Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beruang madu, Helarctos malayanus, telah lama mengisi buku resep para sinshe, pakar obat tradisional Cina. Tengoklah museum Chinese Material Medica di Beijing University, Cina. Beragam organ beruang, yakni jantung, hati, empedu, bola mata, lidah, tulang, sampai jempol kaki, dipajang di museum ini.
Setiap pajangan disertai koleksi kutipan kitab kuno yang berasal dari 1.500 tahun silam. Kutipan itu menerangkan khasiat organ beruang, mulai dari menyembuhkan asma, alergi, sakit kuning, muntah-muntah, demam tinggi, luka bakar, wasir, menggenjot gairah seksual, hingga memulihkan kesehatan prajurit yang dilibas pedang samurai.
Riwayat ribuan tahun itulah yang membuat legenda beruang madu mendunia. Di Cina, Singapura, Malaysia, Thailand, satu kantong empedu beruang madu dijual pada kisaran harga Rp 2,5 sampai Rp 4 juta. Kemasan yang lebih praktis—bisa berupa pil, salep, bubuk, minyak oles—juga tersedia dalam ratusan merek.
Satu botol pil Pien Tze Huang, misalnya, dijual Rp 100 ribu-150 ribu. Pil ini kabarnya ampuh untuk menyehatkan orang yang baru menjalani operasi bedah. Lalu, sebotol pil untuk ambeien bermerek Zongguo Mochus dijual Rp 15.000. Semuanya bisa didapat dengan gampang di toko obat Cina di Glodok ataupun di Pasar Pramuka, Jakarta.
Apa sebetulnya zat sakti yang ada dalam organ beruang?
Berbagai riset menunjukkan, senyawa aktif dalam empedu beruang adalah asam ursodeoksikolat (UDCA—ursodeoxycholic acid). Senyawa ini antara lain bekerja melancarkan metabolisme kolesterol darah, menyeimbangkan komposisi kimia saraf pusat, dan mempercepat pertumbuhan sel-sel pada organ yang rusak.
Para ahli kedokteran modern pun serius melirik potensi senyawa UDCA yang populer disebut ursodiol ini. Riset terbaru antara lain dilakukan sebuah tim yang dipimpin Clifford Steer, ahli biologi molekuler di University of Minnesota Medical School, Minnesota, Amerika Serikat.
Steer melakukan percobaan pada sekelompok tikus yang sel-sel otaknya sengaja dibikin rusak. Setelah disuntik dengan UDCA, tikus-tikus itu mengalami perbaikan sel otak sampai 50 persen. Sirkulasi darahnya juga lebih lancar sehingga kondisi tikus secara umum lebih sehat. "Bagusnya, senyawa ini tidak berefek samping," kata Steer kepada Reuters Health News beberapa waktu lalu.
Steer juga yakin, senyawa ursodiol kelak bisa digunakan untuk menolong penderita penyakit yang terkait dengan sistem saraf, misalnya alzheimer, juga kepikunan parah atawa penyakit parkinson.
Sementara Steer masih melangkah di tahapan awal, ada lagi riset tentang UDCA yang sudah lanjut dan aplikatif. Sebuah perusahaan farmasi di Jerman telah mengembangkan obat-obatan yang mengandung ursodiol untuk meredakan peradangan (inflamasi) hati pada penderita hepatitis. "Obat ini sudah sering kami resepkan untuk pasien," kata Unggul Budihusodo, ahli hepatologi (ilmu tentang hati) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hanya, Unggul mengingatkan, ursodiol yang dikembangkan dunia farmasi dan kedokteran modern adalah senyawa tiruan atawa hasil sintesis kimia. Jadi, "Sebenarnya kita tak perlu membantai dan menyiksa beruang," kata Unggul.
Utomo Dewanto, ahli toksikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, juga berpendapat senada. "Perlu berapa ribu beruang untuk mendapat satu liter cairan empedu?" Utomo mempertanyakan. Karena tak mudah berburu binatang ini, Utomo meragukan keaslian pil-pil Cina yang beredar. Labelnya menyebutkan ada kandungan empedu asli beruang, padahal hanya tepung bersalut gula. Pasien yang meminum obat palsu itu bukannya sembuh, malah semakin gering.
Lalu, adakah kita aman-aman saja jika obat Cina itu memang mengandung empedu beruang? Belum tentu. Menurut Utomo, selama ini komposisi zat-zat dalam pil Cina yang beredar di pasaran tak pernah gamblang ditampilkan. Inilah yang berisiko. Boleh jadi pil itu malah mengandung senyawa yang memberatkan kerja hati dan ginjal—dua organ yang bertugas mengolah dan menyaring racun yang masuk tubuh. "Jika ini yang terjadi," katanya, "dalam jangka panjang obat itu justru merusak hati dan ginjal."
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo