Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Contohlah kami, kata bush dan gorby

Jalan perundingan arab-israel samar-samar mulai tergambar. kendati tak semua masalah bisa dipecah- kan, tapi permusuhan bisa dijauhkan. beberapa usul bagaimana perundingan damai bisa diwujudkan.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mulai muncul usul-usul bagaimana perundingan Israel-Arab bisa diwujudkan. Tirulah Anwar Sadat, juga George Bush dan Mikhail Gorbachev. Berunding dulu, soal hasil, kemudian. RENCANA perundingan Arab-Israel belum membentur jalan buntu. Malah, jalan keluar samar-samar mulai tergambar. Yang samar-samar itu adalah contoh yang diberikan oleh George Bush dan Mikhail Gorbachev, yakni bagaimana dua negara yang bermusuhan kini bisa duduk berunding dengan santai. Contoh itulah, duduk semeja dalam perundingan, diharapkan ditiru oleh pihak Israel dan Arab. Tidak semua masalah bisa dipecahkan, tapi yang jelas permusuhan bisa dijauhkan. Kelompok-kelompok moderat di kedua pihak, Israel dan Arab, bahkan mulai menunjukkan contoh lama, yakni duduk berundingnya Mesir dan Israel pada 1978 di Camp David. Jadi, kata mereka, mengapa Shamir dan pemimpin Arab tak mencontoh Anwar Sadat, yang berani meninggalkan rekan-rekannya seperjuangan yang tak sependapat demi terwujudnya perdamaian? Dahulu presiden Mesir itu meninggalkan PLO, Suriah, Yordania, Arab Saudi. Meski Mesir kemudian dikucilkan oleh negara-negara Arab, dan Israel terpaksa mengembalikan Dataran Tinggi Golan, Sadat sudah membuktikan hidup damai mungkin dicapai. Jadi, mengapa PLO harus dipaksakan ikut bila Israel tak menghendakinya? Mengapa Shamir masih harus mendengarkan suara kelompok radikal yang tak mau kehilangan seinci tanah Israel termasuk wilayah pendudukan? Bukannya tak mungkin setelah pemimpin Arab yang lain bersedia berunding, akhirnya PLO bisa dilibatkan. Bila ternyata hasil perundingan bisa membuat nyenyak tidur orang Israel, apakah kelompok radikal tak mungkin berubah sikap? Begitu perundingan disepakati, meski belum melibatkan semua negara Arab, negara-negara Arab masing-masing akan membicarakan masalahnya dengan Israel. Tempat perundingan bisa ditentukan kemudian. Washington, Jenewa, dan Kairo sudah disebut-sebut. Israel-Suriah Bila dua pihak ini duduk di meja perundingan, masalah pokoknya tentulah soal Dataran Tinggi Golan. Wilayah di ujung timur laut Israel, atau di barat daya Suriah seluas 1.200 km2 (sedikit lebih kecil dari dua kali luas DKI Jakarta) ini direbut Israel dari Suriah dalam perang enam hari pada tahun 1967. Bagi Israel, Golan sekarang merupakan benteng alam yang strategis. Dari punggung dataran tinggi inilah tentara Israel mudah mengawasi penyusup yang mungkin datang dari wilayah Suriah. Israel tak akan begitu mudah melepaskan dataran tinggi ini. Paling tidak, suatu persyaratan berat akan diminta oleh pihak Israel kepada pihak Suriah bila harus kehilangan Golan: jaminan bahwa tak akan ada serangan lewat benteng alam ini. Di pihak Suriah, selain Golan sebagai benteng alam, kembalinya dataran tinggi ini juga bisa menjadi simbol kemenangan dalam perundingan. Dalam wawancara dengan majalah Newsweek pekan lalu, Assad mengatakan dengan tegas, "Tak akan ada perdamaian apabila satu pihak masih terus menguasai wilayah pihak yang lain." Suriah selama ini tentu merasa risi, menyadari bahwa di sebuah bukit di perbatasannya bercokol tentara Israel mengawasi wilayahnya. Namun, seberapa kuat negosiasi bisa diberikan oleh Suriah? Dari satu sisi, Suriah boleh waswas. Pendukung politik dan pemasok senjata utamanya, Uni Soviet, makin lama makin lemah. Beruang Merah tak mungkin lagi diharapkan membantunya menggertak Israel. Kemungkinan itu diperjelas oleh surat Mikhail Gorbachev pada Assad Juli lalu. Menurut seorang pejabat Soviet yang dikutip majalah Time, dalam surat itu Gorby menegaskan bahwa tak akan mendukung Suriah bila ada perang. Di sisi lain, Hafez Assad boleh mengharapkan dukungan, yakni dari Amerika Serikat. Paman Sam tentu tak akan melupakan jasa Suriah dalam Perang Teluk melawan Saddam Hussein. Kini saatnya memanfaatkan utang budi ini. Dalam hal Perang Teluk, Israel tentulah punya piutang pula kepada AS. Negara Yahudi ini sudah memenuhi permintaan Amerika untuk tak melibatkan diri melawan Saddam. Satu hal yang bisa jadi kelemahan Israel bila AS mempersoalkan pembangunan permukiman di wilayah pendudukan. Sudah beberapa kali George Bush mengimbau agar Israel menghentikan usaha itu, yang secara tidak langsung mendesak bangsa Palestina di Tepi Barat, tapi tak ditanggapi Israel. Seorang pengamat Timur Tengah yang menulis di surat kabar Washington Post, Jackson Diel, meramalkan perundingan Shamir- Assad bakal seru. Assad, katanya mampu menandingi liku-liku pikiran Shamir. Israel-Palestina Dari semua perundingan bilateral yang dilakukan Israel, inilah pertemuan yang diduga paling seru. Sebagai akibat kemenangannya dalam perang melawan negara-negara Arab pada 1967, Israel antara lain menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Di tiga wilayah ini, sebagian besar penghuninya adalah orang Palestina. Negara Palestina yang diproklamasikan Yasser Arafat beberapa tahun lalu, wilayahnya tak lain ya di tiga wilayah pendudukan tersebut. Persis, sebagaimana soal Golan, Israel tentu tak akan menyerahkan tiga wilayah ini pada bangsa Palestina. Yitzhak Shamir bahkan tegas-tegas menyatakan bahwa Yerusalem Timur tidak menjadi wilayah yang bisa diperundingkan. Ia telah mengintegrasikan Yerusalem yang kini ibu kota Israel itu. Dalam hal Israel-Palestina inilah bila sudah ada kata sepakat, misalnya, menjaga perdamaiannya selanjutnya akan begitu rumit. Negara Palestina punya dua wilayah. Gaza, sekitar 380 km2 di sisi barat Israel, di pantai Mediterania. Tepi Barat, seluas hampir 5.900 km2, yang terletak di timur Israel, berbatasan dengan Yordania. Bagaimana kedua bangsa ini, Israel dan Palestina, yang sudah bermusuhan selama lebih dari 40 tahun, bisa tidur nyenyak bila hidup bertetangga? Inilah masalah bagi Amerika dan Soviet, mungkin juga PBB, dan negara-negara Arab. Membuat satu sistem pengawasan hingga Israel merasa aman dari ancaman Palestina, dan sebaliknya. Suatu pengawasan yang akan berlangsung 24 jam sehari, dalam jangka panjang tak terbatas. Apakah pengawasan ini tak menimbulkan ketegangan sendiri, suatu hari, misalnya, di wilayah itu? Sebuah bom waktu yang menyimpan ledakan besar? Namun, sebelum itu semua terwujud, jalan yang mesti ditempuh keduanya masih belum pasti. Israel masih harus melunakkan sikapnya tentang wakil Palestina dari PLO dan Yerusalem Timur. Pihak Palestina masih harus menyatukan sikapnya pula. Sebab, suara-suara yang ingin agar Yasser Arafat diganti sejak intifadah meletus makin santer. Ada yang menilai Arafat lebih mendatangkan penderitaan daripada kesejahteraan bagi orang Palestina di wilayah pendudukan. Terutama karena ia memihak Saddam dalam Perang Teluk, dan menjauhi Presiden Suriah Hafez Assad. Pihak lain, organisasi yang lebih radikal, misalnya kelompok Jibril di Suriah, menilai Arafat kini suka kompromi dan sikapnya terlalu lunak. Umpamanya, Ketua PLO ini menekan gerilyawan Palestina yang berpusat di Libanon untuk menyerahkan senjata-senjata kepada tentara Libanon. Israel-Libanon Berbeda dengan perundingan bilateral yang lain, ini bukan mengupayakan Israel menyerahkan wilayah pendudukan, tapi mempersilakan Israel pulang kandang dari wilayah yang disebut "daerah pengaman". Ketika Israel menyerbu Libanon, karena membalas yang disebutnya serangan teroris Palestina yang diduganya bermukim di Libanon Selatan, 1978, tak tanggung-tanggung. Ketiga angkatan dikerahkan. Korbannya, sekitar 1.000 warga sipil Libanon dan 200 gerilyawan Palestina tewas, dan 200.000 pengungsi Palestina terusir dari kamp pengungsi di Libanon Selatan. Praktis, kala itu, Libanon Selatan dikuasai Israel. Setelah pembantaian di kamp Sabra dan Shatila oleh serdadu Israel, 1982, Israel makin menancapkan kukunya di Libanon. Tapi desakan Amerika, terutama, akhirnya membuat Israel mundur, tak sepenuhnya. Wilayah sepanjang 15 km di perbatasan, yang disebutnya "daerah pengaman", tetap dikuasainya. Yang bisa ditawarkan pihak Libanon tentulah jaminan tak bakal adanya serangan gerilyawan Palestina lewat perbatasan Israel- Libanon. Ini sudah dilakukan oleh Presiden Hrawi Juni lalu, dengan memindahkan dan melucuti permukiman Palestina dari Libanon Selatan. Mungkin, soal ini yang paling mudah disetujui Israel. Ia tak akan rugi apa pun kecuali ongkos penarikan pasukan. ADN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus