Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI terhadap peserta aksi Peringatan Darurat Kawal Putusan MK ke Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan banyak demonstran peserta aksi yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan yang dilakukan polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan peserta aksi dari berbagai daerah di Indonesia diduga mendapatkan kekerasan, penyiksaan dan kriminalisasi dari aparat kepolisian. Brutalitas aparat dalam menghadapi peserta aksi yang menyampaikan pendapatnya di muka umum, kata Arif, bukan pertama kali terjadi.
Dalam aksi-aksi sebelumnya seperti aksi Reformasi Dikorupsi, Mosi Tidak Percaya terhadap Omnibus Law Cipta Kerja serta aksi lainnya yang dilakukan warga untuk menolak proyek strategis nasional juga banyak memakan korban.
"Kalau kita mau tarik ke belakang itu bukan terjadi hanya di aksi peringatan darurat kemarin, tetapi di aksi reformasi dikorupsi, aksi omnibus law ciptaker, di mana terjadi penangkapan, penahanan sewenang-wenang," kata Arif kepada Tempo di Gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu, 11 September 2024.
Berdasarkan data yang dihimpul YLBHI, aksi reformasi dikorupsi telah menyebabkan setidaknya 1200 orang terluka, bahkan ada beberapa mahasiswa yang meninggal dunia
"Di omnibus sekitar 6 ribu orang, kurang lebih. Terakhir di aksi peringatan darurat kira-kira kalau ditotal, karena kita belum punya data total, ada 380an korban. Itu baru data dari media di seluruh indonesia. Yang luka-luka ada 254 orang," ucapnya
Dia mendesak agar Komnas HAM tidak sekadar membuat rekomendasi terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan aparat terhadap para demonstran.
"Peristiwa ini sistematis dan meluas. Ini institusi yang sama, kepolisian plus TNI. Ini yang menggerakkan siapa? Institusi kepolisian kan di bawah presiden," jelasnya.
Sehingga dia melihat bahwa kejahatan itu bukan lagi kejahatan oknum maupun kejahatan institusi, melainkan kejahatan negara.
"Karena itu tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme penyelesaian hukum biasa. Seperti mekanisme internal kepolisian, propam atau mekanisme etik," katanya.