Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Nyanyi Islam Erdogan

Partai Islam menang dalam pemilu parlemen Turki. Akankah militer kembali memberangusnya?

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN orang berkumpul di depan markas Partai Keadilan dan Pembangunan di Ankara, ibu kota Turki, pekan silam. Seorang ibu membungkus badannya dengan poster berhiaskan wajah Recep Tayyip Erdogan, pemimpin partai berhaluan Islam itu. Dua perempuan belia membentangkan bendera partai bergambar bola lampu dengan latar warna biru. Mereka meneriakkan berulang-ulang, "Perdana Menteri Tayyip! Perdana Menteri Tayyip!" Tayyip Erdogan, yang tinggal selangkah lagi menuju kursi perdana menteri, melambaikan tangan ke arah pendukungnya. Dia seolah tenggelam dalam tulisan besar di dinding balkon belakangnya: "Heresy Turkiye icin! (semuanya untuk Turki)." Saat Erdogan berpidato, para pendukungnya mengedarkan selebaran berjudul "Nyanyian tak akan pernah berhenti di sini." Langkah memang kian lempeng bagi Partai Keadilan dan Pembangunan, yang pekan lalu menang secara telak dalam pemilihan umum. Partai itu meraih 34 persen suara atau memborong 363 dari 550 kursi parlemen. Dengan itu, Erdogan menjadi politikus pertama dalam 15 tahun terakhir yang tak membutuhkan koalisi untuk bisa membentuk pemerintahan sendiri. Pesaing terdekatnya, Partai Republik, yang berhaluan kiri-tengah, hanya meraih 19 persen suara. Tapi, jika masa lalu menjadi rujukan, jalan tidaklah akan mulus bagi partai Islam ini untuk melenggang—khususnya di Turki, pelopor sekularisme di dunia Islam. Berkali-kali di masa silam, militer Turki, yang memperoleh mandat konstitusional untuk melestarikan sekularisme, memberangus partai Islam dan menurunkan para politikus muslim dari pemerintahan. Erdogan dan rekan separtainya sadar benar akan hal itu. Mereka meminta para pendukungnya tidak menyambut kemenangan partai secara mencolok dengan, misalnya, meneriakkan "Allahu Akbar." Dengan hati-hati, Erdogan juga menyatakan partainya tak akan memboyong agenda Islam dan tetap akan melanjutkan kerja sama dengan Uni Eropa serta berhubungan baik dengan Amerika Serikat. "Kami tak bermaksud melawan dunia," katanya, "Di bawah pemerintahan kami, Turki akan hidup serasi dengan dunia." Ada perubahan nada dalam nyanyian Erdogan, yang kini berusia 48 tahun. Erdogan memulai karier politiknya lewat partai Islam lain, Partai Keselamatan Nasional, yang menentang masuknya Turki ke Uni Eropa. Erdogan sempat pindah ke Partai Refah—partai Islam pimpinan Necmettin Erbakan, yang hanya sebentar berkuasa dalam pemerintahan koalisi Turki. Refah juga lebih cenderung membawa Turki lebih dekat ke dunia Islam ketimbang ke Eropa. Di bawah panji Refah, Erdogan menjadi Wali Kota Istanbul yang karismatis pada 1994-1998. Selaku wali kota, Erdogan membuat berang kaum sekuler dengan melarang penjualan alkohol di kedai minuman. Refah dipaksa militer hengkang dari pemerintahan pada 1997 dan dibubarkan karena dituduh berniat mendirikan negara Islam. Erdogan pun terpaksa menyekolahkan dua anak perempuannya ke Indiana University di AS karena universitas di Turki melarang mahasiswi mengenakan pakaian muslim. Erdogan geram, marah, tapi tidak menyerah. Ia sempat dijebloskan ke penjara gara-gara membaca sajak yang menantang sekularisme Turki: "Masjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara adalah bayonet kami, dan orang beriman adalah serdadu kami." Tapi, saat melangkah ke penjara, dia mengutip ungkapan Turki—"Nyanyian taklah berakhir di sini"—yang kini malah populer menjadi slogan partainya. Media massa Turki, yang umumnya cenderung sekuler, tetap curiga Partai Keadilan berambisi membawa negeri itu menuju bentuk kekhalifahan seperti di masa lalu. Bekas Perdana Menteri Bulent Ecevit, yang tumbang beberapa bulan lalu, dengan penuh keraguan berharap Partai Keadilan menghormati ideologi sekuler. Berusaha menepis kecurigaan, Erdogan mengatakan, "Sekularisme merupakan pelindung agama dan kepercayaan rakyat Turki." Pada kenyataannya, saat berkampanye, dia memang sedikit sekali mengusung isu agama. Kemenangan Partai Keadilan, menurut sejumlah pengamat, adalah berkat popularitas Erdogan pribadi yang dikenal bersih di tengah maraknya praktek korupsi dan buruknya perekonomian Turki. "Tayyip Erdogan satu-satunya yang saya percayai," kata Murat Oren, sopir taksi di Istanbul yang memilih Partai Keadilan, "Situasi saat ini tak ada hubungannya dengan agama. Semuanya hanya masalah ekonomi." Militer Turki, tak seperti biasanya, kini tampak menunggu perkembangan ketimbang serta-merta menolak kemenangan Partai Keadilan. Mark Parris, bekas Duta Besar Amerika untuk Turki, memang meragukan ketulusan nyanyian moderat Erdogan. "Masa depan kelihatan suram," katanya. Namun Gedung Putih menyatakan "menyambut gembira hasil pemilu Turki" itu. Bagaimanapun, kemenangan Partai Keadilan akan memunculkan dilema, baik bagi militer Turki maupun bagi Amerika. Pemerintah Amerika belum lama ini memperjuangkan Turki agar bisa segera masuk ke Uni Eropa demi menangguk dukungan negeri itu dalam perangnya melawan Saddam Hussein. Tapi Eropa menolaknya. Dan kini, sementara para politikus sekuler telah gagal menarik dukungan, banyak rakyat Turki makin yakin bahwa, Islam atau tidak, Eropa tak akan pernah bisa menerima negeri itu ke pangkuannya. Raihul Fadjri (Reuters, AP, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus