Sebuah Toyota Land Cruiser merayap di atas gurun pasir. Mobil dengan enam penumpang itu baru pulang dari tanah pertanian. Di atas ketinggian 25 ribu kaki, sebuah kamera—yang terpasang dalam pesawat predator tanpa awak—merekam setiap gerakan mobil itu dengan penuh awas. Tiba-tiba kesenyapan gurun pasir terkoyak oleh ledakan rudal Helfire yang dimuntahkan dari perut predator tersebut. Mobil Toyota itu hancur berkeping-keping beserta seluruh isinya. Beberapa saat kemudian, gurun pasir itu senyap kembali.
Kisah ini bukan adegan dalam film bikinan Hollywood. Ini lakon dalam kehidupan nyata yang terjadi pada Minggu delapan hari yang lalu, di Provinsi Marib, Yaman. Keenam korban—menurut versi Amerika—adalah tersangka operator Al-Qaidah. Satu di antaranya, Ali Qaed Sunian al-Harithi, orang yang diduga otak dari serangan terhadap USS Cole, kapal perang milik AS, pada tahun 2000. Adapun pesawat predator yang meluluh-lantakkan Toyota tersebut diluncurkan oleh CIA (badan intelijen Amerika) yang sedang gencar mengejar para pendukung Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.
Puluhan ribu kilometer dari Yaman, di Washington, Deputi Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz menyebut pembunuhan di gurun pasir tersebut sebagai operasi taktis yang sukses. Namun kecaman segera meluncur dari mana-mana. Menteri Luar Negeri Swedia Anna Lindh dengan pedas mengatakan, "Bahkan jika Yaman menyetujui aksi tersebut, ini tetap saja merupakan eksekusi yang melanggar hak asasi manusia."
Anna Lindh punya alasan kuat. Jika Amerika mulai gemar mengirimkan robot pembunuh tanpa awak ke mana-mana, kata Lindh, "Semua negara bisa mulai mengeksekusi orang-orang yang mereka anggap teroris." Seakan menjawab kritik dari Swedia itu, mantan senator Warren B. Rudman, yang pernah menjadi anggota badan penasihat intelijen asing mantan presiden Bill Clinton, mengatakan, "Tidak ada aturan dalam perang terhadap terorisme. Mereka (teroris) juga tidak memiliki (aturan)."
Kantor berita Reuters menyiarkan bahwa serangan mematikan tersebut dilaksanakan atas restu langsung dari Presiden AS George W. Bush. Dan kebijakan ini sesungguhnya bukan hal baru. Serangan pesawat—dengan atau tanpa awak—ke berbagai target yang ditentukan sendiri oleh Amerika sudah terjadi di Afganistan dan Pakistan. Mohammad Atef, yang diduga orang ketiga di Al-Qaidah, misalnya, ditumpas dengan pesawat sejenis di Afganistan.
Tapi di Yaman, yang menjadi bagian dari negara-negara Arab? Ini yang mengagetkan. Selama ini AS tidak lagi beraksi dengan serangan terbuka di kawasan Arab. Pihak AS hanya menyediakan bantuan pelatihan dan informasi kontraterorisme. Tapi pelaksanaannya terserah kepada pemerintah di negara-negara Arab itu sendiri. Alhasil, serangan yang mematikan enam orang itu—seorang di antaranya, Jalal, disebut-sebut sebagai warga negara AS—boleh dikata menandai babak baru dalam perang melawan terorisme oleh Amerika.
Insiden di padang pasir Yaman itu menunjukkan bahwa Amerika bukan saja sudah kehilangan kesabaran, tapi juga mulai kalap. Setidaknya itulah komentar sejumlah diplomat asing di Yaman. Salah satu dari mereka mengatakan, "Serangan itu adalah semacam cermin kekalapan AS yang mulai putus asa karena gagal memburu target utama mereka." Target utama?
Mungkin kita semua masih ingat bahwa saat mengirimkan balatentaranya ke Afganistan, Presiden Bush bersumpah dengan suara bergelora di hadapan publik Amerika dalam setiap pidatonya: "akan mencari pimpinan Al-Qaidah hidup atau mati, dengan taruhan apa pun." Amerika memang sukses menjadi "sponsor" jatuhnya Taliban dan naiknya Hamid Karzai yang pro-Barat di Afganistan. Toh Mr. Bush belum kunjung berhasil memenuhi sumpahnya kepada rakyat Amerika untuk mencokok Bin Ladin.
Pemerintah Yaman sendiri masih bungkam mengenai serangan ini—kecuali secara resmi mengatakan akan melakukan penyelidikan atas insiden di Marib. Namun, melihat mudahnya pesawat CIA itu melenggang masuk, diduga bahwa pemerintah Yaman sebetulnya tahu tapi memilih "tutup mata" . Maklum, Presiden Ali Abdullah Saleh sendiri sudah gerah oleh perilaku Al-Harithi. Desember tahun silam, dalam sebuah upaya menangkap tersangka operator Al-Qaidah ini, sejumlah tentara Yaman tewas. Namun yang diburu kabur dan lolos.
Seorang mantan penasihat Bill Clinton yang mengamati serangan di Yaman itu memutuskan untuk memberi nasihat kepada George Bush. Katanya "Kita harus menjamin bahwa pemerintah AS tidak menjadi hakim, juri, dan algojo di seluruh dunia."
Purwani D. Prabandari (The Washington Post, The New York Times, The Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini