Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jalanan Ibu Kota Dhaka tenang pada Senin, 22 Juli 2024, atau sehari setelah Mahkamah Agung sepakat memangkas jumlah kuota CPNS untuk keluarga veteran perang kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan dari 30 persen menjadi 5 persen. Kebijakan sistem kuota ini telah memancing kemarahan mahasiswa dan aktivis di penjuru Bangladesh hingga memicu gelombang unjuk rasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Minggu malam, 21 Juli 2024, demonstran memberikan waktu 48 jam pada Pemerintah Bangladesh untuk memenuhi tuntutan baru mereka, termasuk tuntutan permohonan maaf dari Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina atas kekerasan yang terjadi pada demonstran. Para pengunjuk rasa juga menuntut koneksi internet dipulihkan setelah sebelumnya dimatikan demi meredam gelombang unjuk rasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akan tetapi, pada Senin, 22 Juli 2024, sebagian besar warga mengabaikan aturan jam malam yang diberlakukan di sejumlah kota yang biasanya terjadi unjuk rasa. Setidaknya 147 orang tewas dalam gelombang unjuk rasa mahasiswa di penjuru Bangladesh berdasarkan informasi sejumlah rumah sakit. Juru bicara Kepolisian Bangladesh Faruq Hossain mengatakan setidaknya tiga aparat kepolisian tewas dan lebih dari seribu aparat luka-luka.
Hossain juga menjelaskan Kepolisian Dhaka telah menahan 516 orang yang diduga kuat terlibat dalam penyerangan. Sudah dua hari terakhir, diberlakukan libur nasional yang diperpanjang sampai Selasa, 23 Juli 2024, berdasarkan pemberitahuan dari Pemerintah.
Sejumlah ahli menyalahkan kerusuhan di Bangladesh karena angka pertumbuhan lapangan kerja di sektor swasta di Bangladesh mandek. Hal ini dibarengi tingginya angka pengangguran di kalangan anak muda. Pekerjaan sebagai PNS di Bangladesh sangat menggiurkan dengan gaji yang rutin naik dan previllage lainnya.
Hasina, 76 tahun, sudah empat kali dilantik sebagai orang nomor satu di Bangladesh. Di masa lalu, dia pernah dituduh otoritarianisme, melanggar HAM dan bertindak keras pada kebebasan berpendapat, namun segala tuduhan itu dibantah Pemerintah.
Sumber: Reuters
Pilihan editor: Turki Sebut Israel Harus Dihukum agar Kekejaman di Gaza Tidak Ditiru
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini