Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Evolusi damai lewat kaus oblong ?

Pemerintah cina mensensor ketat segala yang memba- hayakan revolusi kebudayaan. termasuk tulisan kaus oblong, musik, seni rupa, dan berbagai pertunju- kan. kemurnian sosialisme cina dipertahankan.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tulisan pada kaus oblong, musik, pameran seni rupa, dan berbagai macam pertunjukan kini disensor ketat di Cina. Itu untuk mempertahankan kemurnian sosialisme, katanya. REVOLUSI Kebudayaan hidup lagi. Salvo pertama ditembakkan oleh tokoh garis keras anggota komite sentral, Deng Liqun, dalam sebuah rapat tertutup Partai. "Kita harus menilai kembali Revolusi Kebudayaan," kata Deng, sebagaimana dikutip surat kabar South China Morning Post. Dan menurut dia, "Sepuluh tahun dalam kekacauan" di masa Mao Zedong banyak segi yang baik dan benar yang harus dihargai. Dan dilanjutkan. Maka, pada hari-hari belakangan ini suasana banyak larangan kembali muncul di Cina. Yang dilarang, mudah ditebak, hal-hal yang dianggap berbau "borjuisme dan kapitalisme". Pekan silam pemerintah mengumumkan larangan memakai dan membuat kaus oblong yang ada tulisannya yang "negatif". Sejak Deng Xiaoping mengumumkan Cina sebagai negara terbuka, kaus oblong bertuliskan pesan-pesan pendek pun jadi populer. Mula-mula, pesan yang tertulis di kaus kegemaran muda-mudi itu berbahasa Inggris. Belakangan, pesan itu muncul juga dalam bahasa Cina, hingga mudah dipahami banyak orang. Umpamanya, dalam bahasa terjemahan: "Aku hanyalah berusaha memberi makan keluargaku", atau "Aku sedang stres, jangan ganggu". Yang lain berbunyi: "Aku bosan, jangan coba mengusik aku." Dibandingkan pada masa demonstrasi mahasiswa di Tiananmen dua tahun lalu, semboyan itu tentulah bisa dibilang tak berbau politik. Dulu, kaus-kaus oblong bertuliskan tuntutan demokrasi atau kecaman terhadap Partai. Tapi yang politis dan yang kocak itu pun dilarang. Polisi Beijing pun, Ahad 4 Agustus lalu, menggerebek sebuah rumah tinggal yang dijadikan pabrik sablon kaus. Pihak berwajib, kata pengumuman pemerintah, telah menyita lebih dari 940 kaus yang siap dipasarkan, menahan alat-alat sablon, memblokir rekening bank sebesar 12 ribu yuan (sekitar Rp 5 juta), dan kemudian mencabut izin usahanya. Yang lebih serius, larangan segala macam bentuk hiburan dan pertunjukan yang dianggap membahayakan "karakter sosialis Cina". Sensor ketat kini diterapkan pada peragaan busana, musik, pameran seni rupa, dan segala macam tontonan. Kini tak mungkin lagi terlihat, umpamanya, gedung teater yang berupaya menarik penonton dengan memejeng kaum wadam. Kebijaksanaan baru yang berlawanan dengan semangat reformisme ini diumumkan dalam penerbitan pemerintah Harian Hukum. Wakil Menteri Kebudayaan Gao Zhanxiang memperingatkan pentingnya mengatur kebudayaan Cina agar mampu bertahan terhadap ancaman "evolusi secara damai" kaum imperialis. "Evolusi secara damai", inilah teori kecurigaan baru di Cina terhadap kaum imperialis. Pada dasarnya teori itu mengatakan, "kaum imperialis baru" sedang berusaha mengubah sistem sosialis Cina menjadi kapitalisme secara damai dan pelan-pelan, hingga mula-mula tak terasa sebagai kegiatan musuh. Peristiwa Tiananmen, menurut teori tersebut, adalah salah satu bentuk "evolusi secara damai" itu. Dilancarkannya larangan bergaya Revolusi Kebudayaan itu tentu saja mengejutkan. Sudah sekitar 10 tahun ini Partai Komunis Cina secara resmi menganggap Revolusi Kebudayaan sebagai suatu kekeliruan. Bagi Deng Xiaoping dan para pendukung reformasi, semua kebijaksanaan Mao Zedong sejak 1957 sangat keliru. Belum jelas, reaksi kelompok reformis terhadap semangat membela Mao ini. Yang bisa ditebak, beda pendapat dan sikap di pucuk pimpinan Partai semakin tajam. Generasi tua pejuang komunis cenderung mempertahankan sistem yang mereka bina lebih dari 40 tahun. Golongan lebih muda ingin sesuatu yang baru, karena angin keterbukaan yang melanda semua negara tampaknya tak mungkin dibendung. Dalam pertentangan itu, berdirilah kelompok birokrat yang mencoba berjalan di tengah. Inilah yang sejalan dengan kebijaksanaan yang diletakkan oleh Deng: keterbukaan tapi dengan sistem yang sudah ada. Para pengamat Cina khawatir, bila pemerintah tak menemukan jalan keluar yang memuaskan kedua pihak, konflik yang meledak jadi pertumpahan darah seperti dalam peristiwa Tiananmen bisa terulang. A. Dahana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus