereka. Alhasil, Sharon pun terpaksa memerintah dengan dukungan minoritas, karena Partai Likud yang mendukung Sharon hanya punya 55 kursi di Knesset dari total 120 kursi koalisi yang ada. Posisi minoritas ini bisa-bisa membuat Sharon mendapat mosi tidak percaya dari parlemen. Sharon memang berupaya mendekati Serikat Nasional, partai radikal nasionalis yang dipimpin Avigador Liberman, agar bisa mengais lagi tambahan 7 kursi. Tapi gagal.
Yang menarik, setelah Knesset tercerai-berai dan keluar pengumuman percepatan pemilu, popularitas Sharon ternyata belum rontok. Jajak pendapat paling akhir menunjukkan, rakyat Israel menganggap pria berusia 74 tahun lebih ini layak memimpin Israel ketimbang sesama koleganya di Likud: Netanyahu. Atau, Ketua Partai Buruh Benyamin Ben Eliezer. Padahal, rapor Sharon dihiasi beberapa catatan hitam.
Ketika masih menjabat Menteri Pertahanan, Sharon memutuskan invasi Israel ke Lebanon pada 1982. Dan pada September 2000, Sharon menggegerkan Palestina saat dia masuk dengan tidak hormat ke Masjid Al-Aqsa—tempat yang terlarang bagi orang-orang Israel. Provokasi Sharon inilah yang kemudian melahirkan intifadah terbaru selama dua tahun terakhir. Maka, saat Sharon terpilih sebagai Perdana Menteri Israel pada Februari tahun silam, mingguan The Economist meramalkan "langit tidak akan runtuh, tapi awan tebal hitam akan tetap menggelantung dan menyelimuti Israel"—selama Sharon memerintah negeri itu.
Pertanyaannya, mengapa rakyat Israel lebih memilih Sharon. Joseph Alpher, mantan Direktur Jaffe Center for Strategic Studies (sebuah lembaga penelitian di Israel), menyebut Sharon sebagai sosok yang amat pragmatis. Dia nasionalis, pro pada pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dia juga jenis pemimpin yang selalu girang bila tank-tank Israel bisa terus-terusan berderet di sekitar permukiman Palestina. Selain itu, dia juga amat menenggang perasaan Amerika. "Rakyat Israel suka pemimpin yang seperti itu," kata Alpher.
Sharon memang tidak naif terhadap berbagai "kelebihannya" ini. Maka, aneka strategi pun segera ia pasang agar rakyat tetap terpikat padanya. Pertama, dia akan berupaya keras meyakinkan para pendukung Netanyahu di Likud agar segera berpaling saja kepadanya. Caranya? Dengan menggencarkan isu Palestina. Dalam kampanyenya yang lalu, Sharon maju dengan jargon ini: "Dia bersedia berunding dengan Otoritas Palestina bila keamanan Israel terjamin." Jualan ini selain masih laku di publik juga bisa dipakai merayu para pendukung Netanyahu—yang tak pernah sudi berunding dengan Palestina serta selalu ingin menyingkirkan Arafat.
Langkah yang lain adalah mengangkat orang-orang dari garis keras untuk mengawal pemerintahnya hingga masa pemilu pada akhir Januari 2003. Umpamanya, Jenderal Shaul Mofaz, yang amat memusuhi milisi Palestina, didudukkan Sharon di kursi Menteri Pertahanan menggantikan Benyamin Ben Eliezer. Dia menendang Shimon Peres dan memberikan kursi Menteri Luar Negeri kepada Netanyahu. Toh, kans Sharon belum sepenuhnya aman. Apalagi mengingat Netanyahu yang sudah tidak malu-malu untuk mbalelo.
Di tengah tekanan ekonomi yang berat dan kondisi keamanan kacau-balau, Sharon tampaknya tidak punya banyak pilihan. Dia bisa kembali ke meja perundingan bersama Palestina—suka tidak suka—bila Israel berniat mencari keseimbangan politik yang baru. Pilihan lain adalah terus bertahan untuk "adu keras" dengan Palestina sembari menonton darah yang terus mengalir oleh bom-bom bunuh diri Palestina, sembari keadaan ekonomi terus menghancur.
Bina Bektiati (New York Times, The Economist, The Guardian, Jerusalem Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini