PARLEMEN Singapura membuka lembaran sejarah baru. Untuk pertama kali, Kamis pekan lalu, wakil-wakil rakyat dari pulau berpenduduk 2,5 juta jiwa itu tarik urat mengenai perombakan sistem pemerintahan negeri mereka. Bahan debat yang dituangkan dalam "Buku Putih" pemerintah itu meliputi soal pemilihan umum untuk menentukan presiden, pemberian hak veto kepada kepala negara menentukan anggota kabinet dan penggunaan dana cadangan negara, serta hak wakil presiden menduduki kursi karbinet maupun parlemen. Mengapa pemerintahan Perdana Menteri Lee Kuan Yew perlu mengusulkan kekuasaan baru bagi kepala negara Singapura? Lee 65 tahun, dikabarkan mau jadi presiden setelah mengundurkan diri sebagai PM, sekitar September depan, sesudah perayaan ulang tahunnya. Ia memerlukan hak veto untuk sejumlah hal penting, karena belum yakin kader-kader Partai Aksi Rakyat (PAP) sudah mampu mengambil alih kendali pemerintahan yang dilepaskannya. Selama ini jabatan presiden Singapura, yang calonnya dipilih berdasarkan usul PM kepada parlemen, tak lebih dari sekadar simbol dengan tugas membuka acara-acara resmi tingkat nasional. Para pengamat politik di Singapura memperkirakan, pemilihan presiden dengan kriteria jabatan baru dilakukan sebelum akhir 1988. Soalnya, Lee menyampaikan soal pengunduran dirinya secara resmi dalam pidato kenegaraan, menyambut hari ulang tahun kemerdekaan ke-23 Singapura, 9 Agustus lalu. Waktu itu Lee bahkan suah mengisyaratkan bahwa pemermtahan mendatang akan dikendalikan oleh sebuah tim. Tapi, "Hukum yang mengatur kekuasaan presiden terpilih harus dituntaskan lebih dulu," kata Sinnathamby Rajaratnam, tokoh senior PAP. Tentang calon pengganti Lee di kursi perdana menteri, kelihatan sudah tak ada masalah. "Saya ingin melihat non-Lee," kata Lee Kwan Yew kepada pers di Tokyo, beberapa pekan lalu. Ia mengaku tak ingin mempraktekkan nepotisme di Singapura. Sebelumnya, santer digunjingkan Lee akan mewariskan kursinya kepada putranya, Menteri Perdagangan dan Industri Brigjen. Lee Hsien Loong, yang meroket di pcntas politik sejak 1985. Calon kuat untuk jabatan perdana menteri dalam pemerintahan mendatang hampir dipastikan Goh Chok Tong, orang kedua dalam Kabinet Lee Kuan Yew. Dukungan terhadap Goh kabarnya sudah diberikan oleh menteri-menteri berpengaruh, termasuk Lee Hsien Loong. Goh dan Lec Hsien Loong adalah pendukung-pendukung Utama garis politik Lee Kwan Yew, yang menginginkan pemusatan kekuasaan di satu tangan -- PAP. Tapi keinginan mempertahankan garis politik lama itu membuat Toh Chin Chie waswas. Pendiri PAP yang tetap terpilih menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif selama 29 tahun itu menginginkan kelompok oposisi diberi jatah lebih banyak di parlemen. Menurut Toh, kalau saja oposisi diberi 10 kursi, Singapura akan memiliki klep pengaman untuk mencegah peledakan kerusuhan sosial. Bila suatu saat nanti kesabaran kelompok oposisi habis, kata Toh, hal itu akan menyulut gerakan radikal Singapura tak tanggung-tanggung. Soalnya, selama ini suara mereka nyaris tak pernah digubris. Di parlemen, hanya memperoleh satu kursi dari 78 yang tersedia. Di pemerintahan, tak ada sama sekali. Untuk mencegah timbulnya gerakan radikal itu, tambah Toh, Lee harus menghentikan usaha pergeseran sistem politik dari demokrasi sosialisme ke sentralisme. Toh mengemukakan Burma, yang kini terjebak dalam kerusuhan politik, sebagai contoh bahaya sistem sentralisasi. Bentrokan yang menewaskan ratusan rakyat Burma tak lain bersumber dari rasa tak percaya antara yang memerintah dan diperintah. Kini, di Singapura bibit konflik semacam itu sudah tumbuh. Banyak anak muda yang tak mau terjun ke kancah politik lantaran takut kehilangan pekerjaan. Apalagi "Buku Putih" yang disampaikan pemerintah akhir bulan lalu, kata anggota parlemen Chandra Das, juga menunjukkan kelemahan di sana-sini. "Apa yang terjadi kalau seorang wakil presiden memakai dua topi sekaligus, sebagai anggota kabinet dan parlemen?" tanya Das. Ia menambahkan wakil presiden akan bingung berpihak ke mana bila terjadi beda pendapat antara parlemen dan pemerintah. Persoalan lain yang merisaukan bilamana presiden dan wakil presiden tak searah. Apalagi kalau wakil presiden satu blok dengan perdana menteri, yang juga berbeda garis politik dengan kepala negara. Kekacauan tak akan terbendung. Perdana menteri kata Das, akan gampang memanfaatkan wakil presiden untuk meloloskan rancangan-rancangannya kala presiden mengadakan perjalanan panjang ke luar negeri. Untuk menghindarkan kemungkinan konflik semacam itu, Lau Teik Soon, juga anggota PAP, mengusulkan untuk memberlakukan sistem parlemen dua kamar. Maksudnya: parlemen lama ditambah dengan majelis tinggi, semacam senat di Amerika Serikat, yang bertugas mengawasi dana cadangan negara dan integritas pelayanan publik. Soal dana cadangan negara mendapat perhatian pentmg anggota parlemen Singapura, karena merupakan simbol kesejahteraan rakyat. Saat ini, Singapura punya dana cadangan US$ 31 milyar, sehingga Bank Dunia memasukkan Negeri Pulau itu sebagai salah satu di antara 20 bangsa yang makmur di dunia. Karena itu, usul Lee Kwan Yew agar pengawasan dana itu diserahkan pada presiden nyaris tak mendapat tantangan. Kenyataan-kenyataan itulah yang membuat anggota-anggota parlemen hanya menyampaikan usul tambahan untuk menambal kekurangan "Buku Putih." Bagaimanapun juga keinginan Lee Kwan Yew, setelah jadi presiden nanti, untuk mengontrol dana cadangan negara sulit ditolak. Kalau mereka tak ingin dana cadangan negara itu bisa dipakai sembarang pejabat. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini