Warisan Alexander tanpa Nasionalisme Pada zaman sekarang tak pantas di Eropa ada orang ditembaki, kata Helmut Kohl. Maka, gencatan senjata di Yugoslavia tercapai. Tapi bagaimana mempertahankan kerukunan? YANG terjadi di Yugoslavia pekan lalu bagaikan pertarungan dua pemain catur kawakan. Dua hari setelah Republik Kroasia dan Slovenia memproklamasikan kemerdekaannya Selasa pekan lalu, pemerintah federal Yugo segera mengirimkan pasukan untuk menduduki pintu-pintu gerbang di perbatasan Slovenia dengan Italia, Austria, dan Hungaria. Dan berhasil. Jurus ini segera menutup kemungkinan adanya bantuan dari luar negeri. Lalu Kroasia? Republik seluas 56.500 km2 ini (hampir seluas Jawa Timur tambah Bali dan Lombok) terjepit di antara Slovenia dan Serbia. Bila Slovenia sudah dikuasai oleh tentara federal, apa artinya republik dengan 70.000 tentara tanpa angkatan udara, dibandingkan 180.000 tentara federal yang komplet -- darat, laut, dan udara? Selain itu, Slovenia, di kertas, memang lebih mudah dikuasai daripada republik tetangganya. Republik ini hanya memiliki 40.000 tentara, dan senjata terberat yang dipunyai hanyalah rudal antitank. Pun dalam sejarah orang Slovenia belum tercatat sebagai tentara yang tangguh. Sedangkan orang Kroasia diakui keberaniannya dalam Perang Dunia II. Jangan pula dilupakan, pemimpin gerilya yang membebaskan Yugo dari tangan Jerman adalah Yoseph Broz Tito, pemimpin gerilya Kroasia. Lalu langkah apa yang dimiliki Slovenia dan Kroasia dalam pertandingan ini? Seumpama tentara federal menguasai seluruh Slovenia, tak lalu perlawanan patah. Menurut Joseph Fitchett, yang menulis di surat kabar International Herald Tribune, tentara Yugo juga dilatih perang gerilya. Konon, sebelum proklamasi dilaksanakan pekan lalu itu, milisia Slovenia sudah diperslapkan melakukan perang gerilya. Rabu, sehari sebelum serangan, milisia di Ljubljana, ibu kota Slovenia, sudah diperintahkan menyebar di seluruh sudut kota. Dan tentunya, tentara Kroasia tak akan tinggal diam bila itu terjadi. Memang benar, di pihak tentara federal, yang 80% perwiranya adalah etnik Seribia, juga memahami taktik gerilya itu. Kelebihan milisia Slovenia dan Kroasia tentu, mereka mengenal baik medan laganya. Ditambah kuatnya motivasi berjuang mereka karena "kami berjuang demi kemerdekaan tanah air dan bangsa," kata Menteri Penerangan Slovenia, Jelko Kacin. Tampaknya, melihat kekuatan lawan, masing-masing segera menyambut usulan tiga menteri luar negeri -- Italia, Belanda, dan Luksemburg. Seperti diketahui, begitu meletus perang saudara di Yugoslavia itu, Masyarakat Eropa segera berunding dan memutuskan mengutus tiga menteri luar negeri untuk mempertemukan yang bertikai, guna mencari penyelesaian. "Tak bisa diterima dalam situasi Eropa seperti sekarang orang ditembaki," kata Helmut Kohl, kanselir Jerman itu. Jumat pekan lalu, menteri luar negeri Italia, Negeri Belanda, dan Luksemburg tiba di Beograd. Mereka segera mengadakan perundingan dengan Perdana Menteri Yugoslavia Ante Markovic, dan Presiden Serbia Slobodan Milosevic, di ibu kota Serbia yang sekaligus juga ibu kota Yugoslavia. Sebenarnya, sehari sebelum kedatangan para menteri luar negeri Masyarakat Eropa itu, Dewan Kepresidenan Yugoslavia menyerukan gencatan senjata, dan agar Republik Slovenia dan Kroasia menunda kemerdekaannya sampai tiga bulan untuk memungkinkan perundingan diadakan. Pihak Serbia menyetujui seruan itu. Tampaknya, republik terbesar dalam federasi Yugo ini merasa sudah di atas angin. Tiga bandar udara di Slovenia, dan 28 check point di perbatasan Slovenia dengan Italia, Austria, dan Hungaria, sudah dikuasai tentara federal. Tapi Slovenia dan Kroasia menolak gencatan senjata. "Kami memang kalah persenjataan," kata seorang perwira Slovenia pada Reuters. "Tapi dua bulan terakir kami sudah berlatih perang gerilya." Tapi rupanya tiga menteri luar negeri yang membawa misi perdamaian itu bisa menjembatani pihak yang bertikai. Sehabis berunding di Beograd, Jumat itu juga ketiganya langsung terbang ke Zagreb, ibu kota Kroasia. Di sini sudah menunggu Presiden Kroasia Franjo Tudjman dan Presiden Slovenia Milan Kucan. "Kami secara pribadi menyampaikan imbauan perdamaian dari 12 pemimpin Masyarakat Eropa," kata Hans van den Broek, Menteri Luar Negeri Belanda. "Kami tidak memihak." Akhirnya, misi tiga menteri itu memang berhasil. Kroasia dan Slovenia menyatakan menerima usul Dewan Kepresiden Yugoslavia, yakni pengunduran kemerdekaan sampai tiga bulan mendatang. Yang diandalkan oleh Masyarakat Eropa ternyata sangat diperhitungkan oleh ketiga pihak yang sedang bermusuhan. Yakni, pembekuan semua kredit dan bantuan bilateral dari negara-negara Masyarakat Eropa pada Yugo. "Kami mendapatkan jawaban positif atas tiga pertanyaan yang kami bawa," tutur Menteri Luar Negeri Luksemburg, Jacques Poos. Adapun pertanyaan pertama, "Apakah Anda siap menerima gencatan senjata?" Yang kedua, "Apakah Anda mau menunda sementara waktu implementasi proklamasi kemerdekaan itu?" Dan ketiga, "Apakah Anda bisa menghormati fungsi Dewan Kepresidenan?" Sesungguhnya bibit perpecahan itu mungkin karena negara federasi ini boleh dikata gagal membentuk citra nasionalisme. Seorang Serbia pernah mengatakan pada wartawan, cobalah digores yang namanya orang Yugo itu. Maka, di torehan itu tak akan ditemukan Yugoslavia. Tapi Serbia, atau Kroasia, atau Slovenia, atau sesuatu yang lain. Dan cobalah masuk warung-warung di Kroasia dan Slovania, katanya, percakapan yang sering terdengar adalah tentang perang saudara. Persatuan republik-republik Yugoslavia dimulai di masa Perang Dunia I. Ketika itu di wilayah ini para penguasanya memikirkan sebuah kerajaan serikat orang-orang Slavia. Yakni Kerajaan Serbia, Slovenia, dan Kroasia. Cita-cita itu terwujud pada 1918, dan selain tiga besar itu, masuk pula Bosnia, Hercegovina, dan Montenegro. Pemimpin serikat tentu saja dipegang oleh pihak mayoritas, yakni Seribia, diwakili oleh Raja Alexander. Tapi inilah raja lalim, yang tak cuma tak becus mempersatukan kerajaan-kerajaan itu, melainkan malah sejak awal memperlakukan orang-orang Kroasia dan Slovenia secara tak adil dibandingkan dengan perlakuan terhadap rakyatnya sendiri, orang Serbia. Satu-satu tindakan yang bisa dikatakan merupakan upaya menyatukan kerajaan serikat itu, adalah dekrit Raja Alexander pada tahun 1929. Ia mengumumkan nama baru bagi kerajaan itu: Yugoslavia, artinya Tanah Orang-orang Slavia Selatan. Lima tahun kemudian raja yang terkenal sebagai penguasa lalim itu dibunuh oleh partisan Kroasia. Tapi apa pun wajah sang Alexander, ketika itu perpecahan tak muncul ke permukaan. Begitu ia tak ada, semangat perpecahan itu mendidih, siap menyembur keluar. Bila tak sempat meletus perang saudara, karena lebih dahulu meledak Perang Dunia II, dan pada 1941 Jerman menduduki Yugoslavia. Ketika itulah, seorang tokoh yang sudah dikenal sebagai ketua Partai Komunis Yugoslavia membentuk gerilyawan partisan yang tak memandang etnik, bakal menyatukan negeri-negeri orang Slavia selatan itu. Dialah Yoseph Broz Tito, yang merekatkan enam negara bagian dan dua provinsi hampir selama 30 tahun (lihat Satu-satunya Orang Yugo). Bila ada orang mengatakan lebih penting persatuan (meski semu sekalipun) daripada demokrasi bagi Yugoslavia, itu cocok dengan tindakan Tito. Untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Sosialis Federasi Yugoslavia, presiden seumur hidup itu, konon, memenjarakan sekitar 7.000 pembangkang di sebuah pulau di Laut Adriatik. Sebagian besar mereka orang Serbia. Tapi, hanya dengan tangan besi, tentu mengundang perlawanan. Bila Tito bisa mempertahankan Republik Federasi itu, ia memang kemudian melakukan kebijaksanaan desentralisasi, baik ekonomi maupun politik. Secara berkelakar, pada zaman Partai Komunis di Eropa Timur berwajah angker itu, orang mengatakan bahwa ada enam sistem partai komunis di Yugo. Dan dengan berani, Tito, pada 1948 memisahkan Partai Komunis Yugoslavia dari induknya di Moskow. Stalin tak melakukan apa pun kala itu, mungkin Uni Soviet gamang terhadap kekuatan Barat yang belum lama terbukti dalam Perang Dunia yang baru berlalu tiga tahun. Karena tak ada ikatan dengan Soviet, dengan enak Tito pun mengizinkan rakyatnya berbelanja ke Roma di Italia, atau ke kota mana pun di luar negeri bila mampu. Sebuah siaran Televisi Beograd pada tahun 1980, menjelang Tito meninggal, mencoba menjelaskan mengapa Tito dicintai rakyatnya. Meski tentu berbau propaganda, ini tak sepenuhnya keliru. "Bukan nasionalisme, bukan ideologi yang menyebabkan 90% orang Yugo menerima Presiden Tito, tapi kelonggaran yang ia berikan pada kami." Tapi, perbedaan yang memang sudah dari akarnya tak bisa sama sekali dinetralisasikan. Pada sensus tahun 1971, hanya sekitar 275.000 orang yang mencantumkan Yugoslavia sebagai kebangsaannya. Sisanya menuliskan diri mereka sebagai bangsa Serbia, atau Slovenia, atau Kroasia, atau Montenegro, atau Macedonia. Akar itulah rupanya yang menjalar keluar di akhir pekan lalu. Meski gencatan senjata diumumkan Jumat sehari sebelumnya, hari itu beberapa pertempuran terjadi di Slovenia. Sejumlah milisi Slovenia mengepung sebuah barak yang dihuni oleh pasukan federal, yang sebenarnya sudah lama ditempatkan di negara bagian ini dan dalam serangan Kamis pekan lalu mereka tak ambil bagian apa pun. Bila diduga tak jatuh banyak korban, karena masing-masing mencoba tak saling menembak. Di kawasan Sentilj, salah satu pintu gerbang perbatasan antara Slovenia dan Austria, pasukan federal tampak selalu ragu bertindak. Seregu tentara federal di dekat sebuah tank minta maaf pada sekelompok milisi Slovenia. "Kami tak punya persoalan apa pun dengan kamu. Akankah kamu menembak bila kami menyeberangi jalan itu?" kata salah seorang tentara federal itu. "Hai, kenapa kamu tak lari dari kesatuan saja," jawab milisi Slovenia seperti diceritakan oleh wartawan Reuters. "Mengapa kamu melawan kami, yang juga seperti kamu terdiri dari darah dan daging?" Menurut laporan wartawan TEMPO yang terbang dari Amsterdam, Belanda, ke Beograd via Zagreb, ibu kota Kroasia, tentara federal yang bukan etnik Serbia banyak yang menyerah pada milisi Slovenia. Situasi kembali berbahaya. "Negara tak bisa dikelola dengan kekerasan dan tank," kata Helmut Kohl, kanselir Jerman. Maka, sebelum perang benar-benar menyala dan sulit dipadamkan, baliklah tiga menteri luar negeri Belanda, Luksemburg, dan Italia ke Beograd Minggu kemarin. Ada yang penting: mereka datang dengan imbauan agak berbeda. Pada kedatangan pertama, Jumat pekan lalu, mereka membawa pesan dari 12 negara Masyarakat Eropa. Mereka tak ingin melihat Yugoslavia dalam bentuk baru, apa pun itu. Kemarin, tiga utusan mengatakan pada semua pihak bahwa kepentingan mereka semata-mata hanya menyetop pertempuran, agar perundingan dalam damai bisa diselenggarakan. Tampaknya, sikap itu diterima. Bahkan kemudian Dewan Kepresidenan yang beranggotakan delapan wakil dari enam negara bagian dan dua provinsi sepakat melakukan pemilihan presiden yang tertunda sejak 15 Mei lalu karena diboikot oleh pihak Serbia. Setahun sekali kursi presiden Yugoslavia digilir kepada anggota Dewan. Anggota Dewan itu sendiri dipilih untuk jangka waktu lima tahun. Mei lalu, adalah giliran Stipe Mesic, wakil Kroasia, duduk di situ. Tapi baru Senin pekan ini hal itu terlaksana. Terpilihnya orang yang ramah, dengan rambut pendek tapi wajahnya bercambang, itu memberi harapan terhapusnya keraguan di Senin pagi pekan ini. Sampai pagi awal pekan ini masih jadi pertanyaan adakah seruan kembali ke barak oleh PM Markovic ditaati. Kedua, bisakah dijamin bahwa pengawasan pintu gerbang di perbatasan Slovenia dengan Italia, Hungaria, dan Austria -- yang sudah diduduki tentara federal -- dikembalikan pada Slovenia? Soalnya, menurut undang-undang Yugo, perintah pada pasukan federal hanya bisa diberikan oleh presiden federal. Itu yang menyebabkan Presiden Mesic, 57 tahun, bapak dua anak, percaya benar bahwa konflik akan segera bisa diatasi. Mesic, yang pernah dipenjarakan oleh Tito pada 1971 karena menentang cara Tito yang otoriter memadamkan gerakan merdeka di Kroasia, tampaknya sangat memaklumi keadaan. "Tugas saya adalah meyakinkan mereka yang berpandangan berbeda bahwa konfederasi dibutuhkan di Yugoslavia," kata ahli hukum ini. Sebab, yang kini tampak, memang hanya dengan mengendurkan ikatan federasi jadi konfederasi itulah konflik bisa diredam. Hingga nanti Kroasia dan Slovenia yang terkaya di Yugo tak merasa membayar pajak pada pemerintah federal terlalu tinggi. Juga dua bangsa itu tak merasa harus bekerja dan sebagian hasil kerjanya untuk menghidupi keempat etnik lain di Yugo. Pokoknya, sebuah konfederasi yang adil dan saling menguntungkan. Asbari Nurpatria Krissa (Beograd), B. Purwantara ( Kopenhagen), Bambang Bujono (Jakarta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini