FAJAR menyingsing dari balik kabut dan kepulan asap dapur kampung kumuh Yohanesburg, Kagiso, Phola Park, dan entah di mana lagi. Namun, bagi 28 juta warga kulit hitam Afrika Selatan, pagi hanya membawa berita lama: toko yang dibakar "bergajul dari seberang bukit" tadi malam, sementara, dari pohon si tukang cukur Nyawose, seonggok mayat tergelantung. Seekor anjing menyalak. Pagi seperti ini tak pernah habis, tampaknya. Ia hanya berputar-putar bak irama musik Gumboots yang melengking dari setiap gubuk kaleng dan kardus. Ia seperti apartheid -- pemisahan warga berdasarkan ras dan suku -- yang melahirkan lingkaran setan penindasan dan balas dendam. Tanyakan pada Ngwabe. Kakaknya mati digorok, bukan oleh tangan penjajah kulit putih tapi saudara-saudaranya yang berkulit hitam jua. Dalam sistem apartheid, bangsa kulit hitam dipaksa berebut pekerjaan, makanan, dan tempat hidup oleh baas kulit putih. Bahkan, kelompok yang sama-sama berjuang menghapus rasisme -- suku Zulu di bawah bendera Inkatha dan Kongres Nasional Afrika -- diadu. Sebab, siapa yang akan teringat saudara setelah tiga hari tak makan? Siapa yang akan berbisik "kawan" bila sejak lahir orang diajar bahwa hormat diraih dengan peluru dan pentung? Tanyakan pada Ngwabe apa arti keputusan parlemen Afrika Selatan mengakhiri rezim apartheidnya, akhir Juni lalu. Setelah empat dasawarsa dan empat ribu korban, adakah perang saudara sesama kulit hitam turut padam? . Kekejaman yang Direkayasa "Engkau tak bisa menelan senapan serbu AKM ..., tak bisa mencangkul menggunakan ranjau, tak bisa membeli sepatu dan baju dengan granat, tak bisa memakai bayonet AKM-mu untuk menyaingi pendidikan orang kulit putih, dan kotak yang menyimpan peluru-pelurumu pun tak kan cukup dijadikan gubuk anak-istrimu ...," tulis Nadine Gordimer. Sastrawan Afrika Selatan yang oleh pemerintahnya dicap pembangkang ini sadar bahwa kekejaman apartheid melahirkan kekejaman baru. Pertikaian sesama kulit hitam merupakan rekayasa mereka yang takut kehilangan kekuasaan: selama keadaan rusuh, ada alasan untuk mempertahankan apartheid. Dendam Berdarah Dua Bersaudara Persaingan antara Inkatha dan Kongres Nasional Afrika mulai tahun 1975. Sementara Kongres Nasional Afrika berperang melawan apartheid, Inkatha cenderung bekerja sama dengan pemerintah rasialis Afrika Selatan. Bentrokan-bentrokan bukan hanya disebabkan perbedaan ideologi, tapi juga karena perebutan wilayah, perampokan, dan balas dendam. Bersenjatakan pentung, bedil, dan assegais atau tombak, kedua belah pihak saling bunuh. Kongres Nasional Afrika pun menuduh pemerintah Afrika Selatan mempersenjatai -- dan berpihak pada -- Inkatha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini