Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tiga pembunuhan dari iran ?

Bekas pm iran shahpur bakhtiar,75, tewas dibunuh 3 lelaki tak kenal di kota suresnes, prancis. diduga motif pembunuhan itu upaya merusakkan hubungan ba- ik prancis-iran. korban berikutnya menyusul.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbagai dugaan motif pembunuhan bekas perdana menteri Iran. Konon, korban berikut segera menyusul. DI ruang duduknya itulah, Shahpur Bakhtiar menyongsong kematiannya, Selasa pekan lalu. Sore sudah mulai turun di Kota Suresnes, Prancis, tatkala tiga orang Iran menunjukkan kartu identitasnya pada polisi Prancis yang bertugas menjaga rumah bekas perdana menteri Iran itu. Tak ada yang mencurigakan ketika ketiga tamu, yang rupanya sudah dikenal Bakhtiar, memberi salam pada tuan rumah yang sedang berbaring santai di sofa. Mestinya, dua orang di antaranya sempat menyelinap ke dapur dan mengambil pisau roti dan pisau dapur karena pisau itulah yang bersimbah darah di ruang itu. Shahpur Bakhtiar, lelaki tua berusia 75 tahun tersebut, digorok lehernya. Mayatnya ditutup dengan selimut, dan jam Rolex pemberian Raja Fahd dari Saudi hilang dari pergelangan tangannya. Pembantunya Fouroush Katibeh, mati ditusuk. Tampaknya, para pembunuh meninggalkan tempat itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Baru dua hari kemudian, karena anak lelakinya yang jadi polisi Prancis tak bisa menghubungi ayahnya lewat telepon, pembunuhan diketahui. Presiden Prancis Francois Mitterrand, yang menurut rencana akan berkunjung ke Teheran, Oktober mendatang, merasa terpukul. Menteri Kehakiman Prancis diperintahkannya membentuk satuan khusus untuk melakukan penyelidikan. Dari pemeriksaan sementara, diduga salah satu tamu itu adalah Fereidoun Boyer Ahmadi, seorang keturunan Iran Barat, kenalan baik Bakhtiar. Ia tinggal di Reims, Prancis Timur sejak 1984. Ahmadi, yang punya keluarga di Prancis -- simpatisan gerakan yang dipimpin Bakhtiar -- tampaknya membunuh karena butuh uang, karena ia bukan Islam fanatik. Sebelum menghilang, ia yang biasanya melarat, banyak mengumbar uang. Sementara, dua pembunuh lainnya, memakai paspor palsu dengan nama Vakili Rad dan Azadei Mohammad. Mereka baru tiba di Prancis dari Teheran, Juli lalu. Dugaan yang cepat muncul adalah, pembunuhan ini merupakan upaya merusakkan hubungan Prancis-Iran yang mulai membaik, sejak dua tahun lalu, sejak kematian Ayatullah Khomeini. Ketika itu Prancis melepaskan lima teroris pro-Iran yang ditahan. Mereka, diduga anggota kelompok Hisbullah di Libanon, diganjar hukuman seumur hidup karena terlibat percobaan pembunuhan terhadap Shahpur Bakhtiar pada tahun 1980, yang menewaskan seorang polisi Prancis dan seorang pejalan kaki. Sebagai imbalan lima warga Prancis yang disandera oleh kelompok radikal yang didukung Iran di Libanon dibebaskan. Hubungan diteruskan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Velayati ke Paris, menyampaikan undangan ke Teheran pada Mitterrand, Juli lalu. Sekaligus Velayati minta agar Prancis mengekstradisi, atau paling sedikit membungkam, para pelarian Iran di Prancis. Imbauan itu ditolak. Konon, menghangatnya hubungan Iran-Prancis ini oleh kelompok militan pro-Iran, antara lain kelompok Islam Jihad atau Partai Allah (Hisbullah) di Libanon, dianggap sebagai ancaman. Hubungan itu dicemaskan akan menjadi awal kembalinya pengaruh Barat di Iran khususnya, di beberapa negara Timur Tengah umumnya. Dari dugaan inilah kini Prancis menuduh kelompok Hisbullah, anggota gerakan internasional Muslim Syiah yang dahulu dibentuk oleh Ayatullah Khomeini sebagai gerakan bawah tanah, sebagai pelaku pembunuhan Shahpur Bakhtiar. Tapi Ayatullah Mehdi Rouhani, wakil kelompok Muslim Syiah di Eropa, membantah. Dugaan lain datang dari bekas presiden pertama di masa Republik Islam Iran, Abolhasan Bani Sadr. Ia, yang melarikan diri ke Prancis pada 1979, menduga pembunuhan itu ada hubungannya dengan pembebasan sandera Inggris, John McCarthy, dua hari setelah pembunuhan. "Sebagai imbalan pembunuhan itu, seorang sandera dilepaskan," tutur Bani Sadr. Sebuah sumber intelijen Barat dan kelompok pelarian Iran di Paris punya analisa lain lagi meski kesimpulannya hampir sama dengan dugaan pertama, yakni upaya merusakkan hubungan Iran dengan Barat. Kata mereka, yang dikutip oleh Reuters, semua itu merupakan kesalahan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani. Pertama, Rafsanjani dianggap terlalu cepat condong ke Barat. Ini menimbulkan antipati dalam diri kelompok garis keras, yang sejak meninggalnya Ayatullah Khomeini tampak tersisihkan. Kesalahan Rafsanjani kedua, ia dituduh tak becus mengurus ekonomi. Di bawah pemerintahannyalah ekonomi Iran terasa tak berkembang, malah merosot. Buktinya, jasa pelayanan makin buruk, dan harga pangan kian membubung. Untuk mengatasi kemerosotan itu, lebih celaka lagi, kata mereka, Iran membuka diri untuk turis Barat dan modal Barat. Bahaya Barat inilah yang hendak dihindarkan oleh kelompok garis keras. Kabarnya, melalui bekas Menteri Dalam Negeri Ali Akbar Mohtashemi, yang mempunyai kontak dengan Hizbullah, diaturlah pembunuhan itu guna merusakkan hubungan Iran-Barat. Pemerintah Iran langsung membantah spekulasi itu. Bila demikian, bila dugaan-dugaan itu dibantah, lalu apa motif pembunuhan orang tua ini? Tak banyak yang tahu apa yang dikerjakan Shahpur Bakhtiar sejak ia tinggal bersama keluarganya, di rumahnya yang mewah yang beratap warna merah itu. Di rumah di atas bukit itu Bakhtiar biasa memandangi ketenangan Sungai Seine. Ia tak asing dengan Prancis. Di Universitas Sorbonne, Prancis, ia meraih gelar sarjana hukumnya. Sarjana hukum itu menjadi tokoh pemerintahan yang sikapnya sangat moderat. Karena itulah Syah Mohammad Reza Pahlevi mengangkatnya sebagai perdana menteri, ketika kaum mullah bangkit di Iran pada akhir 1970-an. Harapan Syah Iran itu, kompromi bisa diwujudkan. Memang, Bakhtiar dengan berani melepaskan tahanan politik, menghapuskan UU darurat, dan membuka bandara Teheran bagi kedatangan Ayatullah Khomeini dari Prancis. Namun, itu tak melunakkan pemimpin kaum mullah itu. Revolusi Khomeini jalan terus, monarki Iran runtuh. Syah Iran lari, Bakhtiar bersembunyi. Pengadilan Revolusi Islam Iran menjatuhkan hukuman mati in absentia pada Bahktiar. Akhirnya, setelah bersembunyi enam bulan di Iran, Bakhtiar muncul di Paris. Mula-mula tampaknya optimisme masih meliputi pelarian ini. Pada 1980 ia bentuk Gerakan Perlawanan Nasional, untuk menghimpun kaum oposisi Iran di luar negeri. Tujuannya jelas, menumbangkan Republik Islam Iran di bawah Khomeini. "Struktur ekonomi Iran sudah hancur," katanya waktu itu. "Lidah manusia diikat, dan pena-pena dipatahkan." Dengan Gerakan Perlawanan itu Bakhtiar pernah bermimpi ingin menghidupkan kembali monarki Iran. Gerakan ini makin lama makin surut meski masih ada juga pengikutnya. Terbukti, begitu kematian Bakhtiar tersiar, berbondong orang Iran datang ke rumah duka, membawa potret bekas perdana menteri itu, dan menangis. Mungkinkah Bakhtiar sekadar korban kebencian masa lalu, sebagaimana yang terjadi dengan tewasnya dua penerjemah novel Ayat-Ayat Setan? Novel itu oleh Ayatullah Khomeini dinilai menghujat Tuhan. Ia menjatuhkan hukuman mati pada pengarangnya, Salman Rushdie. Namun, kelompok radikal pun mengancam para penerjemah novel yang sudah dialihbahasakan ke sejumlah bahasa pengarang ini. Beberapa waktu lalu penerjemah novel tersebut ke bahasa Jepang dibunuh. Penerjemah lain, ke bahasa Italia, luka parah ditusuk tamu yang konon orang Iran. Bila memang ya, tampaknya berita dikirimkannya pasukan pembunuh oleh Iran untuk mencari musuh-musuh Revolusi Iran bukan omong kosong. Teori ini didukung oleh Bani Sadr, yang mengaku mempunyai daftar nama calon korban berikutnya. Didi P (Jakarta), Djafar S. (Kairo), UT (Paris)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus