Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tiga Menggoyang Afganistan

ISIS, Taliban, dan Al-Qaidah berebut pengaruh di Afganistan. Rencana pemilihan umum bisa gagal.

20 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tiga Menggoyang Afganistan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari penuh pasukan komando Afganistan dan Angkatan Udara Amerika Serikat dengan senjata berat menyerbu Farah, ibu kota Provinsi Farah, Selasa pekan lalu. Kota terpadat di Afganistan barat itu selama berbulan-bulan dikuasai Taliban. Amerika mengirim banyak drone pada malam hari untuk menyasar kantong-kantong pertahanan kelompok gerilyawan itu. Toko, kantor, dan sekolah tutup selama perang berlangsung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rabu pagi pekan lalu, pasukan Afganistan merebut kembali kota itu. Taliban dipaksa mundur ke pinggiran kota. Menurut Abdul Basir Salangi, Gubernur Provinsi Farah, sekurang-kurangnya 25 tentara dan 5 warga sipil tewas dalam perang itu. Sedikitnya 300 personel Taliban juga terbunuh. "Kota Farah tetap di bawah kendali pemerintah. Tentara Nasional Afganistan, dengan dukungan pasukan udara Amerika-Afganistan, telah menyerang Taliban," kata Letnan Kolonel Martin O'Donnell, juru bicara pasukan koalisi Amerika-Afganistan, seperti dikutip Al Jazeera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut laporan Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afganistan (SIGAR)-lembaga bentukan Amerika yang mengawasi penggunaan dana pembangunan Negeri Abang Sam di negeri itu-para pemberontak telah menguasai atau mempengaruhi 13,3 persen atau 54 dari 407 distrik di 34 provinsi di Afganistan. Jumlah ini naik dari hanya 7 persen pada November 2015. Pemberontak dan pemerintah masih memperebutkan 122 distrik.

Saat ini, kelompok pemberontak dan teroris terus mengusik Afganistan. Selain Taliban, yang merupakan sekutu dekat Al-Qaidah, ada jaringan Haqqani serta Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Padahal negeri itu sedang berjuang untuk bisa menggelar pemilihan umum legislatif. Pemilihan ini seharusnya berlangsung pada Oktober 2016, lalu ditunda ke Juli 2018, dan terakhir digeser ke 20 Oktober 2018. Namun serangan kelompok pemberontak telah mengganggu persiapan dan pasokan logistik pemilihan.

Awal April lalu, Presiden Afganistan Ashraf Ghani menegaskan pemilihan tetap akan berlangsung pada Oktober 2018. Presiden Ghani bahkan menyerukan agar Taliban mendukung pemilihan umum. "Pemilihan umum yang transparan adalah satu-satunya alat untuk melakukan reformasi politik dan politik kekerasan dapat diganti dengan politik yang produktif," katanya. "Taliban dapat berperan sebagai partai politik serta memanfaatkan kesempatan dan tawaran perdamaian ini."

Tapi Taliban segera menolak tawaran itu dan bahkan menyerukan agar rakyat Afganistan memboikot pemilihan umum. "Afganistan telah diduduki ribuan tentara asing. Keputusan politik dan militer utama telah diambil alih oleh penjajah," kata kelompok itu dalam pernyataannya, akhir April lalu.

"Sudah kita saksikan dalam pemilihan umum dulu bagaimana rakyat telah ditipu dan keputusan akhir diambil oleh John Kerry (mantan Menteri Luar Negeri Amerika)," tulis Taliban dalam medianya, merujuk pada pemilihan presiden yang macet pada 2014, yang berujung pembentukan pemerintahan koalisi.

ISIS juga menolak pemilihan umum. Dalam edisi 130 koran mereka, Al-Naba, yang beredar Ahad dua pekan lalu, kelompok teroris itu menggambarkan para legislator dan pejabat terpilih sebagai "tiran" dan pemilih sebagai kaum "politeis". Mereka mengecam kelompok Salafi dan faksi jihad yang sikapnya tak jelas terhadap demokrasi dan kadang malah mendukung pemilihan umum. Karena itu, ISIS menyatakan akan menyerang "kuil-kuil agama demokrasi", seperti tempat pemungutan suara, parlemen, dan gedung pengadilan. Mereka juga mengancam akan membunuh setiap "politeis" yang mendukung "ritual agama demokrasi".

Di koran itu pula ISIS mengklaim tentaranya telah membunuh dan mencederai hampir 40 orang dalam berbagai serangan terhadap pawai dan pusat pemungutan suara di Irak, Afganistan, dan Libya.

Salah satu serangan dilakukan ISIS terhadap kantor pajak di Jalalabad, Provinsi Nangarhar, kota yang terletak sekitar 150 kilometer dari Ibu Kota Kabul, Ahad dua pekan lalu. Dua teroris menyerang gedung dengan senjata otomatis dan misil antitank. Baku tembak antara mereka dan pasukan keamanan terjadi beberapa jam sebelum teroris meledakkan diri dan sebuah bom mobil meletus. Serangan itu membunuh sedikitnya 15 orang dan mencederai 42 lainnya.

Sebelumnya, sejumlah wartawan menjadi korban ketika sedang meliput aksi seorang teroris yang meledakkan diri di dekat Direktorat Keamanan Nasional di Kabul, akhir April lalu. Sedikitnya 25 orang terbunuh, termasuk 9 wartawan, dan 49 orang cedera. "Pengebom itu menyamar sebagai wartawan dan meledakkan dirinya di tengah kerumunan," ucap Hashmat Stanikzai, juru bicara kepolisian setempat, kepada AFP.

Sepekan sebelumnya, pelaku peledakan bunuh diri ISIS menyerang sebuah tempat pendaftaran pemilihan umum di Kabul. Serangan ini membunuh lebih dari 60 orang dan mencederai lebih dari 120 lainnya.

Pemerintah Afganistan serta tentara Amerika yang diterjunkan ke sana kini menghadapi tekanan besar dari kelompok pemberontak dan teroris. Setelah tersingkir dari Suriah, ISIS menyusun kekuatan di negeri ini. Pertengahan Mei lalu, Al-Qaidah menyerukan agar para gerilyawan ISIS meninggalkan "kekhalifahan" yang berantakan di Irak dan Suriah untuk menyemai lahan subur di Afganistan.

Pemimpin Al-Qaidah, Ayman al-Zawahiri, menyerukan agar kaum muslim melakukan jihad melawan Amerika dan negara-negara Barat lainnya setelah Amerika memindahkan lokasi kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Dia mengutip pernyataan Usamah bin Ladin bahwa Amerika tak akan aman "hingga kita, kaum muslim, tinggal di Palestina dan hingga semua tentara kafir angkat kaki dari jazirah Arab".

Amerika menjawabnya dengan menjatuhkan "induk segala bom" ke sebuah kompleks gua yang digunakan ISIS di Afganistan. Ledakan GBU-43/B Massive Ordnance Air Blast Bomb, bom non-nuklir paling kuat saat ini, membunuh 94 tentara ISIS. Tapi, menurut sumber keamanan kepada ITV, meski serangan militer itu meningkat, ISIS terus tumbuh. Tahun lalu, sekitar seribu gerilyawan ISIS berperang di daerah tersebut. Kini, lebih dari 1.200 gerilyawan berusaha membangun kekhalifahan baru di sana.

Seorang komandan ISIS membenarkan bahwa mereka bekerja sama dengan ISIS di Timur Tengah untuk melancarkan serangan di Afganistan dan negara lain. "Hubungan kami baik dan kami sudah berkoordinasi," ujarnya seperti dikutip ITV.

Dia mengklaim ISIS di Afganistan telah berhasil merekrut para gerilyawan Taliban. "Ada banyak yang dulu bersama Taliban dan sekarang menyatakan kesetiaannya kepada Khalifah Islam," katanya.

Afganistan kini jadi rebutan antara Taliban, sekutu dekat Al-Qaidah, dan ISIS. Mereka tak sejalan karena punya alasan dan tujuan berbeda. Majalah ISIS, Dabiq, yang terbit pada 2016 memuat wawancara dengan Syekh Hafidh Said Khan, "gubernur provinsi" Khorasan, kawasan yang diklaim ISIS meliputi Afganistan, Pakistan, dan sebagian wilayah sekitarnya. Hafidh menuduh Taliban bukan menegakkan syariat Islam, melainkan "hukum adat" dan "tradisi masyarakat". Dia menggambarkan Mullah Mansyur, emir Taliban, sebagai agen intelijen Pakistan.

Meski berebut pengaruh di wilayah itu, Taliban, Al-Qaidah, dan ISIS punya musuh bersama, yakni pemerintah Afganistan dan Amerika Serikat. Taliban adalah yang terkuat di antara mereka. Pemerintah berusaha berdamai dengan kelompok yang telah menggoyang Afganistan sejak 1994 itu. Tapi Taliban menuntut perundingan langsung dengan Amerika dan meminta semua tentara asing keluar dari negeri itu. Rencana perdamaian pemerintah dengan Taliban tampaknya makin suram setelah berbagai serangan dilancarkan Taliban dan kelompok teroris lainnya belakangan ini.

Mohammad Omer Noori, profesor di Ibne Sina University, mengatakan 2018 adalah tahun yang menentukan bagi rakyat Afganistan. "Perang dan perundingan akan bergerak maju secara bersamaan, dan mudah-mudahan Taliban akan meletakkan senjata mereka untuk memajukan kepentingan mereka melalui partisipasi politik dan cara-cara damai," ujarnya kepada Xinhua.

Iwan Kurniawan | Al Jazeera, AFP, ITV, Xinhua

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus