SETELAH berhari-hari diguncang demonstrasi, U Sein Lwin, yang belum sampai tiga minggu menjabat ketua Partai Program Sosialis Burma (PPSB) dan presiden Burma, Jumat malam pekan lalu, mengundurkan diri sebagai orang kuat Negeri Seribu Pagoda itu. "Hitler Burma telah ditumbangkan. Hitler Burma telah ditumbangkan," teriak massa, yang menghambur ke jalan-jalan merayakan kemenangan, tak lama setelah Sein Lwin menyampaikan berita pengunduran dirinya. Pagi esoknya, barikade yang dipasang di jalan-jalan seputar Kota Rangoon untuk menahan laju demonstran disingkirkan. Bangkai-bangkai mobil yang terbakar dalam huru-hara dibersihkan. Toko-toko dan kantor-kantor pemerintah, yang tutup sejak Senin pekan lalu, kembali dibuka seperti biasa. Yang masih dijaga ketat tentara tinggal gedung Balai Kota Rangoon, dan jalan-jalan seputar penjara Insein, tempat ribuan pengunjuk rasa ditahan. Untuk menumbangkan rezim Sein Lwin itu bukan tak sedikit korban yang bergelimpangan. Selama lima hari aksi protes, diduga tak kurang dari 1.500 demonstran mati ditembak polisi antihuru-hara dan tentara termasuk dua dokter dan dua perawat yang diberondong di halaman Rumah Sakit Pusat Rangoon. Menurut keterangan resmi yang dikeluarkan pemerintah akhir minggu lampau, cuma 95 pengunjuk rasa yang terbunuh dan 1.500 orang ditahan. Korban mungkin akan terus berjatuhan andai kata gelombang protes tak menjalar cepat ke seantero di Burma. Setelah massa bersenjatakan tombak, pedang, bambu runcing, sampai katapel, bergerak serentak di 26 kota tanpa mempedulikan undang-undang keadaan darurat dan pemberlakuan jam malam, pasukan keamanan akhirnya kewalahan juga menghadapi mereka. Di Rangoon, massa bahkan sempat menduduki sejumlah kantor polisi, dan tiga orang alat negara yang menolak menyerahkan senjata mereka itu dipenggal massa di tempat. Mengapa rakyat bangkit serentak melawan penguasa? Penyebab utamanya tak lain keadaan ekonomi Burma yang parah. Terakhir, Januari lalu, harga beras naik 400% menjadi sekitar Rp 3.000 per kilo. Padahal, pendapatan rakyat tak sampai sekilo beras sehari. Tak heran bila aksi protes di sejumlah kota dibarengi dengan aksi "pencurian beras" dari gudang-gudang milik pemerintah. Di Rangoon, pemerintah kehilangan beras jatah pegawai negeri sebanyals 16.000 karung -- rata-rata beratnya satu kuintal per karung. Kemarahan kemudian dimuntahkan massa pada semua yang "berbau pemerintah" Massa membakar kantor-kantor pemerintah, rumah pejabat, dan mobil dinas mereka. Pengunjuk rasa diberitakan bahkan sempat menguasai Kowsong, kota pelabuhan di selatan Burma, Rabu pekan lalu. Massa yang berhasil menduduki balai kota, sejumlah kantor polisi, dan kantor pos, mengancam akan membakar gedung-gedung yang mereka rebut jika mahasiswa yang ditahan pemerintah tak dibebaskan. Sumber-sumber diplomatik menyebutkan Pemerintah Kota Kowsong terpaksa mengabulkan tuntutan massa tersebut. Tapi berita perebutan kota pelabuhan itu, esoknya, dibantah pemerintah pusat di Rangoon. Sejak itu, situasi di Negeri Seribu Pagoda tersebut makin tak terkendali. Sejumlah kedubes mulai menutup kantornya dan bersiap-siap hengkang dari sana. Pemerintah makin panik ketika di masyarakat beredar desas-desus bahwa pasukan separatis Karen, yang tak henti merongrong pemerintah sejak Burma merdeka pada 1948, bakal menyerang, kota-kota di seantero negeri Tahu itu tak benar, lalu desas-desus itu mereka manfaatkan untuk menggalang persatuan. Hampir tiap malam siaran radio mengimbau masyarakat agar tenang. Para pendeta Budha dikerahkan untuk menenangkan massa. Tapi rakyat tak peduli. "Itu hanya taktik pemerintah untuk mengalihkan perhatian," kata seorang demonstran di Rangoon. Bahkan mereka juga tak mengacuhkan ancaman Panglima Angkatan Bersenjata Saw Maung, yang mengatakan, "para pengunjuk rasa bakal dicap anarki. Sampai Jumat siang, beberapa jam sebelum Sein Lwin mengundurkan diri, aksi protes masih terus berlangsung. Sudah tenangkah Burma setelah Sein Lwin turun? Tampaknya belum. "Semua belum berakhir. Perjuangan masih harus dilanjutkan," kata seorang mahasiswa aktivis dcmonstran. Para pengunjuk rasa yang turun ke jalan, Senin pekan ini, menuntut Sein Lwin segera diajukan ke meja hijau, semua tahanan politik dibebaskan, jumlah korban yang jatuh selama aksi dihitung secara benar dan pemerintah harus membayar ganti rugi pada keluarga yang ditinggalkan, PPSB supaya dibubarkan, dan dalam waktu paling lambat enam bulan pemilihan umum dilang sungkan. Tuntutan demonstran kecuali pembebasan ta hanan politik, kelihatan tak bakal dipenuhi pemerintah. PPSB, yang dituntut untuk dibubarkan, Jumat pekan ini, justru bersidang memilih pengganti Sein Lwin. Pemilihan kali ini dinilai para pengamat politik di Rangoon sebagai peristiwa paling penting dalam sejarah Burma. Mengapa? Untuk pertama kali dalam waktu 26 tahun, proses pemilihan pimpinan negara berada di bawah "tekanan" rakyat. Tak diketahui siapa calon kuat pengganti Sein Lwin. Dua nama yang banyak disebut-sebut adaah Aye Ko dan Kyaw Htin, orang nomor 2 dan nomor 3 dalam hirarki PPSB setelah Sein Lwim Kedua tokoh inilah yang menandatangani pengumuman pengunduran diri Sein Lwin, dan diduga mereka yang memegang kendali pemerintahan saat ini. Jabatan resmi orang nomor 2 PPSB, Aye Ko, adalah sekjen partai dan wakil ketua Dewan Negara. Tapi Aye Ko belum tentu sesuai dengan selera rakyat. Jika PPSB gagal memilih tokoh yang tepat, bukan mustahil massa akan turun lagi ke jalan-jalan. Lalu bukan tak mungkin pula militer bakal melancarkan kudeta. Ada dugaan, pemerintahan mendatang bakal dipegang secara kolektif untuk menghilangkan citra otokratis yang dijalankan selama ini. Ada pula perkiraan sistem multipartai akan diberlakukan lagi. Dugaan terakhir ini tersirat dari pidato pengunduran diri Ne Win sebagai ketua PPSB, akhir Juli lalu, yang mengusulkan diadakan referandum untuk sistem banyak partai. Usul itu ditolak sidang PPSB. Tapi satu hal, pengganti Sein Lwin diperkirakan bakal melakukan perbaikan sistem ekonomi. Tekanan untuk melakukan perubahan sistem ekonomi Burma, yang menjalankan politik pintu tertutup, terutama datang dari pemerintah Jepang, pemasok utama bantuan ekonomi bagi negeri bekas lumbung beras Asia itu. Tahun 1986, Jepang menyumbang US$ 244 juta atau 80% dari seluruh pinjaman lunak yang diterima Burma. Ada dugaan Ne Win memainkan peran dalam proses kejatuhan Sein Lwin. Tokoh tua itu disebut-sebut sengaja menjadikan pewarisnya, Sein Lwin, sebagai tumbal agar nama Ne Win tetap harum di mata rakyat. Betulkah? Senin pekan ini, para pemimpin Burma gencar melontarkan "gagasan-gagasan Ne Win" untuk meredakan aksi unjuk rasa. Surat kabar pemerintah, Botataung, sampai-sampai menurunkan tulisan tentang "ajaran" Ne Win -- dikutip dari pidato yang disampaikan bekas orang kuat itu pada 1963 -- bahwa "rakyat harus diajak berunding dalam memecahkan masalah negara". Selain itu, Botataung juga mengutip pernyataan Ne Win, Oktober tahun silam, yang menyebut tiap negara mempunyai cara dan gaya sendiri untuk menyelesaikan masalah masing-masing. "Tuntunan Ne Win itu harus diterima dan diikuti rakyat untuk menyatakan keinginan dengan cara yang benar," demikian imbauan corong resmi pemerintah itu. Imbauan yang belum tentu pula benar. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini