Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beruang hitam mungil setinggi setengah meter itu terduduk lesu. Bubur cair yang disodorkan dalam piring kaleng diliriknya malas. Ia termangu. Sebuah kerangkeng besi telah memasung keceriaan dan kebebasan hidupnya. Di tangan Mahyar, seorang pedagang di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, beruang madu (Helarctos malayanus) ini malah ditawarkan seharga Rp 1,7 juta. Dan ini harga beruang madu yang masih bayi.
Kelak, setelah hewan itu sedikit lebih besar, harganya mencapai dua juta hingga tiga juta rupiah. Meski tak dipajang terang-terangan, pembeli bisa mendapat beruang yang terancam punah itu dengan mudah.
Menurut Rosek Nursahid, direktur eksekutif lembaga nirlaba Konservasi Satwa Bagi Kehidupan (KSBK), perdagangan satwa yang dilindungi undang-undang ini cukup mengkhawatirkan. Sewindu lalu jumlahnya masih sekitar 10 ribu hingga 15 ribu ekor. Kini, seiring dengan makin tipisnya hutan di Sumatera dan Kalimantan, populasi beruang juga menyusut. Populasinya kian mengerut karena beruang kian banyak diperjualbelikan orang. Dan hewan ini tak cuma laku dalam keadaan bernyawa.
Seperti diumumkan KSBK dua minggu lalu—setelah melakukan penelitian selama dua tahun—lembaga ini menemukan bahwa empedu, cakar, dan taring beruang laris diperdagangkan. KSBK juga menemukan obat-obatan yang mengandung organ beruang madu. Di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, TEMPO menemukan toko cendera mata yang menjual empedu beruang madu. Harga satu empedu mencapai Rp 250 ribu. Menurut wanita penjaga toko, empedu ini didatangkan dari Kota Sintang, Kalimantan Barat, khusus buat memenuhi pesanan pelanggannya, yakni seorang pria berkebangsaan Taiwan.
Profesor Franky S.M., Ketua Umum Asosiasi Pengobatan Tradisional Indonesia di Pontianak, mengungkapkan bahwa empedu beruang madu diminati karena punya khasiat khusus (lihat Beruang nan Sakti). Katanya, cairan kuning dari empedu beruang bermanfaat melancarkan kerja saraf, mengobati muntah darah, terjatuh, terpukul, atau terkena stroke.
Oleh tabib-tabib Cina, empedu itu dicampur dengan ramuan lain dan jadilah "Tieh Ta Wan Hsiung Tan". Obat ini berupa butiran hitam yang dikemas dalam kotak kecil kuning dan dijual seharga Rp 3.750 per kotak. Menurut Akon, penjual obat di Jatinegara, Jakarta Timur, obat ini berguna untuk menyembuhkan luka dalam akibat terjatuh atau terbentur benda keras.
Berdasarkan investigasi KSBK, dari 124 toko obat tradisional Cina yang diteliti, lebih dari 60 persen menyediakan obat ini. Toko-toko itu bertebaran di Sintang, Medan, Yogyakarta, dan Pontianak. Di Jakarta saja, dari 35 toko obat yang dipantau KSBK, lebih dari separuh menyediakan obat ini.
Menurut para pedagang, obat yang dibuat dari empedu beruang berasal dari Cina. Di Negeri Tembok Besar ini perburuan empedu beruang memang bukan hal tabu. Menurut Rosek, peternakan di sana merangkap jadi tempat pembantaian beruang. Data yang dimiliki World Society for the Protection of Animal (WSPA) menunjukkan, di Cina ada sekitar 200 peternakan dengan 7.000 beruang yang siap dikorbankan. Beruang hitam Asia ini dilukai lambungnya, kemudian melalui selang diambil cairan empedunya. Lalu, hewan yang malang itu pun terkapar dan dibiarkan mati lemas.
Kebiasaan membantai beruang ini berdampak buruk bagi Indonesia. Gara-gara populasi beruang hitam di Cina menyusut, kekurangan pasokannya lalu diisi dengan beruang madu, yang secara morfologis amat dekat dengan beruang hitam Cina. Indonesia adalah negara terdekat yang masih memiliki beruang madu di hutan-hutan pedalaman Sumatera dan Kalimantan. Maka, menurut Rosek dan temuan WSPA, kandang pembantaian di Cina diam-diam diisi dengan beruang madu dari kedua pulau tersebut.
Tak jelas kapan perdagangan gelap itu dimulai. Yang pasti, "ekspor" beruang madu dari Indonesia ke Cina benar-benar marak. Menurut Rosek, jalur favorit yang ditempuh pedagang adalah melalui perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, seperti Kucing dan Entekong. Sedangkan untuk Sumatera, jalur yang kerap dilewati adalah Medan dan Batam, yang berlanjut ke Singapura. Dan anehnya, tak satu pun tergaruk penegak hukum.
Tanpa pengamanan serius oleh aparat—imigrasi ataupun polisi—pembantaian beruang madu asal Indonesia akan berlanjut terus di Cina. Dan ini bukan sekadar kelalaian, tapi kejahatan. Bayangkanlah, perut hewan langka ini diiris dan empedunya diperas. Cairan empedu itu lalu diolah dan hasilnya dijajakan kembali di sini, sebagai obat yang dipasangi label made in China.
Agus Hidayat, Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo